Majalah DIA

Mengadakan Perubahan dengan Pengharapan

be the change - inspiration concept - isolated text in vintage letterpress wood type printing blocks

Dewasa ini, transformasi adalah sebuah kata yang sering diucapkan oleh umat Tuhan pada umumnya. Sebagaimana Allah telah mentransformasikan banyak Negara dan kota di belahan dunia, tentunya kita sebagai orang beriman percaya bahwa Allah juga rindu mentransformasikan bangsa kita, Indonesia, yang tahun ini berusia 65 tahun.

            Transformasi yang diseru-serukan di Indonesia mengundang gereja untuk menerjunkan diri bukan hanya didalam pelayanan-pelayanan internal gerejawi, melainkan juga di dalam proses pembangunan masyarakat dan bangsa. Di dalam bahasa yang lain, transformasi adalah jawaban atas dualisme misi gereja, yaitu penginjilan dan kepedulian sosial.

Kali ini, majalah DIA mengajak Iman Santoso, Ph.D, orang selalu gelisah dan bergumul dengan bangsa Indonesia, serta Benyamin “Beny” Lummy, pekerja sosial Kampus Diakonia Modern dan Sahabat Anak, untuk berbicara tentang pergumulan transformasi masayarakat Indonesia.

 

Perubahan Bentuk


Transformasi berasal dari dua kata dasar, “trans” dan “form”. Trans berarti dari satu sisi ke sisi lainnya (across), atau melampaui (beyond). Form di sini berarti bentuk. Transformasi berarti perubahan bentuk yang lebih dari, atau melampaui perubahan bungkus luar saja.

Dalam Perjanjian Lama, kata Ibrani hapak, yang juga mengandung arti transformasi, diterjemahkan dalam Terjemahan Baru Alkitab Bahas Indonesia menjadi berubah. Dalam I Samuel 10:6 dikatakan bahwa waktu Roh Tuhan berkuasa atas Saul, Saul berubah menjadi manusia lain. Dalam ayat 9 dikatakan Allah mengubah hatinya.

Dalam Perjanjian Baru, ada dua kata dalam bahasa Yunani yang dipakai untuk mengacu kata transformasi. Petrama ialah kata metamorphoo, misalnya dalam Roma 12 : 2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh permbaharuan budimu…” Dalam ayat ini, Rasul Paulus menasihati jemaat supaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaharuan budi. Kata metamorphoo juga diterjemahkan sebagi “berubah rupa” [transfigurasi Yesus], misalnya dalam Matius 17:2 dan Markus 9:2. Kata dalam bahasa Yunani yang kedua adalah metaschematizo yang diterjemahkan menjadi “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga menjadi serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” [Filipi 3:21]. Tidaklah mengherankan jika perubahan dalam transformasi sering juga dilukiskan sebagai perubahan total dari kepompong menjadi kupu-kupu.

“Seluruh isi Alkitab bicara transformasi. Dari Kejadian sampai dengan Wahyu, semua bicara mengenai transformasi. Artinya, Tuhan melalui anak-anak-Nya bekerja dan berkarya agar terjadi transformasi. Untuk itu seharusnya transformasi harus terjadi. Namun sejak Kejadian 3, sejak manusia pertama (Adam dan Hawa) jatuh ke dalam dosa, manusia itu mengalami penurunan hingga masuk zamannya Nuh. Setelah Allah melakukan pembaruan terhadap manusia, ketika itu terjadilah transformasi. Orang-orang berubah. Mereka melahirkan generasi baru. Kemudian dalam perjalanan perubahan itu mengalami persoalan penurunan kembali hingga zaman Abraham. Kembali manusia naik lagi dan mengalami transformasi lagi. Dari tuturan ini, kisah perubahan sejak manusia pertama hingga zaman modern ini, kondisi manusia itu selalu naik-turun. Dengan kondisi yan demikian ini, kadang-kadang kita tidak bisa membedakan, kapan manusia itu mengalami transformasi dan kapan tidak. Hal itu, harus diberi perhatian yang khusus. Walau demikian apapun alasannya, perubahan/transformasi itu harus terjadi sebagai buah dari pertobatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Yohanes Pembaptis. Kalau seseorang mengatakan dirinya sudah bertobat tapi tidak mengalami transformasi, aneh rasanya. Karena, transformasi bicara tentang keseluruhan, tentang keutuhan hidup. Dengan demikian harusnya masyarakat yang menyebut dirinya Kristen mestinya mengalami ini,” jelas Pak Iman, begitu Iman Santoso, Ph.D. biasanya dipanggil.

