Victor Silaen:
Mewujudkan Keadilan Sosial dan Pemerataan Kesejahteraan

Menjelang akhir tahun 1999, banyak orang kerap bicara tentang milenium ke-3. Ada yang tidak mengerti, ada yang karena tertarik, dan ada pula yang sekadar ikut-ikutan. Sementara, para pelaku bisnis yang jeli secara cerdik menyulapnya menjadi sebuah kata penuh sensasi dan sarat laba. Ada paket liburan Natal ke sana-sini, misalnya dengan embel-embel “milenium”. Ada pula acara khusus menyambut Tahun Baru, yang serasa begitu pentingnya untuk dirayakan di hotel ini atau kafe itu, cuma karena berembel-embel “milenium”. Dan, yang tak boleh dilupakan, ada banyak tawaran tur rohani ke “tanah suci” Yerusalem (yang sudah sekian lamanya menjadi sengketa Israel-Palestina itu), yang konon akan membawa berkat “khusus” jika diikuti, lagi-lagi hanya karena dikaitkan dengan kata bermakna “milenium” itu. Ada banyak contoh untuk menggambarkan betapa maniaknya orang banyak dalam menyikapi datangnya milenium ke-3 itu. Padahal, apa sih sebenarnya makna milenium?

Milenium, Sekilas Pengertian

Secara hurufiah, menurut hitungan orang Roma Katolik (yang kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lain, karena waktu itu Kerajaan Roma begitu berjaya di seluruh dunia), milenium berarti “periode seribu tahun” yang dimulai setelah kelahiran Yesus (atau Masehi). Pemahaman tentang “periode seribu tahun” ini diambil dari Kitab Wahyu Pasal 20, yang melukiskan Kerajaan Seribu Tahun sebagai suatu periode di mana iblis sedang ditahan. Setelah periode itu akan dimulai suatu periode baru yang, meskipun pendek, akan membiarkan iblis kembali bebas, sehingga periode itu menjadi penuh dengan penderitaan dan percobaan yang akan diakhiri dengan penghakiman atas manusia.

Kedatangan periode itu sebenarnya telah dipercaya pada peralihan milenium ke-1 ke milenium ke-2, seribu tahun yang lalu. Tapi, karena urung terjadi, maka menjelang berakhirnya Abad Pertengahan, Joachim dari Fiore menyusun semacam uraian sejarah Kerajaan Milenium itu, yang kelak sangat berpengaruh, meski para reformator mengatakan bahwa sebenarnya peralihan zaman dan penghakiman tak perlu ditunggu pada suatu zaman tertentu – karena sebenarnya ia terjadi senantiasa. Namun, ada gerakan-gerakan maupun sekte-sekte yang berulangkali berusaha mengembangkan suatu penjadwalan pada masa berakhirnya Kerajaan Seribu Tahun itu. Khususnya di masa-masa kekacauan, maka ramalan tentang dibebaskannya iblis untuk masa yang pendek, yang digunakannya untuk membawa penderitaan dahsyat kepada manusia, dianggap telah dipenuhi. Tak heran, bila peralihan dari milenium ke-2 ke milenium ke-3 mengundang lagi spekulasi-spekulasi tentang tanda-tanda zaman sebagaimana dilukiskan dalam Kitab Wahyu.

Bahwa perhitungan awal milenium ke-3 dimulai dari tahun 2000 atau 2001, menurut saya, hal itu tak penting benar dipersoalkan. Katakan saja hal itu interpretable. Jadi, biarkan saja orang-orang memperdebatkannya dari perspektif masing-masing, dan tak perlu dinilai mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, milenium ke-3 itu sendiri hanya perhitungan manusia (makhluk yang penuh dengan keterbatasan) belaka. Artinya, masih ada perhitungan lain, kalau mau juga diperhatikan. Sebutlah misalnya orang Islam, yang punya perhitungan sendiri, yakni Tahun Hijrah. Bagi mereka, sekarang ini kita masih berada di pertengahan milenium ke-2. Sementara orang Hindu punya tahun yang lain lagi, namanya Tahun Saka, yang perhitungannya kurang 27 tahun dari Tahun Masehi. Tapi, apa masalahnya? Tanyalah orang Cina, yang bahkan sudah merayakan milenium ke-3 sejak 50-an tahun silam, apa sih makna penting milenium baru itu bagi mereka?

