Majalah DIA

Tetap Bersorak Dalam Keadaan Sulit

Pendahuluan

Out of control mungkin sudah menjadi ungkapan yang tidak asing lagi di telinga kita. Keadaan-keadaan yang kita anggap di luar batas “kenormalan”, di luar “kendali”, dan “tidak sebagaimana mestinya”, yang sering digambarkan dengan kalimat out of control ini tentu sering kita saksikan, baik secara langsung, melalui media massa atau melalui pembicaraan di sekeliling kita.

Hampir setiap hari kita dapat berjumpa dengan, paling tidak satu peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai out of control ini. Bencana alam, kecelakaan, sakit-penyakit, perampokan, pembunuhan, peperangan, perceraian, kesewenang-wenangan dan berbagai penyelewengan serta tindak kejahatan yang lain begitu dekat dengan kita, bahkan mungkin kita alami sendiri. Akibatnya tidak sedikit dari kita hidup dalam kebingungan dan kegelisahan serta menderita secara fisik maupun mental. Akhirnya, kita pun hanya dapat berkeluh kesah dan bahkan menyesali hidup ini.

Akan tetapi apakah keluh kesah dan penyesalan memang merupakan hal yang paling tepat untuk menghadapi keadaan-keadaan tersebut? Atau, sebagai orang yang telah dipanggil dan menikmati cinta kasih Allah, kita memiliki respon lain yang lebih baik?

Segala Sesuatu Out of control

Habakuk adalah seorang nabi di Yehuda yang hidup di zaman para raja. Dia banyak menyaksikan keadaan out of control pada zamanya. Mula-mula ia menyaksikan Raja Yosia yang hidup benar di hadapan Tuhan dan membawa bangsa Yehuda kembali kepada Tuhan harus tewas dalam pertempuran melawan Firaun Nekho dari Mesir. Dan penggantinya, Yoahas, hanya berkuasa selama tiga bulan sebelum akhirnya ditawan oleh Firaun Nekho juga (2 Raj 22-24).

Selain itu, Habakuk juga menyaksikan Firaun Nekho mengangkat Yoyakim menjadi Raja Yehuda serta menerapkan sejumlah upeti emas dan perah yang harus dibayar Yehuda kepadanya.

Habakuk juga melihat Yoyakim, raja yang tidak takut akan Tuhan, menggunakan kekuasaannya dengan kejam umtuk memeras rakyat, sehingga ia dapat membayar emas dan perah  yang diminta Firaun.

Kekejian dan kesengsaraan yang dilihat Habakuk belum selesai. Pada tahun ketiga pemerintahan Yoyakim, datanglah Nebukadnezar dari Babel mengepung Yerusalem serta mengalahkan Yoyakim (Dan 1:1-2a). Kerajaan Yehuda menjadi tawanan Raja Babel. Tiga tahun kemudian Yoyakim mencoba memberontak, namun Allah membangkitkan orang-orang Kasdim (Babel), Aram, Moab dan Amon maju mengepung untuk melenyapkan Yehuda (2 Raja 24:1-4).

Terjepit, Tuhan Diam?

Kitab Habakuk ditulis dalam tiga bentuk penyampaian. Pasal pertama, memperlihatkan dialog Habakuk dengan Allah. Pasal kedua, menunjukkan penuturan/penyampaian berita dari Habakuk kepada Yehuda. Dan pasal ketiga, merupakan doa Habakuk.

Dari pasal 1:2-4 terlihat bahwa Habakuk tidak hanya berkeluh kesah secara sembarangan, sebaliknya dengan membawa fakta-fakta penyelewengan Yehuda ia datang pada Tuhan dan menyampaikan keluhan dan kepeduliannya. Ia di satu sisi sangat peduli dengan keadaan bangsanya yang dijajah bangsa lain. Di sisi lain, ia juga melihat kejahatan bangsanya. Kedua hal itu membuatny terjepit dan kebingungan.

Dari ayat 2 jelas bahwa Habakuk bukan baru satu dua kali berseru pada Tuhan. Dia sampai bertanya pada Tuhan, “Berapa lama lagi,…..?” Dia mempertanyakan mengapa Tuhan belum menjawab hingga saat itu.

Namun demikian Habakuk tidak berputus asa. Ia tetap datang dan menyatakan isi hatinya dengan berani pada Tuhan. Ia menyatakan ketidakmengertiannya mengapa Allah membiarkan ketidakadilan dan penindasan merajalela. Waktu Allah belum menjawab pertanyaannya, Habakuk menyangka bahwa Allah mengacuhkan dan tidak bertindak apa-apa.

Lalu Allah menjawab doa Habakuk (1:5-11). JawabanNya tersebut, menurut Allah sendiri, akan mustahil diterima manusia, termasuk Habakuk. Allah menyatakan bahwa Allah sendiri jugalah yang membangkitkan orang Kasdim. Allah membangkitkan orang Kasdim untuk menghajar orang Israel agar orang Israel mau bertobat.

Ternyata memang tepat. Jawaban Allah tidak cukup memuaskan Habakuk. Dalam perikop terakhir pasal pertama, kembali Habakuk berargumen dengan Allah, “…Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?…” (Hab 1:12-17). Habakuk tidak dapat mengerti dan menerima dengan Allah menggunakan bangsa Kasdim, bangsa yang sama jahat di mata Habakuk, sebagai alat menghukum Yehuda. Di mata Habakuk, Yehuda masih lebih baik dari orang Kasdim. Selama ini, sebatas pengetahuannya akan sifat Allah, Habakuk menganggap Allah telah bertindak ‘tidak sebagaimana mestinya’ dan keadaan makin tidak terkendali.

Itu dapat kita lihat dari pasal 2:1, dimana Habakuk menyamakan diri sebagai seorang pengintai di menara yang kesepian. Ia bertekad untuk menyendiri, berdiam, dan mendapatkan jawaban Tuhan. Bukan hanya itu, ia bahkan menyiapkan dirinya untuk memperhatikan jawaban Tuhan dengan sungguh-sungguh, dan memberikan respon terhadap jawaban Tuhan atas keluhannya itu (dalam 2:1b RSV tertulis “…and what i will answer concerning my complaint”).

Tidak Relevan

Akhirnya Tuhan  menjawab dan memerintahkan Habakuk menuliskan semuanya, sehingga Yehuda dengan mudah mengetahuinya (2:2). Dalam 2:4a dan 2:6-19, Allah memaparkan bahwa penghukuman Allah pasti dijatuhkan atas orang yang hidup tidak benar di hadapan-Nya. Bahkan berbagai malapetakan akan ditimpakan pada orang sombong, berlaku jahat dan mementingkan diri sendiri, orang yang menindas orang lain, berlaku curang, loba tidak adil dan penyembah berhala. Dalam ayat 6, 9, 12, 15, 19 Habakuk menulis bahwa orang-orang seperti itu adalah orang yang celaka. Semua itu ditulis dan disampaikan kepada Yehuda dengan harapan agar mereka, yang telah meninggalkan Tuhan, bertobat.

Jika melihat lebih jauh pasal ke dua, kita akan mendapati sesungguhnya Allah bukanlah Allah yang senang menghukum umat-Nya. Ia tidak bersukacita atas segala hukuman Yehuda. Sebaliknya, Ia adalah Allah yang setia, panjang sabar, pengampun dan penuh kasih. Buktinya, di tengah-tengah kebobrokan bangsa pilihan-Nya tersebut, Allah masih memberikan janji dan pengharapan kepada mereka yang mau hidup setia di hadapan-Nya (2:4a)

Pada pasal kedua Allah memang menunjukkan hukuman bagi si penindas, namun Allah tidak memerintahkan orang-orang Yehuda yang benar melakukan suatu tindakan. Allah memerintah mereka untuk hidup benar dan beriman karena dengan itulah mereka akan hidup. Hal tersebut memang kedengarannya aneh dan tidak relevan dengan keadaan saat itu. Dibawah penindasan dan kekuasaan bangsa yang tidak mengenal Allah, mereka hanya diminta hidup tenang dan tetap benar serta percaya pada Allah.

Akan tetapi Allah adalah Allah yang sungguh setia dan tidak pernah memberikan janji kosong, seberapapun aneh dan tidak relevan kedengarannya janji itu bagi kita. Ia mengatakan, “…bumi itu akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan Tuhan, seperti air yang menutupi dasar laut.” (14).

Pernyataan Iman Habakuk

Dari doanya (pasal 3), kita dapat mengerti bahwa Habakuk kini memahami bahwa tidak pernah sekalipun Allah tidak melihat, apalagi cuek terhadap umat-Nya. Allah selalu bertindak tepat pada saat dan dengan cara-Nya yang paling bijaksana. Dan, tujuan dari segala hal yang Ia izinkan terjadi dalam kehidupan manusia adalah untuk membawa keselamatan bagi umat-Nya dan kemuliaan bagi nama-Nya.

Pemahaman itu terjadi karena Habakuk menyediakan diri menanti jawaban Tuhan. Ia sungguh bertemu dan mengenal Dia bukan hanya sebagai Allah yang kudus, tetapi juga berdaulat, adil dan setia. Walaupun keadaan belum berubah, namun Habakuk telah mengalami suatu perubahan penglihatan yang indah. Dari pasal terakhir kitabnya, Habakuk menuliskan doanya dalam bentuk mazmur dan menggambarkan iman yang tegas (3:17-19) yang berbunyi, “sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. Allah Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.”

Membenci Tuhan?

Akhirnya, kalau dimuka tadi kita bertanya bagaima sikap dan respon Habakuk menghadapi keadaan out of control pada zamannya, kini biarlah kita bertanya pada diri sendiri “Bagaimana kita bersikap dan berespon terhadap keadaan out of control di zaman sekarang?”

Apakah kita akan cuek karena berpikir semuanya out of control dan “tidak ada yang mungkin kita lakukan” padahal persoalan masih disana, ataukah kita akan menyesal, mengasihani diri dan menganggap kita lah orang yang paling malang di dunia? Akankah kita marah dan membenci semuanya, termasuk Tuhan?

Ataukah kita mau belajar dari Habakuk yang berdiam diri di hadapan Tuhan dengan sabar, jujur, dan berani bergumul di hadapan Tuhan, menantikan jawaban Tuhan dan mereposninya secara positif, hingga akhirnya mengalami berkat luar biasa dari Tuhan?

Melalui pengalaman Habakuk, kita hendaknya senantiasa hidup dekat dengan Tuhan. Sehingga janji Tuhan bahwa orang benar akan hidup oleh percayanya dapat sungguh-sungguh kita alami dalam hidup ini. Karena kesadaran akan campur tangan Tuhan dalam seluruh hidup akan memampukan kita berkata, “Sekalipun segala hal tidak seperti yang saya harapkan, namun saya akan tetap bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan saya!”

Shintawati T

Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB)

Exit mobile version