Seperti halnya Pak Iman, menurut Beny Lummy yang sehari-hari melayani anak jalanan, “transformasi itu bagaimana merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi lebih baik. Dalam konteks anak jalanan, bagaimana menyadarkan anak-anak bahwa mereka adalah gambar Allah.”

“Setelah menyadari bahwa mereka adalah manusia gambar Allah, mulia, dan berharga. Diharapkan, kelak menjadi modal buat dia untuk menghargai dirinya sendiri dalam menyikapi dan menjalankan hidup. Kelak dengan sendirinya dia bisa melakukan transformasi terhadap dirinya sendiri lalu ke lingkungannya,” tambah Beny pekerja KDM, sebuah LSM yang sudah melayani anak jalanan sejak tahun 1972.

Transformasi bukanlah suatu fashion terbaru, yang sekarang ini sedang naik daun, tetapi kemudian [akan] ditinggalkan karena ada yang lebih tren. Transformasi tidak pernah meletakkan fokus misi pada hasil, tetapi pada proses. Pada kebanyakan gereja, keberhasilan misi diukur dari pertumbuhan jemaat setiap tahunnya, jumlah jiwa yang dibaptis, serta jumlah gereja baru yang berhasil dirintis.

Baik Pak Iman maupun Beny, melihat, masih banyak gereja yang belum mengalami transformasi itu. “Lihat saja, di sekitar atau di dalam gereja, kejahatan bukannya berkurang bahkan semakin bertambah. Misalnya, budaya perceraian. Dalam dekade terakhir, kasus ini sangat hebat terjadi di gereja. Setali tiga uang juga dengan negara-negara basis Kristen, perkembangan dosa itu bukan main jadinya. Walau semua ini ada latar belakangnya,” kata Pak Iman.

Lihat, daerah Kelapa Gading [Jakarta Utara] Senen dan Blok M. Di daerah ini terkenal dengan banyak gereja dan banyak juga orang yang suka bergereja, tapi copet jalan terus, rampok jalan terus dan anak jalanan makin banyak. Kehadiran gereja dan masyarakatnya yang suka bergereja itu ternyata tidak memengaruhi sekitarnya. Orang Kristen hanya sekedar bergereja saja.

Tapi, tidak bisa dipungkiri, ada juga gereja yang sudah melakukan transformasi dengan baik. “Saya ingin menekankan bahwa masih ada beberapa gereja yang memberikan pemisahan antara pelayanan transformasi dan pelayanan sosial. Mengistilahkannya dengan sekular dan spiritual. Ironinya, ada juga gereja (bangunan atau orang) memiliki pemahaman spiritual itu hanya selama berada dalam gereja saja. Berbakti dan beribadah kepada Tuhan itu hanya di hari Minggu dan pada jam ibadah itu saja. Saat dalam gereja bicara tentang pembinaan dan urusan kerohanian, setelah keluar topik pembicaraan akan berubah menjadi urusan yang duniawi. Terpisah. Lebih disayangkan lagi, rata-rata mereka tidak/lupa melakukan apa yang sudah diterima dan didengar saat beribadah. Inilah penyebab mengapa transformasi itu terkadang tidak berjalan sebagaimana diharapkan,” ungkap Iman Santoso yang kini bergerak melalui pelayanan Transformation Connection Indonesia, suatu wadah bagi pemimpin gereja dan organisasi pelayanan untuk gerakan transformasi di Indonesia.

Dalam konteks pelayanan sosial anak-anak jalanan, Beny Lummy mengakui belum sepenuhnya melakukan transformasi. “Kalau selama ini mungkin pelayanan yang kita lakukan masih pelayanan diakonia karitatif; orang butuh makan ya kasih makan; orang butuh ini ya kasih ini. Nah, ini sudah saatnya berubah. Waktunya kita menuju ke pelayanan diakonia transformatif. Konsekuensinya kita harus kerja keras. Bentuk pelayanan yang berubah sama halnya dengan merubah komunitas yang kita layani. Butuh energi lagi untuk memperkenalkan sesuatu yang baru. Sahabat Anak dan KDM sudah coba melakukannya. Bagaimana membangun awareness/kesadaran dari masyarakat.”

