Pandemi Covid-19 yang mulai terasa sejak pertengahan Maret tahun 2020 ini mengubah banyak hal, dan salah satu yang utama adalah bagaimana manusia berkomunikasi. Pertama, interaksi fisik seperti bersalaman sangat jauh berkurang frekuensinya, bahkan mungkin hampir tidak ada. Kegiatan yang bersifat massal atau melibatkan banyak orang, seperti bekerja, sekolah/kuliah, bahkan beribadah pun dihindari atau dibatalkan. Semuanya dilakukan dari rumah. Ribuan dan bahkan jutaan orang berbondong-bondong berpaling kepada media baru, alias internet. Banyak orang yang dalam waktu singkat harus mempelajari dan menggunakan aplikasi panggilan atau konferensi video, seperti Google Meet, Zoom, Skype, Webex, dan sebagainya. Aplikasi-aplikasi yang belum pernah atau sangat jarang mereka operasikan.
Di rumah, tak sedikit yang berubah. Pasangan suami-istri yang biasanya hanya bertemu di luar jam kerja, kini bertemu sepanjang hari. Gesekan-gesekan pun lebih sering terjadi. Belum lagi, apabila ada anak-anak yang juga harus bersekolah dari rumah. Belanja pulsa dan kuota internet yang biasanya cukup untuk sebulan, dengan meningkatnya aktivitas pertemuan secara online pada masa pandemi—rapat, kuliah, webinar, dan juga sekolah online, habis dalam beberapa hari. Bagi sebagian masyarakat di kota besar yang telah melek teknologi, kebutuhan sehari-hari selama masa pandemi dibeli melalui sentuhan jemari di layar ponsel, mulai dari beras, minyak, gula, odol, sikat gigi, hingga sabun mandi.
Di dalam hal kerohanian pun fenomenanya tak jauh berbeda. Ibadah menjadi agak terasa hambar karena hanya dilakukan lewat tatap layar, meski pengurus atau panitia kebaktian online telah mengupayakan—demi menjaga “rasa” bergereja—agar khotbah tetap disampaikan dari belakang mimbar. Di daerah pelosok, ada warga jemaat gereja yang harus bersama-sama menyimak siaran kebaktian online melalui sebuah ponsel karena keterbatasan mesin penyampai konten. Tak hanya ibadah yang dihadiri banyak jemaat, pertemuan-pertemuan kelompok kecil pun sebisa mungkin dilakukan dari rumah masing-masing.
Sementara itu, mereka yang tak memiliki akses kepada mesin-mesin tersebut akhirnya teralienasi dari lingkungan sosialnya. Dalam konteks bergereja, misalnya, jemaat manula yang “gaptek”, alias gagap teknologi, apalagi yang “tantek”, alias tanpa teknologi atau tak memiliki ponsel pintar, sehingga tak tergabung ke dalam grup-grup Whatsapp jemaat gereja, akan sangat kesulitan untuk mendapatkan informasi maupun mengikuti kebaktian online. Apalagi jika gembala dan majelis jemaat tak berinisiatif untuk sekadar menelepon untuk menanyakan kabar. Namun, semoga hal ini tak terjadi di gereja kita.
Oleh karena pandemi, komunikasi terpaksa dilakukan dengan menggunakan “perpanjangan” mulut, raut muka, dan gestur badan, seperti ponsel atau pc/laptop, secara konstan. Keberadaan manusia diwakili oleh mesin komputasi yang membawa pesan dan “wajah” mereka. Meski teknologi informasi boleh dikatakan telah berhasil mengatasi kendala jarak, yang sangat terasa dengan adanya pandemi—beserta beragam undangan webinar yang menyertai, komunikasi yang termediasi layar tentu saja tak sanggup menyampaikan sebuah aksi komunikasi secara utuh, begitu pula suasana ruangan ketika pesan disampaikan. Layar membatasi manusia dan komunikasinya ke dalam sebuah bingkai dua dimensi. Apa yang kita proyeksikan di dalam kepala pada waktu melihat lawan bicara di layar sangat mungkin berbeda dengan kenyataan yang ada di seberang sana.
Pandemi Covid-19 mendorong—bahkan menyeret—manusia ke dalam kebiasaan-kebiasaan baru dalam berkomunikasi. Batas-batas online dan offline makin memudar, karena manusia era pandemi belajar untuk beradaptasi dan mengintegrasikan kehidupan di dunia nyata dengan kehidupan di dunia virtual. Dalam hal kerohanian, jemaat mulai beradaptasi dengan domestifikasi ibadah. Bukan hanya berdoa, bernyanyi, dan menyimak khotbah, liturgi perjamuan kudus pun terpaksa ternyata dapat dilakukan di rumah. Bisa dibilang, pandemi ini berperan cukup besar dalam mengakselerasi budaya komunikasi yang baru, dimana komunikasi termediasi komputer makin mewarnai pemaknaan (ulang) manusia akan hubungannya dengan sesama, dengan religiusitasnya, dan bahkan mungkin saja, dengan Tuhan.