Erick Sudharma:
Pelayanan dan Persaudaraan

SALAH satu lagu warisan masa kecil saya adalah ini:

 

Dalam Yesus, kita bersaudara

Dalam Yesus, kita bersaudara

Dalam Yesus, kita bersaudara

Sekarang dan selamanya

Dalam Yesus, kita bersaudara.

 

Lagu yang sangat sederhana ini mengajarkan kepada saya apa arti persaudaraan Kristen. Artinya terletak pada ungkapan “dalam Yesus”. Kita bersaudara bukan dalam institusi gereja, kejemaatan, kepengurusan, apalagi kegiatan, tapi kita bersaudara dalam Yesus, dalam komitmen kita kepada Yesus. Bersaudara dalam Yesus berarti sama-sama mengikut Yesus. Konkretnya, dengan Yesus sebagai panutan utama, kita di satu sisi saling melayani – saling memperhatikan, mendoakan, menguatkan, dsb., dan di sisi lain kita bersama-sama melayani sesama manusia dan ciptaan lainnya. Persaudaraan dalam Yesus dan pelayanan kepada sesama manusia tak terpisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang disebut Kekristenan!

Kekristenan seperti itu yang ditunjukkan oleh teks kita – 2 Timotius 1 –, bagian pertama dari surat Paulus yang kedua kepada Timotius. Kedekatan relasi di antara mereka diungkapkan Paulus dengan menyebut Timotius “anakku yang kekasih”, “my beloved son” (ay. 2). Sebutan ini mengungkapkan bukan saja rasa cinta Paulus yang sangat besar kepada Timotius, tetapi juga ikatan persaudaraan yang sangat kuat dan dalam di antara mereka, selayaknya relasi ayah dengan anak kandungnya, bahkan relasi Bapa dengan Yesus. Injil-injil menuturkan bahwa setelah Yesus dibaptis oleh Yohanes, terdengar suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk 1:11//Mat 3:17//Luk 3:22). Seperti relasi ayah dengan anak kandungnya, bahkan seperti relasi Bapa dengan Yesus, sangat kuat dan dalam, demikianlah relasi Paulus dengan Timotius.

Kekuatan dan kedalaman relasi itu tercermin dalam ekspresi hasrat Paulus terhadap Timotius di ayat 3-4: “… selalu aku mengingat engkau dalam permohonanku, baik siang maupun malam. Dan apabila aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku.” Ucapan ini sedikit banyak juga melukiskan hasrat saya terhadap keluarga saya selama studi lanjut di Yogyakarta (2009 – sekarang). Sepanjang Senin sampai Kamis, setiap kali teringat kepada istri dan anak-anak kami di Bandung, saya ingin Jumat segera datang dan saya bisa berjumpa mereka lagi.

Namun, berbeda dengan relasi saya dengan istri dan anak-anak kami, akar relasi Paulus dengan Timotius bukanlah hubungan darah. Timotius bukan anak kandung Paulus. Akar relasi itu juga bukan ikatan-ikatan sosial kemanusiaan, yang kadang-kadang tidak kalah kuat daripada hubungan darah. Teman-teman saya para relawan aksi kemanusiaan rela merisikokan nyawa mereka untuk menyelamatkan para korban bencana yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan mereka dan tidak mereka kenal. Wasior, Merapi, dan Mentawai telah menjadi panggung empati dan solidaritas sosial mereka yang sangat mengagumkan. Di Merapi, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri aksi cinta dan keberanian mereka!

Bagaimana pun, akar relasi Paulus dengan Timotius melampaui hubungan darah dan ikatan-ikatan sosial kemanusiaan. Akarnya adalah kesamaan iman dan pelayanan kepada Allah. Di satu sisi, di ayat 1, Paulus berbicara tentang panggilan pelayanannya: “Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah untuk memberitakan janji tentang hidup dalam Kristus Yesus.” Di ayat 10, ia menegaskan kembali panggilan tersebut: “Untuk Injil inilah aku telah ditetapkan sebagai pemberita, sebagai rasul dan sebagai guru.” Di sisi lain, di ayat 6, Paulus berbicara tentang panggilan pelayanan Timotius: “Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu.” Di satu sisi, di ayat 3, Paulus menyatakan pelayanannya yang tulus kepada Allah: “Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku.” Di sisi lain, di ayat 4, Paulus teringat akan ketulusan pelayanan Timotius, yang tercermin dalam cucuran air matanya: “Aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, …”

Di satu sisi, di ayat 12, Paulus menyerukan imannya: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” Di sisi lain, di ayat 5, ia teringat akan iman Timotius: “… aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” Dan di tengah-tengah, di ayat 7 dan 9, Paulus menegaskan kesamaan mereka tersebut: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban”; “Dialah (Allah) yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman.