Gerakan transformasi tidak bisa hanya dilihat dari pribadi-pribadi yang memiliki ragam keinginan. Transformasi juga tidak bisa hanya disandarkan pada keinginan dari satu-satu pribadi saja. Tapi ini harus dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh komponen gereja, baik dalam pengertian sebagai bangunan ataupun sebagai pribadi-pribadi yang satu tubuh. Semua harus terjun, semua harus ikut dan terlibat ambil bagian. Baik itu media, bisnis, gereja-gereja dan lembaga-lembaga, juga harus mengalami transformasi. Semua komponen, bukan hanya gereja-gereja, semestinya harus, tidak boleh tidak, masuklah ke masyarakat. Bila tidak demikian, bila tidak menjadi terang bagi sekitarnya, konsekuensinya dunia ini akan tetap gelap bahkan lebih gelap. “Kalau sudah begini, suatu saat nanti, bukanlah gereja yang mentransformasi melainkan gerejalah yang akan ‘ditransformasi’ oleh dunia ini. Kegelapan dunia ini akan merasuk ke dalam gereja,” kata Pak Iman.

Hal yang menarik, Alkitab juga menceritakan kisah-kisah yang mengesankan tentang transformasi. Ternyata, transformasi dapat terjadi pada pribadi ataupun pada komunitas masyarakat. Bahkan alam pun dapat mengalami transformasi. Tanah menjadi terkutuk karena dosa [Kej.3:17], namun tanah memberi hasilnya [ditransformasi] karena berkat Allah [Maz. 67:7; Yeh.34:26-27]. Ada juga kesaksian tentang Tuhan yang mengubah seorang penyembah berhala, yaitu Abram menjadi bapa orang percaya. Musa, seorang pembunuh yang melarikan diri dengan ketakutan dari negaranya, menjadi pemimpin yang kembali ke tanah tumpah darahnya untuk melepaskan bangsanya dari perbudakan. Di Perjanjian Baru, seorang pemeras [kepala pemungut cukai] menjadi seorang dermawan yang tulus, soerang wanita hina dimata masyarakatnya dan cenderung menghindar dari masyarakat banyak, karena perjumpaannya yang mengubah dengan sang Pembawa transformasi [Yoh.4:29].

 

Jangan ada pemisahan

            Pada umumnya kita memahami, gereja punya 2 mandat yang berbeda: mandat budaya/sosial dan mandat penginjilan/pemuridan. Meskipun kecenderungan gereja-gereja yang melakukan pelayanan holistik terlihat meningkat [dan itu baik adanya], tetapi gereja-gereja memiliki dasar pemikiran teologia yang berbeda satu dengan yang lainnya, yang sangat menentukan.

“Perbedaan itu hanya satu istilah. Tapi istilah itu bisa menjadi sesuatu yang capturing faction atau bisa menjadi sesuatu gerakan yang harmoni, indah dan selaras, apabila semua kita mengerti dan menyadari serta melakukan misi ini dengan utuh. Entah itu mengistilahkannya dengan Misi Integral atau Holistic Mission, namun itu pengertiannya sama. Jangan ada pemisahan antara social action dengan evangelism. Jika evangelism dan social action bisa dikerjakan secara bersamaan, maka disitulah terjadi transformasi. Memberitakan Injil yang dibarengi dengan kesaksian melalui teladan hidup, akan terlihat keutuhannya,” jelas Pak Iman.

