Yohanes Sulaiman, Ph.D,:
Arab Spring dan Masa Depan Minoritas Kristen

Arab Spring adalah sebuah gerakan masyarakat untuk mengganti pemerintahan yang dianggap korup, otoriter, dan tidak sah, dengan pemerintahan baru yang dianggap mewakili suara masyarakat.

GERAKAN yang dimulai secara mendadak pada tahun 2010 ini, setelah seorang penjual buah membakar diri di Tunisia, berhasil mengguncang peta perpolitikan di Timur Tengah dengan jatuhnya beberapa diktator, seperti Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, Muammar Gaddafi di Libya, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman.

Namun dibalik keberhasilan menjatuhkan beberapa pemimpin otoriter, gerakan Arab Spring pun berdampak negatif, memunculkan masalah-masalah besar akibat terjadinya instabilitas sosial secara besar-besaran. Suka atau tidak, salah satu peran yang dilakukan para pemimpin otoriter tersebut adalah menjaga stabilitas sosial,meskipun dengan cara kekerasan, seperti menekan kelompok intoleran garis keras (misal: kelompok teroris) agar tidak menimbulkan kekacauan.

Sejak terjadinya Arab Spring, serangan kepada kelompok-kelompok minoritas, baik minoritas Kristen maupun kaum Syiah pun meningkat, karena kelompok-kelompok intoleran garis keras yang memang pada dasarnya sudah anti kaum minoritas, menggunakan kesempatan ditengah kekacauan sosial yang ada untuk melakukan tindakan-tindakan terorisme dan kekerasan lainnya.Di saat seperti ini, sering sekali muncul nostalgia kepada pemerintahan otoriter sebelumnya, yang dianggap mampu melindungi kaum minoritas dan menjaga stabilitas masyarakat.

Namun, nostalgia seperti itu sebetulnya salah.

Di era pemerintahan otoriter, kaum minoritas mungkin dilindungi, namun perlindungan tersebut merupakan perlindungan semu, hanya dilakukan demi keuntungan politis dan ekonomi pemerintahan otoriter itu sendiri. Bahkan, “perlindungan” tersebut pada akhirnya berdampak sangat negatif, dan bisa dibilang merupakan penyebab mengapa kaum ekstrimis bisa secara leluasa menyerang kaum minoritas.

Misalnya, di Syria di bawah Assad, pemerintah dianggap cukup simpatik kepada umat Kristen, orang-orang Kristen mendapatkan perlindungan, akses ke bisnis, dan posisi di dalam birokrasi pemerintahan. Perlindungan ini perlu dilihat di dalam konteks pemerintah Assad yang berasal dari kaum minoritas Alawi, yang membutuhkan kelompok-kelompok minoritas lain sebagai sekutu untuk menghadapi kaum mayoritas Sunni.

Di sisi lain, orang-orang Kristen pun harus menutup mata kepada setiap pelanggaran hak asasi yang dilakukan pemerintah Assad, tidak terlibat dalam kegiatan politik yang menentang rezim yang berkuasa, atau mendukung gerakan-gerakan yang dianggap menentang rezim Assad. Akibatnya, begitu krisis Syria meletus, orang-orang Kristen terjebak di tengah-tengah, terpaksa terus mendukung rezim Assad yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Sementara itu, semakin lama pemberontakan ini berlangsung, masyarakat Sunni Syria yang tadinya sebetulnya cukup moderat menjadi teradikalisasi. Radikalisasi masyarakat Sunni Syria ini pun menyebabkan kelompok-kelompok ekstrimis bermunculan. Pada akhirnya, masyarakat Kristen pun menjadi korban, karena mereka dianggap mendukung rezim Assad, dan menjadi sasaran untuk serangan ke pemerintahan Assad.

Di Mesir, pemerintah Husni Mubarak menggunakan ketakutan orang-orang Kristen Koptik kepada kelompok Islam garis keras, Ikhwanul Muslimin dan Salafi, sebagai alat kontrol. Di satu sisi, Mubarak pun dianggap sebagai pelindung umat Kristen. Hingga detik-detik terakhir pemerintahan Mubarak, Paus Shenouda III, pemimpin umat Kristen Koptik, terus mendukung rezim Mubarak. Namun di sisi lain, orang-orang Kristen tetap didiskriminasi di bawah pemerintahan Mubarak dan digunakan sebagai kambing hitam bagi kaum Islam Sunni yang mayoritas, sebagai alasan dari kegagalan kebijakan pemerintah.

