Sesaat aku tertegun akan keindahan kota Jakarta, ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota itu, setahun lalu. Apa yang dikatakan orang tentang Jakarta ternyata tidak berbeda jauh dengan yang kusaksikan di layar televisi (TV), yang walaupun di kemudian hari sangat berbeda kenyataannya. Banyak gedung bertingkat ‘menggapai’ langit, masyarakatnya hidup begitu sibuk dan kompleks. Mereka acuh dengan sesama, seakan tidak membutuhkan orang lain.
Memperoleh pekerjaan dan berkarya di Jakarta, bagi orang daerah seperti aku, adalah suatu kebanggaan. Melihat kenyataan ini, aku memang tidak heran lagi jika Jakarta kebanjiran arus urbanisasi berbagai daerah. Mereka juga pasti hendak ‘mengadu nasib’
Berbekal ketrampilan yang kumiliki, yaitu ijasah Diploma III, tujuanku ke Jakarta adalah bekerja dan berkarya. Selama ini, aku tidak pernah berpikir bahwa orang dapat melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya. Aku juga tidak menyadari betapa ketatnya persaingan bursa pasar kerja. Kedatanganku hanya dilandasi semangat idealisme mencapai karir yang terbaik, tentunya dengan proses yang benar.
“Tok, untuk menjadi orang yang berhasil, pertama kali yang harus kita lakukan adalah menaklukkan pikiran kita kepada pikiran Allah. Setiap yang terjadi dalam kehidupan kita, itu adalah berkat Tuhan yang harus disyukuri.” Petuah kakak senior ku ini selalu kuingat. Nasihat tersebut sering diungkapkan tatkala membina dan mempersiapkan kami pengurus PMK, yang akan lulus dan terjun ke masyarakat. Kata-kata itu terus kuingat hingga sekarang saat aku telah bekerja pada sebuah perusahaan. Yah, walaupun jabatan hanya tingkat paling bawah, aku tetap mengucap syukur.
Aku memang sering mendapat tambahan penghasilan dari pekerjaanku. Itu memang karena prestasi, bukan karena sogokan, uang semir, pelicin atau apapun namanya. Aku merasa puas dengan prinsip kerja seperti itu. Aku dihargai karena prestasi dan kemampuanku. Selain itu tidak! Wajar kan!
Lama-kelamaan idealismeku mulai goncang. Apalagi melihat pratek-praktek yang tidak benar terjadi dalam kehidupan dan pekerjaanku; entah berkaitan dengan rekrutmen karyawan, promosi jabatan, mutasi bahkan prestasi. Orang dapat menggunakan cara-cara tertentu, “membeli” prestasi misalnya untuk mencapainya.
Yang aku lebih kaget lagi, banyak temanku yang seharusnya menjadi teladan positif malahan terlibat di dalamnya. Beberapa kali aku ditawari fasilitas menggiurkan untuk melakukan pekerjaan yang kurang terpuji. Yang namanya komisi, uang semir, pelicin sudah menjadi hal yang wajar dan menyusup di dalam setiap aspek kehidupan. Memang, hal-hal seperti itu sering kudengar dari berbagai media massa maupun isu yang beredar di masyarakat. Aku sering mendengar orang mengatakan bahwa hidup di zaman sekarang tidak ada yang tidak diukur dengan uang. Uang merajai segala aspek dalam kehidupan. Dengan memiliki uang, orang dapat berbuat sesuka hatinya, bahkan ‘mencabut’ nyawa sesamanya. Apakah itu merupakan pengabsahan dari ketidakwajaran menjadi suatu kewajaran? Entahlah! Yang pasti, aku tidak menyangka kalau akhirnya harus menghadapi kenyataan seperti ini.
Mengapa aku mulai goncang? Aku tidak munafik! Banyak kali aku terjebak pada problem pelik yang aku sendiri tidak bisa menghindar. Aku mulai ragu-ragu apakah prinsipku itu benar dan sesuai dengan ajaran imanku.
Apalagi, saat aku diperhadapkan dengan masalah dilematis. Aku berpikir 1000 kali sebelum mengambil keputusan. Apapun keputusan yang aku ambil itu memiliki resiko. Di satu sisi menyangkut masa depan karirku, dan harga diriku di sisi yang lain.
Waktu itu, aku diminta mengubah laporan anggaran yang akan diajukan ke sebuah instansi. Tujuannya adalah agar perusahaan tersebut tidak membayar pajak terlalu tinggi. Selain itu, bila laporan telah kubuat, aku juga diharapkan mengajukannya, tentu disertai dengan sejumlah uang ‘pelicin’. Jika tugas tersebut berhasil, satu posisi jabatan telah menantiku. Sebaliknya, jika tugas tersebut tidak ku lakukan sanksi-sanksi tertentu pasti ada dari perusahaan, walaupun tidak tertulis.
Aku cukup lama untuk memutuskan ya atau tidak. Namun di dalam pergumulan, aku dikuatkan kata Kristus yang menyuruh pengikutnya menerapkan prinsip ‘cerdik seperti ular, tulus seperti merpati’. Dengan tekad bulat aku menolak melakukan perubahan laporan tersebut. Aku siap menanggung segala resiko. Dengan perjuangan yang panjang dan alot, Aku bersyukur, akhirnya aku dapat membuat laporan itu tanpa mengalami perubahan dan berhasil disetujui instansi yang berwenang, walaupun memakai sedikit ‘uang bensin’. Inilah cara terbaik yang harus aku lakukan. Kalau aku dapat bersikap demikian semata-mata karena hikmat dan pimpinan Tuhan yang boleh aku terima. Aku sadar bahwa Allah akan menuntunku melalui dilema dan problema etis yang harus aku hadapi. Sejak pengalaman tersebut, aku senantiasa mempersilahkan Kristus memimpin dalam setiap langkahku.
Terus terang aku sering terjatuh, tetapi aku percaya masih diberikan hikmat dan pengertian untuk mengantisipasinya. Oleh karena itu dalam perenunganku, aku berpedoman kepada apa yang selama ini menjadi senjataku, yaitu iman dan pengharapan.
Prinsipku sebenarnya sederhana. Aku bekerja tidak hanya untuk mencari uang, tetapi ada yang lebih dari itu. Aku ingin menjadi berkat bagi sesama. Sehingga orang dapat melihat Tuhanku, melalui pekerjaanku. Karena itu, aku ingin melakukan pekerjaanku dengan sebaik mungkin. Hanya dengan itu, Tuhanku dapat dimuliakan. Aku beriman bahwa Tuhan pasti mencukupkan segala kebutuhanku. Allah tahu betul apa keperluanku, bahkan melebihi dari yang aku tahu. Karena itulah aku terus berpengharapan kepadanya. Dengan pemahaman seperti itu, aku mengevaluasi diri akan ketergantunganku terhadap uang. Untuk hidup di kota besar seperti Jakarta ini, memang aku butuh uang. Apalagi semua harga kebutuhan boleh dikatakan relatif mahal, dibanding harga di daerah. Tetapi dengan tegas kukatakan, uang bukan segalanya bagiku. Ada yang lebih hakiki daripada sekedar uang.
Aku ingat apa yang dikatakan Paulus “…sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan (Fil 4:11-12). Ayat tersebut begitu menguatkan aku di saat mengalami pergumulaan dan mulai goncang. Dengan perenunganku kali ini menguatkan aku untuk tetap konsisten dengan prinsip yang selama ini kuterapkan. Aku akan mendapatkan komisi yang didasarkan atas prestasi dan kemampuanku. Sebaliknya, juga aku akan memberikan imbalan layak kepada orang-orang yang berkualitas. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak ada meningkatkan kualitas hidupnya, bila hendak mendapat imbalan yang sepadan. Ibarat olahragawan, dia akan menerima piala setelah melakukan tugasnya menjuarai pertandingan dengan baik. Demikian juga mahkota akan diberikan kepada orang yang telah menunaikan tugasnya sampai garis akhir.
Aku bangga kalau aku dapat mengerjakan tugasku dengan baik walaupun tanpa “embel-embel” di belakangnya. Justru dari situlah aku mendapatkan upah yang sesungguhnya, yaitu aku dapat menjadi saksi Tuhanku tanpa upah. Sungguh aku bersyukur mempunyai Tuhan yang senantiasa memenuhi segala kehidupanku menurut kekayaandan kemuliaanNya.
Dituliskan oleh Heru Himawan Alumni FISIP Universitas Jember