Majalah DIA

Transformasi dan Kepemimpinan

Apa yang salah? Kok negeri ini makin runyam saja. Peralihan dari orde otoriter ke orde reformasi sepertinya tidak banyak membawa perubahan. Padahal peralihan itu sudah berlangsung selama 12 tahun. Presiden sudah dipilih secara demokratis, demikian juga dengan parlemen. Lembaga-lembaga demokrasi sudah didirikan dan kebebasan pers dan menyatakan pendapat dijamin. Tetapi kesejahteraan dan keamanan tak kunjung menghampiri negeri ini dalam hidup banyak orang. Tidak perlu data-data ilmiah membuktikan hal itu. Semua berlangsung di depan mata kita melalui rekaman media massa. Beberapa minggu lalu seorang teman berkata, “Lihat, selama seminggu ini halaman depan Kompas terus-menerus menulis berbagai peristiwa yang seolah-olah hendak menyatakan kegagalan pemerintah, mulai dari masalah bencana, pendidikan, kemisikinan, korupsi, tawuran, kekerasan, pilkada yang rusuh, bahan pokok yang makin mahal, kemacetan lalu lintas di Jakarta, dll.” Benar juga. Kayaknya atas hal itu presiden bereaksi. Presiden curhat tetapi justru mendapat kritik tajam.

Era reformasi tak kunjung membawa transformasi di tengah masyarakat. Apa itu transformasi? Transformasi berarti perubahan. Bukan sekedar berubah, kata seorang teman saya, Dr. Ban Garcia, perubahan itu harus perubahan dari tingkat yang rendah ke tingkat lebih tinggi, dari kurang berkembang menjadi lebih berkembang, dari kualitas yang buruk menjadi kualitas yang lebih baik, dari tidak berguna menjadi berguna; dari kacau menjadi tertib, dst. Semua orang berharap demikian. Terjadi transformasi dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, HAM, ketertiban, keamanan, birokrasi, pendidikan, dan lain-lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tetapi hal itu bagi banyak orang tidak terjadi.

Sebut saja soal pendidikan. Alangkah karut marutnya. Anggaran Rp 200 trilyun, tidak membuat rakyat negeri ini mendapatkan pendidikan yang mudah dan murah. Kita lihat korupsi tetap merajalela – seorang Gayus pegawai pajak Gol IIIA bisa tilep dan bagi-bagi uang Negara sampai ratusan milyar, seorang polisi berpangkat mayor bisa punya mobil Alphard, ruarr biasa. Jika mayor saja bisa seperti itu, maka sangat wajar kalau para jenderalnya punya rekening ‘ndut. Birokrasi tetap boros dan lamban. APBD lebih banyak habis untuk belanja pejabat dan pegawai. Hanya secuil untuk biaya pembangunan. Tak heran jalan-jalan di berbagai pelosok negeri kebanyakan bak kubangan kerbau. Kecuali jalan yang dibayar (tol). Tak heran pula lapangan kerja tetap minim. Yang paling parah adalah proses pembiaran terhadap ormas yang bisa bertindak seenak udelnya dan meresahkan masyarakat, tapi tidak ada tindakan hukum dari pemerintah. Gile bener. Tak salah kawan saya, Dr. Victor Silaen, mensinyalir negara kita ini sedang menuju Negara gagal. Gagal menyejahterakan dan menjamin keamanan rakyatnya. Wah!

Kita bertanya mengapa bisa begitu? Banyak pengamat mengatakan persoalan kita adalah masalah kepemimpinan. Almarhum Dr. Eka Dharmaputera pernah mengatakan, kita punya leader tapi tidak punya leadership. Tidak ada kepemimpinan yang kuat untuk membawa perubahan. Kepemimpinan yang menggerakkan transformasi berbagai hal di tengah masyarakat. Sinyalemen Dr. Eka, bukan hanya pada tingkat pemerintahan, tetapi juga gereja dan lembaga gerejawi. Memang tanpa leadership tak mungkin terjadi perubahan, meski leader ada. Yang ada hanya rotasi pemimpin atau hasrat tetap berkuasa tanpa banyak membawa transformasi.

Karena itu, kawan kita pakar kepemimpinan, Dr Senjaya, menyebutkan kita sedang mengalami krisis kehilangan kapasitas institusional dan interpersonal yang mampu mentransformasi individu secara utuh untuk mencapai efektifitas hidup sebagaimana yang Allah inginkan. Terlalu banyak kendala struktural, intelektual, emosional, dan cultural yang memperlambat proses transformasi tersebut hingga ke titik nol.

Dia melanjutkan, kapasitas institusional dan interpersonal disini adalah kemampuan sebuah institusi dan para individu ayng ada didalamnya untuk berupaya secara sadar dan masuk ke dalam proses mencetak pemimpin. Kultur dan struktur yang ada dalam berbagai jenis organisasi seringkali malah mematikan potensi kepemimpinan seseorang. Demikian juga proses saling mempertajam dan memperlengkapi telah lama absen dalam relasi antara individu. Seakan-akan ada vaksin anti-kepemimpinan yang telah disuntikkan ke dalam sistem urat syarat organisasi dan individu.

Tapi bukan hanya itu saja kata kawan kita ini. Ada masalah yang lebih krusial, dan sekaligus urgen, yaitu masalah ignorance. Banyak orang yang ignorant akan kebutuhan kepemimpinan di atas. Banyak orang cuek dan acuh tak acuh terhadap krisis kepemimpinan. Tidak ada kesadaran public, barangkali termasuk kita orang Kristen. Jadi bagaimana?

Mari kita peduli. Mari kita berdoa agar Allah membangkitkan leader yang memiliki leadership di semua level – yang membawa transformasi di negeri ini. Sungguh bangsa ini ”lelah dan terlantar seperti domba tak bergembala”, karena itu kata Tuhan Yesus, “mintalah kepada tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja…,” Ya, kiranya Tuhan mengabulkan.

 

—– Dituliskan oleh Polo Situmorang, Mantan Sekjen Perkantas dan Dosen Agama di Universitas Pelita Harapan
—— Diterbitkan pada edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010,’Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat ‘

Exit mobile version