Berdasarkan itu, menurut hemat saya, lebih baiklah kita lupakan sejenak istilah “milenium” itu dalam rangka menyoalkan agenda-agenda politik, hukum, HAM, dan apa saja, di masa depan yang sangat panjang itu. Bayangkan saja, seribu tahun, bagaimana mungkin memprediksi hal-hal yang akan terjadi di sepanjang kurun waktu itu? Secara ilmiah, tak seorang pun mampu melakukannya. Kalaupun kita berupaya meramal tentang masa depan, mungkin lebih terkesan “berpijak di bumi” bila ramalan itu hanya untuk seratus tahun mendatang saja (itu pun tetap sulit). Berdasarkan itu, saya akan membatasi pembahasan dalam tulisan ini hanya dalam dan untuk kurun waktu abad ke-21 – itu pun secara lebih khusus di Indonesia, bukan di negara lain.

Globalisasi dan Penguatan Eksklusivisme

Abad ke-21 dapat dikatakan sebagai abad globalisasi. Dalam proses mengglobal ini terjadilah penyempitan jarak dan percepatan waktu, yang menyebabkan tak ada lagi batas-batas yang memisahkan kehidupan antar manusia. Bagaikan tinggal di sebuah “desa global” (global village), begitulah kita hidup. Sehingga, apa yang terjadi di luar negeri, pada saat bersamaan dapat kita ketahui di sini. Begitupun yang terjadi di sini, pada saat yang sama pula dapat diketahui orang-orang lain di seluruh dunia. Ini dimungkinkan berkat kemajuan pesat teknologi telekomunikasi, dalam bentuk internet, audio-visual, dan lain sebagainya. Sehingga, relatif tak ada informasi yang harus melalui lintasan waktu panjang untuk dapat disebarkan ke mana-mana.

Era globalisasi, karena itu, ditandai pula dengan dimulainya sebuah abad informatika yang memungkinkan terjadinya free flow of ideas and information. Itu berarti, aneka ragam pemikiran dan kebudayaan bangsa-bangsa di seluruh dunia dimungkinkan untuk masuk ke rumah-rumah kita tanpa harus “mengetuk” pintu dulu. Suka atau tak suka, pengaruh aneka ragam pemikiran dan kebudayaan asing itu akan melanda kehidupan masyarakat di mana-mana. Karena pesatnya kemajuan itu, bisa jadi sebagian orang akan mengalami “keterkejutan budaya” sehingga merasa teralienasi dengan dunia dan kehidupan sosialnya. Maka, bukan tak mungkin pula terjadilah arus balik dalam bentuk penguatan identitas diri yang eksklusif semisal agama-agama, spiritualisme, fundamentalisme, daerahisme, sukuisme, dan lain sebagainya.

Sekaitan itulah, sejak beberapa tahun terakhir ini, dapat diamati adanya gejala kebangkitan agama-agama di Indonesia. Di satu sisi hal itu dapat dimengerti sebagai konsekuensi logis dari kemajuan pesat teknologi telekomunikasi yang menyebabkan relasi-relasi antar manusia, baik secara individual maupun kolektif, menjadi semakin impersonal dan nirmanusiawi. Begitupun kemajuan pesat dalam dunia industri, yang membuat orang-orang semakin mengalami diferensiasi akibat tuntutan spesialisasi keahlian atau keterampilan, sementara kecanggihan mesin-mesin dan sarana-prasarana produksi pun menyebabkan mereka mudah mengalami alienasi-alienasi sosial. Disebabkan hal-hal itulah maka agama-agama kembali dicari, utamanya dengan motif mendapatkan kenyamanan dan kedamaian.

Kemajuan teknologi telekomunikasi, tak dapat disangka, juga telah semakin mengukuhkan sifat distantif relasi-relasi antar manusia. Bayangkan: tanpa perlu bertatap muka, komunikasi tetap lancar. Bukankah nilai efisiensinya terasa cocok di tengah kesibukan kerja sehari-hari dan jarak antartempat yang kerap melelahkan untuk ditempuh? Tapi, di sisi lain, rutinitas hidup yang terus-menerus seperti itu terasa amat membosankan dan gersang. Apakah lagi yang dapat menawarkan solusi jitu bagi masalah semacam itu jika bukan agama-agama, yang selalu meniscayakan terbentuknya komunitas eksklusif orang-orang yang seiman? Maka, disebabkan hal itulah orang-orang pun kembali mencari agama-agama.

Sementara itu, dapat diamati pula bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini sedang terjadi gejala demoralisasi di mana-mana. Norma-norma semakin longgar dan mudah dilanggar. Memprihatinkan, memang, meski sebenarnya hal ini tidaklah mengherankan mengingat arus deras modernisasi yang melanda pelbagai bidang dan wilayah kehidupan. Maka, kekuatan apakah lagi yang dapat diharapkan untuk mengatasi demoralisasi itu jika bukan agama-agama? Itulah sebabnya agama-agama dicari, guna dijadikan benteng pertahanan moral.

Kebangkitan agama-agama tentu saja baik. Tapi sayang, dampak negatifnya pun ada. Karena, kehidupan beragama menjadi semakin eksklusif. Bahkan di dalam satu agama kemudian lahir “agama-agama baru” yang “serupa tapi tak sama”. Artinya, sesama Kristen belum tentu sama. Sesama Islam begitu pula. Ada perbedaan-perbedaan, baik kecil maupun besar, yang membuat persatuan begitu sulit diwujudkan dan solidaritas hancur perlahan-lahan. Jika sudah begitu, adakah pihak yang sungguh-sungguh mau mengalah dan sedia berkorban? Kalaupun ada, mungkin hanya sedikit. Sebab, agama-agama selalu berupaya mencari pembenaran bagi dirinya sendiri. Agama-agama juga selalu ingin menjadi semakin besar, dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya, gejala kebangkitan agama-agama justru perlu diwaspadai dampak sosial-politiknya bagi keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Belum lagi jika diperhatikan pula sukuisme dan daerahisme, yang sejak beberapa tahun terakhir juga menampakkan gejala penguatannya di dalam diri banyak orang. Mengapa demikian? Di satu sisi karena sukuisme dan daerahisme mampu berfungsi sebagai “rumah” yang memberi rasa aman-nyaman bagi orang-orang yang bermasalah di dalam kehidupan sosialnya di tengah masyarakat majemuk. Bukankah, karena itu, hidup bersama dengan orang-orang yang sebudaya (sama dalam adat, bahasa ibu, kampung halaman, dan lainnya) menjadi terasa indah? Sementara di sisi lain, kebangkrutan dan kehancuran Indonesia justru membuat identitas kesukuan dan kedaerahan itu semakin menarik untuk dibanggakan.

Agenda Politik, Hukum, dan HAM

Disebabkan hal itulah, tak heran jika akhir-akhir ini gejala separatisme dan disintegrasi semakin mencuat di mana-mana. Dalam literatur politik, itulah yang disebut politik identitas: gerakan-gerakan atau upaya-upaya memperjuangkan pelbagai agenda politik lebih didasari kepentingan sempit yang mengacu pada identitas kelompok seperti kesukuan, kedaerahan, juga agama, golongan, atau apa pun yang eksklusif dan group-centric. Tidakkah hal itu nampak dalam HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang sulit berekonsiliasi dalam GITJ (Gereja Injil di Tanah Jawa) yang masih terpecah dua, dan dalam sejumlah gereja baru yang kini berkonflik? Dalam kelompok Islam pun pertikaian itu terjadi, antara lain seperti yang diperlihatkan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah akhir-akhir ini. Apakah lagi sebabnya jika bukan kepentingan sempit yang dijadikan keutamaan perjuangan masing-masing kelompok itu?