Intinya, akar relasi mereka yang sangat kuat dan dalam itu adalah kesamaan iman dan pelayanan keduanya kepada Allah. Paulus, yang jauh lebih tua usianya, telah menyerahkan dirinya kepada Allah untuk melayani dan mempercayaiNya seumur hidupnya, apa pun risikonya. Timotius, yang jauh lebih muda, melalui pelayanan Paulus, memiliki karakter yang semakin serupa dengan ayahnya. Like father like son. Mereka sama-sama percaya kepada Allah dan mengabdikan diri dan hidup mereka kepadaNya. Itulah akar relasi mereka yang sangat kuat dan dalam, melampaui hubungan darah dan ikatan-ikatan sosial kemanusiaan!

Ketika melayani dalam Kamp Mahasiswa Regional Sumatra Utara di Sibolangit beberapa bulan yang lalu, di penghujung kamp, seorang mahasiswi mendatangi saya dan berkata bahwa mulai saat itu dia menganggap saya sebagai ayahnya, karena dia mau belajar ikut Yesus seperti saya. Dia tidak minta banyak, hanya saling mendoakan agar kami tetap dan semakin setia menaati firman Tuhan. Dari semua apresiasi yang saya terima selama 1 minggu melayani dalam kamp tersebut, tidak ada yang lebih menggirangkan dan mengharukan daripada mendapat seorang anak rohani yang mau berbagi suka duka dalam melayani Tuhan. Rotua bukan anak kandung saya, tidak seperti Tata, Titi, dan Toto. Tapi dia anak saya dalam Yesus. Akar relasi ayah-anak di antara kami adalah sama-sama percaya kepada Allah dan mengabdikan diri kami kepada-Nya. Akar itu juga yang saya dan istri saya perjuangkan terus-menerus dalam keluarga kami. Kami ingin akar relasi kami dengan Tata, Titi, dan Toto, anak-anak kandung kami, bukan sekedar hubungan darah, tapi sama-sama mencintai Allah dan sesama manusia, seperti Yesus.

Apa implikasi dari relasi yang seperti itu? Menurut Paulus, implikasinya adalah jika yang satu menderita karena iman dan pelayanannya kepada Allah, yang lain tidak semestinya mundur karena malu atau takut, tapi tetap beriman dan melayani Tuhan dengan segala risikonya. Di ayat 8, Paulus berkata: “Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah.” Di ayat 13, Paulus menegaskan: “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.” Tidak semestinya penderitaan dan kehinaan yang dialami Paulus akibat memberitakan Injil Kristus Yesus membuat Timotius mundur karena malu akan kondisi Paulus atau takut mengalami hal yang serupa. Sebaliknya, Timotius sang anak, yang terikat dengan Paulus dalam iman dan pelayanan mereka kepada Allah, semestinya tetap memberitakan Injil dengan penuh cinta kepada sesama manusia dan dengan bersandar pada kekuatan Allah.

Ujian bagi kesejatian persaudaraan dalam Yesus adalah salib Kristen – penderitaan dan kehinaan karena iman dan pengabdian kepada Allah. Ketika Paulus menjadi tawanan kerajaan karena memberitakan Injil, banyak yang merasa malu dan takut, lalu berpaling darinya, meninggalkannya. Konon, Paulus dipenjara dalam “ruang yang suram di bawah tanah dengan sebuah lubang di atas untuk cahaya dan hawa.”1  Di sana ia menjalani penderitaan dan kehinaan sampai akhir hidupnya.   “… aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat,” katanya (2:9). Saya membayangkan kesedihan Paulus ketika menuliskan ayat 15: “Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes.”

