Vivi V. U. Sidabutar,:
Hidup Berkualitas Untuk Tuhan dan Sesama

“…yang mengetahui berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan mempunyai pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap bekerja dalam istana raja supaya mereka diajarkan tulisan dan bahasa orang Kasdim.”

Daniel 1:4

Penampilan apik, kesempurnaan fisik, dan intelektual tinggi menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh orang-orang pilihan Raja Nebukadnezar. Orang-orang ini dianggap/diharapkan mampu memberikan keuntungan. Oleh karena itu, mereka harus mau menjalani latihan diplomatik dan pendidikan khusus yang dirancang secara khusus pula oleh kalangan istana Babel.

Sebagai keturunan bangsawan Israel, Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya dipilih untuk menjalani pendidikan guna mengasah intelektual dan fisiknya. Hal ini sesuai dengan perintah Nebukadnezar untuk mengambil benih-benih unggul dari bangsa tawanan mereka, Israel. Mereka akan dijadikan pegawai istana raja. Pendidikan formal berlanjut ketika mereka masuk ke dalam lingkungan kerajaan Babel, dalam status sebagai tawanan. Dalam masa pendidikan tersebut, Daniel dan kawan-kawan harus mempelajari bahasa dan kesusastraan Kasdim.

Setelah melihat kualitas mereka yang lebih dibandingkan dengan kandidat-kandidat lain, Raja Nebukadnezar menjadikan mereka sebagai pegawai istananya. Melalui mereka, tangan Tuhan yang tidak terlihat mengarahkan seluruh jalan sejarah bangsa Israel. Melalui intelektual mereka, Daniel dan kawan-kawan mengabdi kepada raja (pemerintah) dan Tuhan.

Melalui kitab Daniel ini, kita dapat melihat bahwa sejak dulu mereka yang berpengetahuan luas dan berhikmat banyak dicari dan dibutuhkan orang. Tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman sekarang. Di dunia yang serba maju ini, instansi, organisasi, perkumpulan, ataupun perusahaan selalu mencari orang-orang yang berkualitas untuk ditempatkan pada posisi penting.

Uji kemampuan serta bakat terus dilakukan guna memperoleh orang-orang yang tepat. Dan orang-orang Kristen pun harus ikut dalam persaingan ketat untuk mendapat “tempat yang baik”.

Seberapa banyakkah dari anak-anak Tuhan yang taat keluar sebagai ‘pemenang’? Memang, menang tidaknya kita dalam persaingan di dunia sekuler tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan campur tangan Tuhan. Tetapi apa dengan demikian kita hanya duduk berpangku tangan? Melepaskan apa yang seharusnya menjadi bagian kita, yaitu bekerja keras dan berusaha dengan segenap daya untuk menjadi orang yang berkualitas.

Dari kisah Daniel, kita belajar bahwa salah satu cara menembus benteng-benteng persaingan yang ada dalam masyarakat adalah dengan membuktikan kemampuan dan wawasan pengetahuan yang luas. Hal ini tidak dapat diperoleh hanya lewat seminar sehari saja, tapi merupakan proses pencarian seumur hidup, karena kita tahu bahwa ilmu pengetahuan bersifat kumulatif. Siapa yang paling banyak mempelajari akan menjadi yang paling pandai.

Daniel beserta dengan teman-temannya yang setia dan takut akan Tuhan harus bersaing dan uji kemampuan dan intelektual dengan tawanan Israel lainnya yang ternyata ikut arus budaya dan kebiasaan orang Babel yang tidak mengenal Tuhan. Akhirnya mereka berhasil membuktikan diri sebagai orang-orang yang berkualitas dan menjadi kemuliaan dari raja yaitu sebagai pegawai di lingkungan istana.

Menjadi pintar/intelek tidak berarti mengorbankan iman kepada Tuhan. Hamba-hamba Tuhan harus berani mempertahankan keyakinan dan ketaatannya kepada Tuhan, apa pun risikonya. Daniel dan kawan-kawan (Daniel 3 dan 6) terbukti berhasil dalam keyakinan dan iman mereka.

Daniel dan kawan-kawan tetap setia dan berani mengambil risiko, karena mereka mencintai Tuhan. Hanya mereka yang mencintai Tuhanlah yang dapat memberi hidup untuk orang lain. Mereka sadar, semakin limpah ilmu dan kemampuan yang mereka miliki, maka semakin besar pula tanggung jawab yang mereka pikul. Hal ini sepadan dengan yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Roma, “Tidak ada yang hidup untuk dirinya sendiri” (Roma 14:7). Hidup kita adalah untuk Tuhan, lewat pelayanan kita kepada sesama.

Sebagai manusia yang telah memperoleh keselamatan dalam Kristus, hendaknya kita mengisinya secara bertanggung jawab. Kita harus berusaha menyerap pengetahuan dan kecakapan seluas mungkin. Kita harus sadar bahwa kita bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, dan mempunyai tujuan mulia, menjadi terang bagi dunia demi kemuliaan nama-Nya.

Daniel yang mencintai Tuhan mengerti akan tujuan hidupnya. Ia menjalaninya dengan ‘bersih’ tanpa kompromi, sehingga akhirnya membawa segenap bangsa Babel mengenal Allah Israel. Kita pun hendaknya membekali diri dan menjadi “Daniel-Daniel” masa kini yang rindu dibentuk dan menjalani hidup sesuai dengan pengetahuan yang kita gali dan peroleh. Dengan demikian, kita dapat memimpin sesama kepada terang Injil Kristus.


Penulis adalah alumnus Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (FS-UKI), Jakarta 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *