Majalah DIA

Berpikir Kritis ataukah Bersikap Kritis

Banyak buku diterbitkan berbicara soal EQ (Emogency Quotient), dan menekankan betapa tersesatnya sistem yang hanya menekankan IQ (Intelligency Quotient). Kesadaran baru yang berkembang akhir-akhir ini memberikan wacana tentang akibat buruk penonjolan manusia hanya pada aspek intelektual.
Ada pernyataan bahwa laki-laki lebih rasional dan wanita lebih emosional untuk menunjukkan betapa aspek emosional merupakan sebuah kelemahan. Namun pada akhirnya seorang pemimpin yang berhasil (entah dia laki-laki atau perempuan) harus mampu untuk memberdayakan kemampuan intelektual dan emosionalnya secara tepat. Rasul Paulus sendiri mampu memerankan dirinya sebagai Ayah dan Ibu untuk jemaat yang dibimbingnya.
Saya tidak ingin lebih jauh membicarakan peran gender, akan tetapi penggunaan istilah emosional diasosiasikan dengan sifat wanita dan rasional dengan laki-laki lebih dekat penggambarannya dibandingkan dengan menggunakan penggambaran lain. Sebenarnya aspek emosional bukan hanya berbicara masalah letupan keinginan dan rasa (emosi), tetapi juga perasaan (feeling), nilai, motivasi, kebutuhan, sikap, intuisi, suara hati, dan kecapan (sense).
Sedangkan intelektualitas mencakup analisis, hubungan logis, sebab-akibat, metodologi, sistematika, perhitungan, konklusi dan sintesa. Dengan istilah-istilah inilah saya akan memaparkan persoalan berpikir atau bersikap kritis. Kritis erat dengan respon terhadap apa yang sudah menggejala. Kritis juga melahirkan berkembangnya aliran yang diistilahkan sebagai postmodern (posmo).
Literatur resmi yang membahas definisi postmodernisme menjelaskan bahwa karakteristik budaya posmo sangatlah bervariasi. Ada tiga golongan besar postmodern (kritik terhadap budaya modern), golongan pertama mengembalikan pentingnya mistik dan budaya abad baru (new age). Golongan kedua sering disebut neo-Nietzeanis, yang merelatifkan semua kebenaran dan filosofi, membongkar semua batas konvensional dan bahkan melahirkan sikap skeptis dan tidak mementingkan makna. Golongan ketiga yang mengkritik budaya modern dengan maksud memperbaiki kelemahannya dan masih menggunakan sisi positif modern justru berusaha mengembalikan makna yang terkikis dengan adanya modernisasi.
Kristen saat ini tidak bisa mengelak terhadap berkembangnya budaya posmo. Bahkan ada ketakutan tersendiri yang menimbulkan reaksi-reaksi yang juga membingungkan di kalangan Kristen sendiri. Itu sebabnya Kristen tetap pada jalurnya. Tetapi apakah berpikir kritis itu sebuah aktivitas berpikir atau sebuah sikap? Pemahaman tentang firman yang mengatakan “Cari dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya”, lebih banyak menunjukkan peran sikap dari pada berpikir. Mencari adalah tindakan aktif. Sedangkan kata dahulu berarti memprioritaskan. Mencari kehendak Allah dengan demikian membutuhkan keinginan/kebutuhan yang kuat serta kesanggupan untuk mendahulukannya dibandingkan aktivitas penting lain. Mencari kebenaran Allah dapat dinyatakan dengan mengembangkan sikap kritis.
Kebenaran Allah tidak hanya bisa diperoleh dengan pikiran dan teori tentang Allah, tetapi dengan roh dan emosi. Seseorang yang mampu membedakan mana yang sesuai dengan kehendak Allah tidak hanya punya pengetahuan tentang baik dan buruk, tetapi juga mampu memilih untuk dikuasai Roh Kudus agar bertindak adil dan benar. Kesanggupan bertindak sesuai dengan dipikirkan dan diimani merupakan wujud pencapaian tingkat kematangan emosi atau EQ yang baik.
Di dalam otak manusia, bagian yang mengendalikan emosi disebut amigdala. Literatur yang menguraikan bagaimana mengembangkan EQ menerangkan bahwa memfungsikan amigdala secara optimal dilakukan dengan memperkuat otot emosi. Dengan memperkuat otot emosi orang akan lebih mampu menghadapi masalah berat dengan tetap bergembira, dapat mengatasi problem psikosomatis (sakit fisik yang disebabkan oleh stress), menyiasati perubahan dan tegar menghadapi tantangan hidup. Saya ingin mengatakan bahwa mengembangkan sikap kritis adalah bagian dari mengembangkan EQ. Karena dengan mengembangkan hal itu seseorang tidak mudah tenggelam dalam pengaruh di luar dirinya namun justru sebaliknya malah mampu memberikan pengaruh. Dalam konteks pertumbuhan iman, maka sikap kritis baik terhadap budaya posmo maupun informasi lainnya mampu menolong Kristen tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai garam dan terang dunia. Lebih jauh sikap datap dibagi dalam beberapa komponen. Menurut definisi seorang ahli Psikologi Sosial, sikap adalah kecenderungan bertingkah laku yang dibentuk karena adanya nilai (apa yang dipercayai dan dianggap benar) dan rasa suka atau tidak suka terhadap obyek tertentu. Sikap kritis saja tidak cukup membuat orang mampu membangun kekuatan diri di dalam Tuhan.