Namun, tidak semuanya mundur. Ada satu yang tetap setia. Di ayat 16-18, dengan penuh syukur Paulus berkata: “Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatiku. Ia tidak malu menjumpai aku di dalam penjara. Ketika di Roma, ia berusaha mencari aku dan sudah juga menemui aku. Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya. Betapa banyaknya pelayanan yang ia lakukan di Efesus engkau lebih mengetahuinya dari padaku.” Ketika itu, menjumpai sang rasul dalam penjara bukan hanya memalukan, tapi juga sangat sulit dan berisiko tinggi. Memalukan, karena ketika itu Paulus berstatus kriminal. Sangat sulit, karena banyaknya tawanan di kota Roma dan rumitnya birokrasi penjara. Dan berisiko tinggi, karena bisa dicurigai dan bisa ikut dipenjara. Namun, Onesimus rela untuk menanggung semua itu demi persaudaraannya dengan Paulus. Memiliki satu saudara sejati seperti Onesiforus jauh lebih berharga daripada memiliki seluruh Asia Kecil sebagai teman. Timotius semestinya mengikuti teladan Onesiforus, tetap beriman dan melayani Tuhan dengan segala risikonya, sekalipun mayoritas memilih cari aman dan melayani kepentingan mereka sendiri.

Selain itu, perhatikan bahwa Paulus tidak hanya berbicara tentang Onesiforus, tapi juga keluarganya: “Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus …” (ay. 16). Memang hanya Onesiforus yang mencari dan melayani Paulus dalam penjara, tapi seluruh keluarganya mendukung pelayanannya, yang jelas sangat berisiko itu. Keluarga Onesiforus – istri dan anak-anaknya – berbeda dengan kebanyakan keluarga yang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak suka kalau suami dan ayah anak-anak atau istri dan ibu anak-anak giat melayani Allah dan sesama manusia. Di gereja, saya jarang menjumpai keluarga seperti keluarga Onesiforus.

Setelah letusan kedua Merapi, seorang Saudari memberikan pesan kepada saya: “Pak Erick, jangan naik ke atas lagi, Merapi meletus lagi, bahaya, ingat anak istri. Tidak kangen dengan Toto?”. Saya menjawab, “Saya kangen sekali dengan keluarga saya. Tapi Saudara-saudari saya di sini berjuang keras untuk menolong para korban bencana. Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Keluarga saya sangat mendukung saya. Terimakasih untuk perhatiannya”. Ya, saya sangat bersyukur bahwa istri saya sangat mendukung saya dalam melayani sesama manusia, termasuk para korban erupsi Merapi dan gempa Mentawai. Dia menyadari dan rela membayar harganya – berbagi kehadiran saya dengan orang lain, berbagi cinta, perhatian, kehadiran, harta, dst. Pesannya sederhana, “Hati-hati”. Begitu juga saya sangat mendukungnya dalam melayani sesama manusia. Kami memang harus berhati-hati dan selalu mawas diri, jangan sampai akhirnya cinta, perhatian, dan kehadiran kami hanya bisa dinikmati orang lain, tidak oleh keluarga kami sendiri. Di sisi lain, kami harus mendidik anak-anak kami untuk belajar berempati dan berbela rasa dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga mereka akhirnya mengikuti jejak Kristus melalui kami. Caranya, tidak cukup hanya dengan berkata-kata, tapi dengan menunjukkan teladan nyata!

Akhir kata, saya merindukan bahwa persaudaraan kita bukan sekedar persaudaraan dalam institusi gereja, kejemaatan, kepengurusan, apalagi kegiatan, tetapi persaudaraan yang berakar pada iman dan pelayanan kepada Allah. Saya ingin sekali menyanyikan dan menghidupi lagu masa kecil saya bersama Saudara sekalian. Bersaudara dalam Yesus berarti sama-sama mengikut Yesus. Konkretnya, dengan Yesus sebagai panutan utama, kita di satu sisi saling melayani – saling memperhatikan, mendoakan, menguatkan, dan sebagainya – dan di sisi lain kita bersama-sama melayani sesama manusia dan ciptaan lainnya. Persaudaraan dalam Yesus dan pelayanan kepada sesama manusia tak terpisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang disebut Kekristenan!

—————

*Dituliskan oleh Erick Sudharma mantan staf Perkantas Jabar, saat ini melayani sebagai pendeta di GKMI Kudus

**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi I, tahun 2011

 

____________________

1 Sebagaimana dikemukakan oleh John R. W. Stott,  II Timotius (terj. asli Inggris;  Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih; t.t.) 15.

 

Berikan tanggapan