Baru-baru ini, kepolisian membekuk para admin jaringan penghembus hoaks atau kabar bohong dan provokasi di dunia maya, khususnya media sosial. Saracen dan MCA adalah dua nama sindikat yang dianggap cukup besar, baik dari jumlah anggota, pendanaan, maupun pengaruhnya dalam membentuk opini masyarakat awam. Yang disebut terakhir pun hingga artikel ini ditulis masih terus diburu dalang dan penyandang dananya oleh pihak berwajib.[1]
Berbagai konten, mulai dari opini negatif hingga fitnah, diproduksi, disebarkan, direproduksi, dan disebar ulang oleh jaringan-jaringan yang diduga kuat dibiayai oleh pihak-pihak tertentu yang ingin meraih tampuk kekuasaan dengan dua kaki: yang satu berpijak pada proses demokrasi, sedangkan yang satu lagi melangkah di rute pengolahan isu negatif, fitnah, dan provokasi.
Tak dapat dipungkiri, maraknya jaringan-jaringan seperti di atas merupakan ekses negatif terkait pertarungan politik yang bermuara pada kepentingan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kursi pejabat publik rawan diselewengkan demi mendulang materi. Banyaknya kepala daerah yang terjaring kasus korupsi merupakan bukti nyata yang sulit dibantah mengenai komodifikasi wewenang ini. Pengamat tata negara, Refly Harun, bahkan menyebut bahwa kepala daerah tidak mungkin tidak korupsi, mengingat biaya politik yang begitu tinggi.[2]
Tahun politik dan media sosial yang makin berisik
Natur politik yang berkepentingan untuk mendikte mempengaruhi opini publik membuatnya menjalin hubungan erat dengan media. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tidak ada politikus yang ingin berada di bawah panggung. Berbagai selebaran dan baliho yang menampilkan wajah-wajah para politisi dengan segala pencitraan dan janji mereka merupakan pengejawantahannya. Kehadiran media baru seperti internet dan terutama media sosial yang “murah meriah” dalam lebih kurang sewindu ini tentu membuat para politisi makin bergairah.
Berbeda dari baliho, spanduk, dan selebaran, media sosial memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk beriklan diri, yakni kemampuan untuk menyasar ceruk audiens tertentu sesuai dengan target pengiklan. Biayanya juga relatif lebih murah daripada iklan konvensional, karena pengiklan hanya membayar berdasarkan jumlah klik, jangkauan, keterikatan, dan sebagainya setelah periode yang disetujui tercapai. Sementara dalam pemasangan iklan konvensional, pengiklan seringkali harus membayar mahal di depan, berapapun yang membaca iklan yang ditayangkan.
Sebagai pilihan paling ekonomis rasional, media sosial akan menjadi andalan para politikus untuk meraih simpati publik di tahun politik. Implikasinya jelas: tahun politik akan menjadi makin “berisik” karena padatnya “pesan sponsor” yang melintasi kanal-kanal media sosial. Warganet, alias para pengguna media sosial, akan diterpa banjir informasi yang saling berebut perhatian.
Kabar bohong dan opini sesat dapat diduga akan makin melimpah, sekalipun pihak yang berwajib telah berupaya maksimal untuk memberantas sindikat pembuat konten dan penyebar awalnya. Berbagai sesat pikir juga akan merebak, seperti generalisasi, adhominem, atau strawman argument[3].
Berkaca dari pengalaman para pendahulu yang ditangkap dan dipidana karena menyebarkan kabar bohong dan ujaran kebencian secara vulgar, para produsen konten hoaks akan belajar untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan konten mereka. Menambahkan tanda tanya di akhir kalimat tuduhan atau fitnah, misalnya, akan membuat seolah-olah yang melemparkan pernyataan tidak bermaksud jahat, melainkan hanya ingin mengklarifikasi kebenaran sebuah berita. Mereka juga akan lebih memilih untuk tidak menyebut nama atau jabatan target mereka secara terang-terangan, melainkan menggunakan bahasa-bahasa kiasan.
seringkali portal berita, termasuk dari media mainstream, cenderung membuat judul berita yang sensasional demi mengejar oplag, alias jumlah pengunjung situs mereka.
Para politikus juga bisa menitipkan pesan-pesan politik mereka kepada para “buzzer” atau “influencer” yang akan dengan senang hati menyampaikannya kepada para “follower” akun-akun media sosial mereka—tentu disertai imbalan sepantasnya.