Untuk melaksanakan transformasi, tidak ada suatu perumusan yang baku. Karena orang untuk terima Kristus itu bermacam-macam cara. Tak ada salahnya memang dengan langkah-langkah yang sudah kita kenal selama ini. Apakah dimulai dari penerimaannya terhadap Kristus karena mendengar Firman, kotbah atau baca buku. Semua itu tergantung bagaimana Roh Kudus bekerja dan mencerahkan orang tersebut untuk terbuka mata rohaninya. Intinya, orang pindah dari gelap kepada terang, itu beragam cara dan tidak ada satu metode atau perumusan baku untuk itu. Tapi sangat mendasar adalah bahwa orang tersebut akan mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dan itulah yang disebut dengan transformasi. Transformasi yang mengubahkan. Berbeda antara transformasi Biblical dengan transformasi sekuler. Itu berbeda sekali. Seperti terlihat sama tetapi sesungguhnya sangat beda. Jadi bila transformasi luar saja, misalnya hukum bisa dibenahi, kemakmuran meningkat, standar hidupnya lebih baik atau meningkat, lebih berbudaya, inilah yang disebut dengan transformasi sekuler. Tapi kemudian bicara dosa, akan beda urusannya. Jadi dalam transformasi sekuler itu, tidak terjadi transformasi moral yang seperti Alkitab katakan, yaitu transformasi yang memilik pertobatan yang benar. Dan tidak mengalami takut akan Tuhan dan di dalam transformasi sekuler tidak ada yang namanya Kuasa Tuhan. “Itulah akibatnya membuat manusia merasa bangga akan dirinya dan ini terjadi hampir di semua negara,” ungkap Iman Santoso lagi.

Dalam melayani anak jalanan, KDM tidak mau melakukan penginjilan secara langsung. “Bentuk pelayanan di KDM dan Sahabat Anak itu, sebenarnya, banyak bicara transformasi. Memang tidak bulgar atau gamblang. Apalagi bicara di tingkat anak, mereka sangat abstrak akan berita Injil. Apalagi untuk komunitas anak jalanan. Agak sulit menjelaskan kasih kepada mereka yang belum pernah merasakan dan mendapatkan kasih itu sendiri. Belum lagi, berhadapan dengan pengaruh-pengaruh negatif yang mereka dapatkan di jalan, anggapan tentang orang Kristen,” jelas Beny.
Sebenarnya ada banyak cara untuk memberitakan Firman atau melakukan transformasi dan tidak mengalami penolakan. Asal saja kita melakukannya dengan menjaga genuine (asli) dan tidak dibuat-buat. Kabar Baik itu akan tetap menjadi Kabar Baik, bila dikerjakan dengan genuine dan mohon penyertaan Roh Kudus maka tidak akan terjadi penolakan. Walau ini tidak berlaku pada semua orang dan juga untuk beberapa tempat. Kalau ada beberapa orang atau kelompok yang akan menolak-Nya, itu bukan dikarenakan Injil yang tidak relevan ataupun bukan juga karena Injil tidak bisa menjawab kebutuhan mereka. Penolakan itu semata karena dosa. Dosa tidak akan mau bersatu dengan Terang. Tetapi yakinlah, bila Roh Kudus  berkenan, satu saat nanti, entah kapan, tempat tersebut akan mengalami transformasi juga. “Kita ini hanya sekedar  alat, pertobatan dan transformasi itu adalah pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa,” ujar Iman Santoso yang pernah menjadi Pemimpin Umum Perkantas periode 1979-1983.

Senada dengan Pak Iman, menurut Beny, “Ibaratnya tanah tandus ya kita cangkul dulu aja. Kemudian kita berikan air supaya tanah tersebut melunak dan subur. Kita sirami, kita bersihkan dan kita pupuk. Suatu saat kita taburkan benih maka biarlah dia bertumbuh seturut kehendak Tuhan. Dalam pelayanan kami, saya putuskan memang tidak usah bicara tentang agama, cukup jalankan saja dengan ketulusan dan jika prinsip Imago Dei itu tetap ktia jalankan, kita lakukan dengan sungguh-sungguh, sisanya biarlah otoritas Roh Kudus yang berkarya. Sebenarnya transformasi itu tidak sulit, tetapi yang sulit itu adalah apakah kita bisa mempertahankan bila itu sudah terjadi.”

Pada dasarnya manusia akan gampang berubah saat mengalami weakened. Karena dalam kondisi demikian mereka akan mudah berserah. Inggris dan Amerika, mengalami great the weakens ketika negara tersebut masuk dalam zaman modernisasi. Kondisi ini telah menolong bangsa ini ‘terselamatkan’ dari revolusi berdarah. Beda dengan Perancis dan Rusia, yang tak sampai mengalami great the weakens. Ketika itu gereja yang seharusnya menjadi alat Terang justru berkolaborasi dengan penguasa. Lihat nasib Rusia, kini menjadi sebuah negara sosial komunis dimana revolusi-revolusi selalu muncul menjelang perebutan kekuasaan,” tunjuk Pak Iman.

Bagaimana Indonesia? Indonesia merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Indonesia terus-menerus mengalami transformasi dan butuh penuai, orang-orang yang siap menjadi agen-agen perubahan. Menurut Pak Iman, untuk bisa menjadi agent of transformations, ada beberapa hal yang harus kita lakuakn; pertama milikilah hidup yang makin serupa dengan Yesus. Hidup yang sudah mengalami changed dan sudah mengalami transformasi. Sebagai orang yang pelayanan dan concer di bidang transformasi ini, saya tidak bisa lepas dari itu. Kedua, yang harus dilakukan adalah, milikilah waktu yang berkualitas dengan Tuhan. Waktu teduh bertambah dan jam doa yang semakin bertambah. Intinya kualitas hubungan dengan Tuhan harus dijaga dengan Firman dan Doa. Dengan demikian Roh Kudus akan melatih kita untuk semakin sensitif dengan kehendak-Nya. Seringkali orang dalam mengikut Tuhan itu, banyak yang tidak mengerti seperti dan apa yang harus dilakukan. Bahkan sering sekali mereka tidak diterima dan bahkan disalah mengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Coba direnungkan kembali apakah ini semua disebabkan oleh kita pribadi atau karena memang harusnya terjadi seperti ini. Sekali lagi, bila memang kita harus menghadapi sebagaimana yang terjadi dalam Yoh 12:20 itu, biarkanlah itu terjadi dan anggaplah itu sebagai satu kelayakan. “Tapi bila itu terjadi hanya karena perbuatan kita, maka sebaiknya periksa diri,” jelas Pak Iman.

Melihat Indonesia yang sudah merdeka 65 tahun, harusnya kita memiliki keyakinan yang kuat. Jangan menjadi orang yang hopeless, melihat politik dan sistem negara yag sudah rusak. Bahwa memang semua sistem dalam negara ini sudah rusak, itu harus dilihat sebagai fakta, tetapi terlibatlah di dalamnya. Mestinya kita, apalagi gerakan mahasiswa, menyatukan diri sebagai satu bangsa. Kita harus bisa menjadi berkat buat semua orang. Menjadi pembawa berita Kabar Baik kepada siapa saja dan kapan saja. Itu tugas kita sebagai orang Kristen. Kita juga harus mengerti apa yang terjadi sesungguhnya di politik dan lini-lini lainnya. Kita juga harus peka dengan berbagai peluang. Tanyakan pada diri, apakah kelak kita dapat bekerjasama dengan lembaga ini dan gereja itu? Tidak semua orang bisa sampai berpikir ke sana. Kita bisa, itulah keistimewaan, panggilan TUHAN atas dan melalui diri kita. Memang untuk mengadakan perubahan itu tidak akan bisa terjadi seharu atau dua hari. Tetapi kalau ada pengharapan dan modus yang baik untuk modal bekerja maka tidak ada yang mustahil. Tuhan juga telah mengerjakan ini kepada negara-negara lain seperti Uganda, Afrika Selatan, Chili dan berbagai negara. Ada anak-anak Tuhan yang bekerja dibalik semua itu. Mereka sadar bahwa dimana pun mereka berada, mereka tidak bisa seperti sinar yang ditaruh di bawah gantang. Dia harus berani keluar dan tidak bisa hanya memilih dalam lingkungan sendiri. Jadilah terang di mana saja. Dan tidak boleh tidak, kerjasama adalah salah satu cara yang baik untuk bisa menolong orang-orang di sekitar kita. Ini juga bisa mendorong lebih cepatnya terjadi transformasi. Untuk itu maka gereja-gereja juga harus dengan rendah hati untuk mau saling kerjasama,” ujar Pak Iman Santoso yang merintis pelayanan mahasiswa di kampus-kampus sejak tahun 1972

Exit mobile version