Tak pelak, inilah masalah besar kita, terlebih sejak keran kebebasan terbuka lebar-lebar menyusul terpinggirnya Haji Muhammad Soeharto dari pentas politik nasional. Jika ingin Indonesia tetap utuh di masa depan, solusi yang jitu adalah berupaya keras untuk selekasnya mewujudkan keadilan sosial dan memeratakan kesejahteraan. Sekaitan itulah kebijakan otonomi daerah mendesak untuk diberlakukan, seraya terus-menerus menyempurnakannya seusai aspirasi masyarakat setempat. Itulah agenda yang mendesak di bidang politik, yang juga meniscayakan orang Kristen terlibat di dalamnya – sebagai bukti kepedulian dan tanggung jawab selaku warga negara yang baik. Jika lambat atau gagal menanganinya, bukan tidak mungkin Indonesia kelak hanya tinggal kenangan belaka – karena pecah menjadi negara-negara kecil seperti kasus Uni Soviet.

Sekaitan itu, upaya penegakan hukum juga harus dikedepankan. Jika tidak, keadilan sosial niscaya tetap merupakan cita-cita yang tak kunjung terwujud. Di dalam hal ini pulalah orang Kristen harus merasa terpanggil, baik untuk terlibat langsung dalam upaya-upaya penegakan hukum itu sendiri maupun dalam menyuarakan kebenaran atau kritik-teguran-koreksi terhadap segala penyimpangan dan penyelewengan. Beranilah melakukannya, agar citra buruk Kristen sebagai “pendukung Soeharto” tak lagi terulang.

Yang terakhir adalah penghormatan terhadap HAM (hak-hak asasi manusia), yang di era globalisasi ini kian menjadi tren dan wacana di mana-mana. Negara, pemerintah, atau penguasa tak lagi bisa bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Apalagi ada PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), juga Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya yang selalu mengawasi dan siap menjatuhkan sanksi bagi negara-negara pelanggar HAM. Sementara, di dalam negeri sendiri, ada Komnas HAM yang semakin menguat legitimasinya sebagai lembaga pembela HAM, di samping semakin menjamurnya organisasi non-pemerintah (ornop) yang siap sedia membeli para korban pelanggaran HAM, entah dengan cara melecehkan kaum perempuan (yang dibatasi perannya di gereja), merendahkan martabat kemanusiaan melalui kebijakan pengupahan atas karyawan di bawah standar UMR (upah minimum regional), dan lain sebagainya?

Menutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan kita semua akan prinsip reformasi gereja: semper reformanda, ekklesia reformata (gereja yang reformis adalah gereja yang mereformasi diri terus-menerus). Sejauh pengamatan saya, rasanya memang orang Kristen selalu lambat maju di bidang politik, hukum, dan penghormatan atas HAM (di bidang ekonomi, mungkin tidak). Mengapa demikian? Boleh jadi karena orientasi hidup yang melulu ke surga dan kebenaran-kekudusan yang hanya inward sifatnya. Itulah sebabnya, aneka permasalahan di dunia ini seolah tak penting diperhatikan. Tapi, itu kan pendapat saya. Menurut Anda bagaimana?


—– Dituliskan oleh Victor Silaen, pengajar pada Fisipol-UKI dan STT Cipanas
—— Diterbitkan pada edisi No.6 November-Desember 2000, Memasuki abad 21

Berikan tanggapan