Yulius Tandyanto:
Kant dan Kebebasan Para Pemilih

Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan,
di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya…
—Amsal 1:20

Immanuel Kant (1724-1804) adalah warganegara Jerman dan tak ada sangkut pautnya dengan Indonesia, apalagi Pemilu 2014. Kendati demikian, gagasannya tentang kebebasan dan tindakan bermoral menarik untuk ditelaah terkait dengan posisi kita sebagai calon pemilih (atau calon pilihan). Oleh karena itu, ada baiknya kita bernala-nala mengenai nasihatnya sebelum memantapkan diri dalam kenduri demokrasi 2014.

Kebebasan dan Tindakan Bermoral
Salah satu pertanyaan penting yang menjadi landasan kajian moral Kant adalah, “Apa yang saharusnya aku lakukan?” Melalui pertanyaan dasar itulah Kant hendak mengembangkan syarat-syarat yang memungkinkan suatu tindakan disebut tindakan bermoral. Dan bagi Kant, tidak ada tindakan yang bermoral selain kehendak baik itu sendiri.

Barangkali kita akan bertanya, “Mengapa Kant menetapkan kehendak baik sebagai satu-satunya tindakan yang bermoral?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami pengertian “kebebasan” dari cara pandang Kant. Menurut Kant, kebebasan bukan berarti kita memiliki berbagai pilihan dan leluasa menjalankan/menetapkan pilihan tersebut sesuai kehendak kita. Kalau demikian keadaannya, Kant berpendapat, “Bukankah kita justru tidak bebas dari dorongan-dorongan kehendak kita—bahkan dorongan yang bersifat rohani sekalipun?”

Jadi, ketika kita menggunakan kebebasan sesuka hati kita untuk menjadi golput, kita sedang terjebak dalam ilusi kebebasan. Sebaliknya, Kant menegaskan bahwa kebebasan justru terletak pada ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah kita tetapkan secara rasional sehingga aturan tersebut dapat berlaku umum (universal). Dengan kata lain, orang menjadi bebas ketika ia menaati dan berkomitmen pada aturan-aturan yang telah ia tetapkan sendiri secara rasional, bukan pada berbagai pilihan kehendak yang bersifat sesuka hati. Tentu persoalan yang muncul selanjutnya adalah: “rasional” yang seperti apa?

Mari kita simak percakapan antara Bhranta dan Chandra:
Bhranta : Mengapa kamu memilih menjadi golput di Pemilu 2014 ini?
Chandra : Karena golput adalah aksi protes terhadap rendahnya kualitas partai, caleg, dan capres.
Bhranta : Mengapa kamu protes?
Chandra : Karena aku mengharapkan caleg dan capres yang memiliki kualitas sebagai negarawan.
Bhranta : Mengapa demikian?
Chandra : Agar kesejahteraan bangsa ini terwujud. Dan itu berarti keadilan dan kebenaran ditegakkan.

Percakapan di atas memperlihatkan bahwa pilihan golput adalah putusan “rasional” demi mencapai tujuan yang baik, yakni kesejahteraan bangsa. Namun, Kant akan menunjukkan bahwa pertimbangan Chandra tidak rasional karena pengandaian/rasionalisasinya tidak dapat dirampatkan (dibuat umum). Bayangkan bila semua orang berpikir dan bertindak seperti Chandra, apakah proses pemilu secara demokratis dapat berjalan? Tentu tidak! Malahan, pertimbangan tersebut akan merusak proses kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijalankan secara demokratis. Syahdan, anarkisme akan menjadi satu-satunya hukum yang berlaku.

Kalau demikian, apakah seorang calon pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara rasional—dengan catatan pengandaian rasionalnya dapat dirampatkan—dapat dikatakan telah bertindak moral? Kant juga akan menyatakan bahwa tindakan si calon pemilih belum tentu merupakan tindakan bermoral, meskipun keputusan si calon pemilih dapat dibuat umum.

Bagi Kant, seorang calon pemilih yang menggunakan hak pilihnya demi memimpikan kesejahteraan bangsa—yang juga akan berdampak pada kesejahteraan dirinya—bukan merupakan suatu tindakan moral. Alasannya sederhana, karena tindakan si calon pemilih tersebut merupakan tindakan bersyarat. Jika situasinya dibalik, misalnya, bila kesejahteraan bangsa niscaya tidak akan terwujud, apakah si calon pemilih tetap akan menggunakan hak pilihnya? Andaikan saja pada akhirnya si calon pemilih memutuskan untuk tidak memilih karena toh pilihannya tidak memberi sumbangsih bagi kesejahteraan bangsa dan dirinya, maka keputusan si calon pemilih tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan bersyarat.

Tapi, tunggu dulu, bukankah pada paragraf kedua tulisan ini disebutkan bahwa Kant sedang mengembangkan syarat-syarat kemungkinan suatu tindakan bermoral. Dan bukankah itu artinya tindakan bermoral yang diajukan oleh Kant juga memiliki syarat? Atau dengan ungkapan yang lebih sederhana, apa bedanya syarat kemungkinan Kant dengan tindakan bersyarat si calon pemilih?

Di sinilah letak perbedaan halusnya. Syarat kemungkinan yang diajukan oleh Kant merujuk pada struktur formal suatu tindakan bermoral, tanpa terikat dengan muatan moralnya. Pada contoh kasus si calon pemilih, syarat tindakannya bergantung pada muatan moralnya, yakni kesejahteraan bangsa dan dirinya. Berbeda dengan si calon pemilih, Kant tidak berfokus pada isi moralnya melainkan pada kewajiban untuk mewujudkan perbuatan baik itu sendiri. Sederhananya, syarat kemungkinan yang dimaksudkan oleh Kant berorientasi pada bentuk, bukan isi tindakan bermoral.

