Majalah DIA

Media Baru dan Demokratisasi Komunikasi Publik

Media baru atau internet yang memungkinkan tersambungnya semua gawai (gadget) di seluruh dunia membawa pengalaman-pengalaman baru dalam pola komunikasi di dalam masyarakat. Sebelum ponsel bersistem operasi Android yang boleh dibilang murah-meriahitu merebak, tidak seorang pun berpikir bahwa tiap rumah tangga di dalam sebuah RT atau kompleks perumahan tertentu dapat terhubung melalui grup Whatsapp. Sekarang ini, tidak perlu menanti datangnya tukang sayur di pagi hari untuk dapat mengikuti perkembangan gosip di kampung atau kompleks. Tidak perlu pula mendatangi warung-warung kopi untuk mencermati dan beropini soal isu sosial-politik terkini.

Informasi mengalir bebas ke gawai masing-masing, dan setiap individu dapat pula dengan bebas memberikan respon hingga meluapkan emosi ke “kampung maya”, entah itu grup Whatsapp, ataupun media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, Twitter, dan sebagainya. Jika ada waktu senggang, sempatkanlah membuka YouTube dan simak bagian komentar dari unggahan video lagu-lagu cinta yang populer di sepuluh hingga tiga puluh tahun yang lalu. Orang-orang dari berbagai lokasi dan latar belakang menyampaikan kisah cinta masing-masing, atau setidaknya, mengenang almarhum orang tua yang menyukai lagu atau penyanyinya. Anda bahkan mungkin akan tergerak untuk ikut berkisah di kolom komentar.

Hal serupa juga terjadi di wadah-wadah komunikasi media baru lainnya. Kita mungkin masuk—atau, bagi sebagian orang, dimasukkan—ke dalam grup-grup Whatsapp keluarga, kampung, sekolah, kampus, alumni, yang terkadang membuat ponsel terasa lambat karena banyaknya grup dan percakapan. Percakapan yang ada pun bisa jadi sangat beragam, mulai dari sekadar salam selamat pagi, selamat ulang tahun, hingga “diskusi hangat” mengenai isu politik dan agama. Di Facebook, kita bertemu dengan teman-teman lama semasa sekolah atau kuliah yang membagikan berita atau video unik, religius, atau politik. Di Instagram, kita mungkin menyimak gosip terkini yang diunggah oleh akun-akun gosip seperti“Lambe Turah”, yang bisa dijadikan bahan obrolan makan siang di kantin, atau stories dari artis, “selebgram”[1],dan teman-teman sekolah, kuliah, atau kantor.

Sementara itu di Twitter, mengingat sifatnya yang terbuka karena berbagi pesan tidak berdasarkan pertemanan dan tampilan mengedepankan teks, kita menyimak linimasa yang penuh dengan obrolan, berita, dan informasi terkini dari berbagai sumber, mulai dari“selebtwit”[2], kantor berita, hingga tokoh-tokoh politik lokal, nasional, maupun internasional. Meski tergolong kurang canggih dibandingkan dengan kanal media sosial yang lain, Twitter memiliki daya “viral” yang lebih dahsyat. Kegerakan sosial-politik di beberapa negara juga banyak digenjot oleh media sosial dengan sekitar 326 juta pengguna di seluruh dunia dan lebih dari 20 juta pengguna di Indonesia ini[3].

Tentu saja, ada banyak lagi ragam dan jenis media komunikasi serta media sosial yang lain, seperti Line, BBM, Snapchat, atau Tik-Tok, namun dari segi jumlah pengguna dan pengaruhnya pada bagaimana cara masyarakat kita berkomunikasi cenderung kurang signifikan. Namun bagaimanapun juga, ada satu benang merah yang menyatukan semua media komunikasi dan sosial di atas, yakni munculnya demokratisasi dalam struktur komunikasi masyarakat.

Demokratisasi komunikasi antara pejabat publik dengan rakyat kebanyakan, sebagai contoh nyata, kini jamak terjadi di kanal-kanal media sosial. Seorang petani di sebuah desa terpencil, misalnya,bisa menyapa hingga menyampaikan keluhan kepada bupati, walikota, gubernur,menteri, hingga presiden melalui media sosial. Pejabat yang bersangkutan pun dapat merespon sapaan atau keluhan dari warganet. Semua itu dilakukan tanpa harus melalui protokoler birokrasi yang bertele-tele.

Kebijakan publik dapat diawasi dan dikoreksi langsung oleh warga melalui kanal-kanal media sosial. Penulis, contohnya, pernah melaporkan tarif parkir yang tidak sesuai dengan Perda kepada Unit Pelaksana Teknis Perparkiran Pemprov DKI melalui akun Twitter. Aduan tersebut pun segera ditindaklanjuti keesokan harinya, dan hasilnya, tarif parkir kembali normal sesuai ketentuan. Pengalaman tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus, dimana kebijakan-kebijakan publik dapat diawasi pelaksanaannya, bahkan dikoreksi sehingga ditangguhkan, setelah mendapatkan masukan warga melalui saluran media sosial.

Bukan hanya kebijakan Pemerintah, kebijakan korporasi pun dapat pula dipengaruhi oleh suara warganet. Salah satu contohnya adalah batalnya stasiun televisi Trans7 mengundang salah seorang ustadz untuk menjadi salah satu pembicara dalam program siaran Ramadhan setelah mendapatkan protes warganet akibat pernyataannya yang dianggap menghina aparat kepolisian.[4] Di Inggris, sebuah gerai waralaba makanan cepat saji yang juga akrab bagi konsumen Indonesia, Kentucky Fried Chicken, menjanjikan resep kentang goreng yang lebih baik setelah mendapatkan banyak kritikan dari pelanggan lewat akun media sosial mereka.[5]

Media sosial memicu dan bahkan mengakselerasi demokratisasi komunikasi masyarakat kita, khususnya dalam layanan-layanan publik. Pada satu sisi, tentu ini adalah hal yang baik. Namun di sisi lain, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, sehingga keberadaan media sosial tetap menjadi wadah komunikasi yang membangun peradaban, bukan sebaliknya.

Hoaks, alias kabar bohong, ujaran kebencian, provokasi, dan semacamnya perlu diwaspadai bersama. Media sosial bisa diibaratkan sebagai warung-warung kopi dan lapak-lapak pedagang sayur keliling berskala dunia. Ruang dan waktu tak lagi membatasi warga untuk berinteraksi. Semua orang berhak menyuarakan opini dan mengisahkan berita yang dimiliki. Apabila masyarakat di masa lalu mengalami buta atau kurang informasi, maka masyarakat masa kini dibanjiri dengan beragam informasi, dimana terdapat pula kabar bohong atau setengah bohong yang berpotensi menimbulkan permasalahan sosial, politik, dan hukum apabila terlanjur viral, alias kondang, tanpa diverifikasi.

Ada beragam motif, tentu saja,dalam pembuatan maupun penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan sebagainya. Ada yang melakukannya karena iseng, ada yang ingin mengeruk keuntungan materi (misalnya, membuat penggalangan dana rekayasa, menjadi buzzer tokoh politik, dsb), dan tak sedikit pula yang melakukannya karena fanatisme politik atau pun agama—dua hal yang beberapa tahun terakhir banyak di(salah)gunakan para politisi untuk mendulang dukunganwarga(net). Dua motif terakhir tampaknya makin berkelindan di tahun politik,dan hal ini dapat memengaruhi kewarasan publik. Apabila tak berhati-hati disikapi, demokratisasi komunikasi publik dapat berganti rupa menjadi mobokrasi daring—dimana jumlah pengusung dianggap lebih penting daripada isi berita atau opini yang diusung.

Oleh karena itulah, peran aktif pemerintah maupun masyarakat diperlukan dalam rangka menjaga kewarasan publik dalam pelestarian dan perbaikan kualitas demokrasi, khususnya melalui media sosial. Kita tentu menginginkan interaksi yang membangun dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dimana setiap opini disampaikan dalam rangka kemaslahatan bersama, bukan pribadi atau kelompok semata-mata. Kaum terdidik tak dapat menutup mata dan mengabaikan begitu saja semburan berita bohong dan ujaran kebencian dan memilih untuk mencari penghidupan sendiri. Para politisi pun perlu untuk menyadari bahayanya hoaks dan ujaran kebencian jauh melebihi manfaat kursi jabatan yang setiap lima tahun harus mereka perebutkan. Pemerintah juga perlu menyikapi secara serius isu-isu sosial seperti hoaks dan ujaran kebencian, bukan sekadar asyik blokir sana-sini dengan alasan memberantas pornografi.


[1] https://vik.kompas.com/selebgram/

[2] https://hot.detik.com/art/2507596/selebtwit-jakarta-punya-cerita

[3] https://www.statista.com/statistics/490548/twitter-users-indonesia/

[4] https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2018/05/14/diprotes-warganet-trans7-batal-pakai-jasa-ustadz-maaher/

[5] https://beritagar.id/artikel/waini/diprotes-warganet-kfc-inggris-ubah-resep-kentang-goreng

Exit mobile version