Buah Simalakama
Dari dua kasus ini, terlihat bahwa memang posisi orang-orang Kristen di Timur Tengah seperti memakan buah simalakama. Di satu sisi, mereka mendukung pemerintah otoriter karena kuatir tentang apa yang terjadi jika tak ada lagi perlindungan dari pemerintah otoriter tersebut. Di sisi lain, semakin besar dukungan mereka kepada pemerintah otoriter, semakin tinggi keterasingan mereka dari masyarakat mayoritas Sunni yang tak menyukai mereka karena menganggap mereka sebagai agen pemerintah yang tidak sah, sehingga ketakutan mereka pun akhirnya terjadi.

Hal ini pun terjadi di Indonesia, di mana setelah jatuhnya Orde Baru, bahkan sampai sekarang pun, banyak yang terus menganggap bahwa era Pak Harto lebih baik, baik secara pertumbuhan ekonomi maupun perlindungan kepada kaum minoritas. Sama seperti kasus-kasus di atas, ini hanyalah perlindungan semu, di mana dukungan umat Kristen yang membabi buta kepada pemerintahan Orde Baru pun berdampak negatif terhadap hubungan umat Kristen dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat.

Perlu disyukuri bahwa di era Reformasi ini, hubungan antara umat Kristen dan Islam yang sempat mengalami gejolak di awal era Reformasi cenderung membaik. Memang, masih banyak kasus penutupan gereja akibat ketidakmampuan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas kepada aparat-aparat negara yang lebih mementingkan kalkulasi kepentingan politik daripada masa depan bangsa, namun di sisi lain, hubungan antaragama di Indonesia saat ini masih belum seburuk di Timur Tengah.

Banyak hal yang dianggap menjadi penyebab utama dari tak adanya keretakan hubungan antarumat beragama di Indonesia. Misalnya, banyaknya pemimpin agama, baik Islam maupun Kristen, yang memang berpikir secara dewasa, melihat kepentingan bangsa dan negara jauh lebih berharga daripada kepentingan kelompok pribadi. Belum lagi, masih kuatnya falsafah Pancasila, dan juga sejarah Indonesia sendiri, di mana orang-orang Kristen dan Islam bersama-sama mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah hubungan antarumat beragama di Indonesia akan terus membaik atau masih bisa dipertahankan?

Butuh Campur Tangan Kristen
Di sinilah peranan kaum muda Kristen yang terus aktif, baik dalam berpolitik maupun dalam membina hubungan baik antarumat beragama. Orang-orang Kristen tak boleh terus mengandalkan perlindungan negara untuk keselamatan umat Kristen, namun harus mengandalkan diri sendiri, kekuatan umat Kristen sendiri, sebagai kelompok masyarakat yang aktif dan produktif, yang walaupun merupakan minoritas, namun bukan minoritas yang pasif dan menjadi bulan-bulanan permainan politik. Orang-orang Kristen justru harus aktif berpolitik, bersuara menentang segala bentuk penyelewengan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan siapa pun, bahkan oleh orang-orang Kristen sendiri.

Banyak sekali kasus di masyarakat kita sendiri, yang membutuhkan campur tangan orang-orang Kristen. Misalnya, penyerangan kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah, harus dilihat sama berbahayanya sebagai upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogor dan Bekasi untuk menutup gereja-gereja. Orang-orang Kristen pun harus berteriak dan mengecam kemandulan pemerintah untuk melindungi orang-orang Ahmadiyah dan Syiah yang tertindas.

Partisipasi ini penting, apalagi jika kita mengingat ucapan Pastor Martin Niemoller yang terkenal:

First they came for the communists,
and I didn’t speak out
because I wasn’t a communist.
Then they came for the socialists,
and I didn’t speak out
because I wasn’t a socialist.
Then they came for the trade unionists,
and I didn’t speak out
because I wasn’t a trade unionist.
Then they came for the Jews,
and I didn’t speak out
because I wasn’t a Jew.
Then they came for the Catholics,
and I didn’t speak out
because I wasn’t a Catholic.
Then they came for me,
and there was no one left to speak for me.

Apakah kita akan terus diam sampai pada akhirnya terlambat, dan terseret arus, seperti yang terjadi di Arab Spring?

_______
*Ditulis oleh Yohanes Sulaiman, Ph.D, pengamat politik internasional dan pengajar di Universitas Pertahanan Nasional
**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi II tahun 2013

Berikan tanggapan