Melalui pemilahan halus inilah, sebetulnya kita diajak untuk membedakan mana tindakan yang bermoral atau sekadar tindakan legalistis. Sederhananya, tindakan legalistis adalah perbuatan yang secara lahiriah sesuai dengan aturan-aturan. Namun, perbuatan tersebut ternyata didorong oleh beragam motif dan rasionalisasi untuk kepentingan pribadi atau lainnya, bukan demi kewajiban melakukan perbuatan baik itu sendiri.

Barangkali kita sering melihat orang-orang di sekitar kita bertindak legalistis, atau bahkan kita sendiri pun melakukannya. Kita terpaksa taat terhadap aturan-aturan yang berlaku umum padahal hati kita memberontak dan ingin memanipulasinya demi kenyamanan pribadi. Bagi Kant, kondisi “terpaksa” itulah yang menjadikan perbuatan kita bercorak legalistis dan bukan moral. Sebaliknya, bila kita menggunakan hak pilih kita karena kita sadar bahwa kewajiban itulah yang baik, maka kita bertindak moral.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan bermoral dalam pengertian Kant berarti tidak tergantung pada jenis perbuatan dan hasil yang hendak dicapai. Seseorang dikatakan bertindak secara moral jika ia memutuskan untuk wajib menjalankan aturan demi aturan itu sendiri secara sadar, rasional, dan mandiri. Dalam pengertian inilah makna kebebasan manusia sepadan dengan tindakan bermoral.

Bernala-nala tentang Pemilu 2014
Rasanya saya cukupkan bernala-nala tentang kebebasan dan tindakan bermoral ala Kant dalam tataran konseptual. Lantas, apa perlunya kita memahami nasihat Kant tersebut dengan Pemilu 2014 yang sedang berlangsung? Kira-kira jawabannya dapat diungkapkan begini: “Bahwa menggunakan hak pilih adalah suatu kewajiban moral.”

Kant memberi cara pandang lain ketika kita terbiasa berpikir untung-rugi atau berorientasi pada tujuan/hasil yang ingin dicapai. Sebagai calon pemilih, mau tidak mau kita perlu mengenal orang-orang yang terdaftar dalam bursa caleg dan capres. Melalui berbagai rekam jejak caleg dan capres yang beredar di media massa, kita mulai menimbang, mengimajinasikan, dan menganalisis bilamana kita menjatuhkan pilihan pada si A, si B, atau bahkan si X.

Di satu sisi, pertimbangan yang kita lakukan itu didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Di sisi lain, pertimbangan tersebut juga bersifat menyederhanakan karena kita seolah-olah “memasukkan” caleg dan capres dalam kategori-kategori pengetahuan yang kita ciptakan sendiri. Dengan kata lain, caleg dan capres yang kita diskusikan atau perdebatkan adalah gambaran atau proyeksi kita sendiri. Dan tentu saja, perdebatan makin panas dengan memanfaatkan segudang informasi di dunia maya—dengan tingkat kesahihan yang masih diragukan—mengenai caleg dan capres bersangkutan.

Bagi Kant, kondisi “terpaksa” itulah yang menjadikan perbuatan kita bercorak legalistis dan bukan moral. Sebaliknya, bila kita menggunakan hak pilih kita karena kita sadar bahwa kewajiban itulah yang baik, maka kita bertindak moral.

Secara karikatural, perdebatan tak berkesudahan itu memunculkan dua ekstrem pandangan: kaum fanatik dan kaum apatis (golput). Kaum fanatik biasanya menekankan pada satu atau beberapa kualitas yang mereka proyeksikan dari pribadi caleg atau capres. Kualitas-kualitas ini menjadi andalan atau kekuatan untuk mencapai tujuan yang dijanjikan dalam kampanye-kampanye politik. Sebaliknya, kaum golput menyoroti pada kualitas-kualitas korup yang inheren pada pribadi caleg dan capres bersangkutan. Itu sebabnya kaum golput memilih untuk tidak memilih sebagai aksi protes terhadap kualitas caleg dan capres yang merusak standar.

Di tengah-tengah ketegangan tersebut, cara pandang lain yang ditawarkan oleh Kant mengajak kita kembali untuk melihat manusia sebagai manusia. Para caleg dan capres tidak dapat kita sederhanakan begitu saja sehingga menjadi seperangkat proyeksi demi mencapai kesejahteraan bersama. Begitu pula para caleg dan capres tidak dapat memandang para calon pemilih hanya sebagai “suara” untuk melanggengkan ambisi politiknya. Dengan kata lain, martabat manusia harus menjadi tujuan akhirnya, tidak seperti kaum fanatik atau golput yang cenderung menjadikan manusia sebagai “alat/sarana” demi mencapai tujuan yang diharapkan.

Oleh karena itu, cara pandang Kant tidak pertama-tama menyoal tentang siapa caleg atau capres yang akan kita pilih, tetapi menekankan pada tindakan memilih kita sebagai kewajiban moral. Setidaknya, dari uraian tulisan ini ada dua syarat yang memungkinkan pilihan kita bernilai moral, yakni rasional-universal dan menjunjung martabat manusia. Jadi, kita dapat menggunakan cara pandang Kant sebagai salah satu refleksi kritis yang berseru nyaring di jalan-jalan dan memperdengarkan suaranya di lapangan-lapangan. Maka …, selamat memilih!

——-
*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *