Tentu masih segar dalam ingatan kita gonjang-ganjing Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) beberapa waktu lalu. Komunitas Kristiani habis-habisan menentang RUU tersebut disahkan DPR menjadi UU. Keberatan-keberatan dan penolakan-penolakan dilakukan melalui jalur diskusi di televisi, surat kabar, bahkan di jalanan melalui demonstrasi. Berbagai argumentasi yang cerdas, jelas dan masuk akal sudah dipaparkan, toh akhirnya DPR tetap mengesahkan UU tersebut, di tengah ratusan ribu massa yang menghendaki UU tersebut tidak disahkan.
Itulah keputusan politik. Meskipun secara akademis keputusan itu belum memadai, ia tetap disebut sebagai keputusan politik. seperti diungkapkan Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik bahwa sebuah keputusan bersifat politis adalah apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Sedangkan tindakan politisi adalah tindakan yang menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Namun pada tataran praktis, ketika DPR memutuskan, maka hal itu menjadi sebuah keputusan politik yang mengikat seluruh warga negara republik ini. Suka atau tidak suka, merugikan atau lebih menguntungkan kelompok tertentu, semua harus tunduk kepada aturan UU tersebut.
Apa itu politik (yang di dalamnya termasuk keputusan dan tindakan politik)? Secara sederhana bisa diartikan sarana atau alat untuk mengatur kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kita bisa bayangkan kalau seseorang atau sekelompok orang secara totaliter menguasai dan membuat keputusan dan tindakan politik. Keputusan dan tindakan politik akan diarahkan untuk kepentingan seseorang tersebut atau kelompok orang yang berkuasa tersebut. Jadi menguasai keputusan dan tindakan politik mempunyai implikasi kepada wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat. Pada umumnya dalam negara demokrasi wewenang untuk mengambil keputusan dan tindakan politik ada pada parlemen dan pemerintahan.
Jika demikian betapa pentingnya mengawasi, mencermati, mengkritisi, termasuk mengawal setiap keputusan dan tindakan politik. kita bisa menggunakan berbagai saluran yang ada, seperti media, jalanan (berdemonstrasi), bahkan menjadi anggota partai politik dan DPD/DPR/DPRD. Pontas Nasution, mantan Direktur Akademi Leimena, mengingatkan, kalau kita tidak memperhatikan politik, berarti kita tidak terlibat di dalamnya. Dan itu berarti kita merelakan orang-orang lain yang mengatur nasib kita, nasib masyarakat dan bangsa melalui strategi-strategi, kebijakan-kebijakan dasar, pelaksanaan dan pengawasannya.
Total salah bila orang Kristen mengabaikan dunia politik. Seolah-olah dunia politik sebagai sesuatu yang “kotor” sehingga menjadi panggung haram untuk dimasuki. John Calvin, tokoh reformasi, mengungkapkan bahwa panggilan berpolitik adalah panggilan orang percaya. Dia mengatakan, “maka oleh siapa pun tak boleh diragukan bahwa kekuasaan politis itu adalah suatu panggilan yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang percaya”.
Peristiwa politik besar yang perlu mendapat perhatian kita dalam waktu dekat ini adalah Pemilu. Hasil Pemilu akan banyak menentukan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan politik yang membawa negeri ini makin baik dan makin runyam. Karena itu meskipun kita tidak semua menjadi politisi, tetapi kita harus mengambil sikap politik. Perkantas sendiri sudah mengambil sikap tersebut, yakni berpengharapan, berpartisipasi dan tidak golput.
_______
*Ditulis oleh Polo Situmorang, mantan Sekjen Perkantas
**Diterbitkan pada Majalah Dia edisi Oktober 2013