Orang-orang atheis juga bersikap kritis, bahkan seorang paranoid mengembangkan sikap kritisnya sedemikian rupa sehingga menjadikan dirinya penyakit bagi orang lain. Sistem nilai yang membentuk sikap kritis itu adalah variabel yang perlu diwaspadai. Sebelum membangun sikap kritis, perlu dilakukan indikasi terhadap sistem nilai yang mendasari cara pandang seseorang. Jangan-jangan memfasilitasikan dia untuk bersikap kritis justru akan membuat dia bermasalah. Membangun sikap kritis dalam konteks ini harus didahului dengan proses internaliasi nilai-nilai kebenaran yang sejati.
Pembinaan yang menyeimbangkan penekanan doktrin Alkitab induktif serta diimbangi dengan dinamika kelompok yang kondusif akan membangun sikap kritis (lebih jauh EQ yang tinggi). Penekanan doktrin saja dan kurang memfasilitasi persoalan emosional seseorang sampai mampu menyelesaikannya akan memasukkan orang ini dalam kelompok kuper. Namun sebaliknya bila hanya menekankan fasilitasi emosi, ada kompromi-kompromi yang membuat sikap kritis seseorang berkembang tanpa akar yang kuat.
Sikap kritis (sebagai bagian dari EQ) dapat dibangun dengan latihan dan dorongan untuk mempercayai idenya sendiri, mandiri dalam menyelesaikan masalah dan mengembangkan empati. Membangun oto emosional juga secara sederhana bisa hanya dilakukan dengan melakukan olahraga tertentu. Namun sikap kritis harus memiliki tujuan akhir yang jelas yaitu akhir hidup yang berkenan kepada Allah.
Sikap kritis dapat diwujudkan dengan protes langsung, memunculkan forum diskusi tentang topik-topik tertentu, mengadakan penelitian atau juga sikap diam untuk sementara waktu. Yang paling penting, tujuan dari sikap kritis tersebut membantu diri sendiri dan orang lain untuk tidak terjerumus dalam kesia-siaan hidup. Sikap kritis yang dimiliki seseorang yang ber-EQ tinggi membuatnya mampu bertahan untuk tidak terjerumus dalam konsumerisme. Atau bisa saja ia mengambil keputusan sebagai seorang misionaris hidup di tengah suku yang belum mengenal kebersihan, buta huruf, buta teknologi dan hidup sangat miskin. Atau, ia menjadi seorang direktur di sebuah perusahaan yang memiliki jaringan kerja yang kuat, terpercaya dan sangat memperhatikan kepentingan pelanggannya. Atau seorang pemimpin bangsa yang memimpin rakyatnya dengan adil dan bijaksan. Seorang yang ber-EQ tinggi seharusnya mampu menjalankan panggilan Allah dalam hidupnya dengan kasih yang sungguh-sungguh kepada Allah, tahu persis apa yang seharusnya dan sebaiknya ia pilih dan hidup dengan hati yang selalu dipenuhi dengan syukur.
Sikap kritis tidak mengizinkan prasangka menguasai dirinya. Ia kritis terhadap dirinya sendiri (tetapi tidak over-kritik) dan orang lain (tetapi tidak menghakimi), namun ia mampu memilih respon yang tepat. Ia empati dan peka terhadap kebutuhan orang lain, tetapi mampu memberikan yang benar-benar dibutuhkan dan bukan sesuatu yang semata-mata menarik perhatian mereka.
Sikap kritis juga tidak pesimistik, namun tetap dapat mengantisipasi masalah. Ia tahu kapan menegur orang lain dan membangun/mendorong, ia juga mau memilih sesuatu yang mungkin tidak populer.
Mencari kehendak Allah dalam sepanjang hidup manusia adalah menghadapi hidup dengan bijaksana. Sikap kritis hendaknya memfasilitasi Kristen untuk tetap menyadari masih banyak persoalan kelaparan dan keterbelakangan. Sikap kritis seharusnya membuat diri mampu menjaga keseimbangan hidup secara sosial. Ada banyak persoalan kemasyarakatan yang harus ditanggapi bersama. Masalah semacam ini tidak cukup hanya diatasi dengan berpikir dan berteori, tetapi juga dihadapi, dengan tindakan konkret.

—– Dituliskan oleh Ruth Yuni Imanti
——Dituliskan pada edisi No.6 November-Desember 2000, Memasuki abad 21

Exit mobile version