Atau, apabila ingin menggaungkan pesan politik, mereka juga bisa menyewa jasa “peternak akun” yang siap menaikkan kata kunci atau “hashtag” yang diinginkan dalam “trending topics” lokal, nasional, maupun internasional, berbekal ribuan akun jadi-jadian yang biasa disebut “bot”, sebagaimana Bandung Bondowoso dengan bantuan para “peréwangan” siap mewujudkan pembangunan seribu candi dalam semalam sebagai syarat menikahi Roro Jonggrang.
Dan, para politikus tak perlu mencemaskan para konstituen yang belum terjangkit media sosial, karena para awak media konvensional akan dengan sangat antusias memberitakan kepada khalayak mengenai keriuhan yang sedang terjadi di media sosial. Semarak media baru melahirkan jenis jurnalistik yang unik, yakni “jurnalisme meja”, dimana pewarta tak melulu melakukan reportase ke lapangan, melainkan cukup berburu berita di belantara internet dan media sosial dari balik meja kerja[5].
Di Indonesia, bahkan Presiden Joko Widodo pun cukup sering memanfaatkan media sosial seperti Twitter dan Instagram untuk menyampaikan pesan-pesannya. Dari Senayan misalnya, Fahri Hamzah dan Fadli Zon merupakan dua tokoh yang populer—utamanya karena segala pernyataan kontroversial mereka—di media sosial. Para jurnalis cukup merangkum “kicauan” mereka dan tanggapan-tanggapan warganet dan mengunggah beritanya di portal masing-masing. Tak hanya pejabat, artis, dan politikus, bahkan “pegiat media sosial” pun dianggap cukup layak untuk diberitakan[6].
Penting dan mendesak: literasi warganet
Dalam era kebisingan lalu-lintas informasi dengan berbagai kepentingan yang langsung meluncur ke layar komputer atau ponsel masing-masing warganet, kecakapan bermedia sosial terasa makin penting dan mendesak untuk dibangun. Di sinilah sebenarnya peran para cendekiawan sangat dibutuhkan, yakni membangun literasi warganet supaya makin banyak warganet yang “melek media”.
Kebiasaan mencari kebenaran konten berita yang kontroversial sebelum ikut menyebarluaskannya perlu terus digaungkan.
Kecakapan untuk membaca yang tersirat di balik kalimat juga perlu untuk ditularkan. Ketika membaca pendapat bahwa calon wakil presiden Jokowi di tahun 2019 nanti sebaiknya berasal dari kalangan militer, misalnya, warganet perlu melihat siapa yang menyampaikan pernyataan tersebut, dalam kapasitas apa ia menyampaikannya, sejauh mana alasan yang dikemukakan mendukung pendapat tersebut, dan seterusnya.
Yang tak kalah penting adalah menularkan kebiasaan membaca isi berita secara utuh, bukan judulnya saja. Berbagai perdebatan antarwarga net di linimasa media sosial tak jarang terjadi karena satu atau beberapa warga net hanya menanggapi judul berita tanpa mengklik tautan yang dibagikan dan membaca keseluruhan berita. Kata dan kuota pun akhirnya terbuang percuma oleh karena kekurangsabaran saja.
Dalam tahun-tahun politik yang pasti akan sangat berisik ini, diam dan berpangku tangan serta membiarkan lingkungannya terpapar kabar bohong dan ujaran kebencian tanpa klarifikasi sejatinya merupakan pilihan terakhir bagi para cendekiawan yang terampil dalam literasi.
__________________________________
[1] https://nasional.kompas.com/read/2018/03/02/16132221/penyandang-dana-dan-master-mind-muslim-cyber-army-diburu
[2] http://news.metrotvnews.com/hukum/ybDMwD0k-kepala-daerah-tidak-mungkin-tidak-korupsi
[3] Salah satu tabel daftar sesat pikir dapat diunduh di https://www3.dbu.edu/uwc/documents/LogicalFallacyChartAug15_000.pdf
[4] https://qz.com/333313/milliions-of-facebook-users-have-no-idea-theyre-using-the-internet/
[5] https://www.khaleejtimes.com/editorials-columns/desktop-journalism
[6] http://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/21/soal-pidato-prabowo-bahwa-indonesia-bubar-tahun-2030-kesimpulan-dede-budhyarto-jadi-sorotan