DR. Partogi Samosir:
Menjadi Kristen Partisipan

Dunia mengakui bahwa demokrasi, penegakan hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat diraih dengan mudah. Ketiganya harus dicapai dengan keringat dari para pelaku utamanya.

Di Amerika Serikat (AS), partisipan utama demokrasi, penegakan hukum, dan HAM bukan Barrack Obama, bukan George Bush, bukan juga tokoh-tokoh elite yang namanya selalu menghias media massa. Partisipan utama proses demokratisasi, penegakan hukum, dan HAM adalah rakyat, orang per orang, yang namanya tidak pernah dikutip media massa.

Kita di Indonesia semestinya menghentikan kekeliruan berpikir bahwa pelaku utama demokrasi, penegakan hukum, dan HAM adalah segelintir orang di istana, di gedung parlemen, di gedung pengadilan, di kantor tentara dan polisi. Kita harus mulai membentuk cara berpikir baru, bahwa partisipan utama demokrasi, penegakan hukum, dan HAM adalah diri kita sendiri.

Dan, itu hanya dapat kita lakukan jika kita berhenti menjadi penonton. Hanya dengan menjadi partisipan, Indonesia yang kita cita-citakan dapat terwujud. Para penonton menilai berbagai krisis yang terjadi adalah akibat kalahnya pemerintah dari para pemilik modal dan para preman berjubah. Saya sepakat dengan anggapan itu, tapi hanya untuk sebagian.

Bagi saya, akar utama krisis adalah gagapnya “semangat memerdekakan diri sendiri” selama ini. Dan kegagalan ini bukanlah sekadar gara-gara pemerintah lemah. Kita semua ikut memberikan sumbangsih—dalam porsi yang berbeda tentunya. Kita ikut membiarkan perlakuan yang melanggar prinsip HAM dan aturan hukum. Kita gagap untuk berjuang membangun kesetaraan bagi diri kita sendiri.

Weak state adalah hardware bagi pemusnahan kemajemukan bangsa. Tapi jangan lupa, kegagapan kita pada perjuangan memerdekakan diri sendiri adalah software bagi pengembang biakan diskriminasi, dan akhirnya pemusnahan kemajemukan itu sendiri.

Menegakkan hukum dan HAM serta melakukan proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar semua orang dan lembaga menghormatinya, serta melawan siapapun yang melanggar hak-hak itu. Menjaga proses demokratisasi, menegakkan hukum dan HAM adalah menyatakan sikap secara rasional dan sopan, sambil ikhlas menerima orang yang berbeda sikap.

Menjadi partisipan memang sulit. Para penonton selalu senang mengritik dan memaki sesuatu yang tidak disukainya, sambil mengumpulkan energi kemarahan sebanyak-banyaknya. Para penonton mendukung dan mengagung-agungkan sesuatu yang disetujuinya, sambil mengumpulkan energi pembelaan sebanyak-sebanyaknya. Hobi seorang penonton adalah “membongkar” tanpa komitmen “memasang kembali”. Itu sebabnya, seorang penonton sulit mengikuti logika kerja seorang partisipan, yaitu mengancam sambil membantu, mencalonkan diri sambil mengakui kehebatan lawan, mengritik sambil berdialog dengan orang yang dikritiknya. Itu semua adalah hal-hal yang terlihat absurd, tidak masuk akal bagi banyak orang yang hobinya adalah menjadi penonton.

Seorang partisipan selalu melihat “botol dari bagian yang terisi, bukan dari bagian yang kosong”. Itu sebabnya, dia tidak menyerah dengan keadaan. Dia memiliki prinsip realisme yang berpengharapan.

Ketika mayoritas kita menjadi penonton, itu berarti kita memang belum memiliki infrastruktur yang cukup untuk berdemokrasi. Kita tampaknya baru memiliki kesiapan kultural untuk menjadi oposan yang habis-habisan, dan/atau pendukung yang sama habis-habisannya.

Ketika menjadi pemenang, kita habiskan energi untuk merayakan kemenangan dan tidak menyisakan ruang untuk mengakomodasi energi konstruktif pihak lawan. Sebaliknya, ketika menjadi pecundang, kita habiskan energi untuk mengeroposkan sang pemenang.

Pembangunan butuh perlawanan, bukan kemarahan. Kemarahan ekspresi emosional tanpa punya agenda kerja. Perlawanan adalah respons rasional yang beragenda kerja.

Tuhan Yesus tidak memanggil kita untuk menjadi “madu dunia”, tetapi “garam dunia”. Tuhan Yesus tidak memanggil kita untuk menjadi “api dunia”, tetapi “terang dunia”. Tuhan Yesus memanggil kita menjadi garam untuk mencegah pembusukan, bukan untuk meludahi kebobrokan tanpa berbuat konkret. Kita dipanggilNya menjadi terang untuk mengalahkan kegelapan, bukan untuk memaki-maki kegelapan tanpa melakukan apapun.

Garam dan Terang ada bukan untuk dirinya sendiri, tetapi justru untuk menolong dan mengarahkan orang lain kepada Kristus. Lirik salah satu lagu favorit saya berbunyi, “Trust and obey for there is no other way to be happy in Jesus, but to trust and obey.”

Menjadi garam dan terang dunia berarti kita harus bersedia ditugaskan di tempat-tempat yang sulit dan mengerjakan hal-hal yang berat, yang tidak disukai oleh orang duniawi. Kita perlu ingat, Tuhan lebih tertarik untuk memercayakan perkara-perkara yang sulit dan tidak mungkin kepada orang-orang beriman. Perhatikanlah apa yang diperintahkanNya kepada Abraham, Musa, Yosua, Gideon, Daniel, Nehemia, dll.

Memang, telah terlalu lama pembinaan iman digarap secara keliru. Kekristenan yang ditanam adalah Kekristenan yang mementingkan ibadah formal dan lalai pada tanggung jawab sosial. Akibatnya, umat Kristiani menjadi kompromistis pada perilaku otoriter, koruptif, dan/atau diskriminatif.

Akhirnya, ingatlah pepatah Inggris, “People will get the government they deserve.” Rakyat akan mendapatkan pemerintahan yang memang sesuai dengan perilaku rakyat itu sendiri.

——-
*penulis DR. Partogi Samosir,  bekerja di KBRI Washington D.C., 

** Diterbikan dalam majalah Dia edisi II tahun 2013

Berikan tanggapan