Bowo Trahutomo S.,SE,CPHR:
Kepemimpinan Pascamodern

Guru kepemimpinan dari Canada, Michael Fullan, menuliskan pengamatannya, bahwa dua kegagalan terbesar dari pemimpin adalah ketidakmampuan mengambil keputusan di saat yang sangat genting dan ketidakpastian di saat menghadapi kompleksitas masalah.

Apakah kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan, hubungan, atau dinamika dan proses kolaborasi? Pemahaman kita yang terbatas pada pola kepemimpinan tradisional mungkin akan menyulitkan kita memahami jenis atau pola kepemimpinan baru yang bertumbuh di sekeliling kita saat ini.

Kepemimpinan seperti apa yang bangkit pada gereja yang bertumbuh di era pascamodern ini? Apakah bersifat biblikal? Jika ya, apakah pola kepemimpinan itu nampak berbeda dari pola kepemimpinan yang kita lihat selama dua puluh tahun terakhir? Apakah elemen-elemen dari kepemimpinan di era pascamodern yang nampak berbeda dari kepemimpinan yang telah lalu? Berikut beberapa hal yang bisa kita amati.

Penolakan atas kewenangan berdasarkan posisi

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”
(Fil. 2:5-7)

Pemberdayaan umat sebagaimana yang ditunjukkan oleh jemaat mula-mula dalam gereja purba oleh Kuasa Roh Kudus telah mengubah pola kepemimpinan imam-imam yang dipraktikkan dalam era Perjanjian Lama. Umat pilihan Allah tidak lagi membutuhkan perantara pemimpin umat atau imam, melainkan dapat secara langsung terhubung dengan Sang Kepala (yaitu Allah).

Pascamodernisme menolak wewenang yang terkandung dalam posisi formal, dan cenderung memberikan wewenang apabila memang layak didapatkan oleh sang pemimpin. Masyarakat pascamodern tidak menghormati pemimpin yang berada ”di atas” mereka, melainkan yang berada ”di antara” mereka. Hal ini berkaitan dengan teladan kepemimpinan rohani Perjanjian Baru, di mana Yesus Kristus mengajarkan bahwa ”barang siapa yang ingin jadi yang terbesar diantara kamu harus menjadi pelayan dari semuanya.” Perbedaan antara pemimpin dan pengikut menjadi tak berarti, karena sebenarnya kita secara simultan adalah memimpin dan juga mengikuti.

Pemimpin yang tak nampak bagai pemimpin

Dalam kisah Perjanjian Lama, baju zirah milik Saul tidak pas bagi Daud. Saul merupakan sosok seorang pemimpin yang di bayangkan oleh banyak orang, seorang yang gagah perkasa dan tingginya di atas rata-rata orang Israel pada umumnya pada masa itu. Sedangkan Daud pada waktu melawan Goliat dituliskan sebagai ”masih muda, kemerah-merahan dan elok parasnya” (1 Samuel 17:42).

Dalam kisah ”The Wizard of Oz”, anjing peliharaan Dorothy, yaitu Toto, menarik tirai besar yang menunjukkan bahwa sebenarnya Penyihir Besar ”Oz” hanyalah sesosok pria biasa, yang bersembunyi di balik sosok proyektor Penyihir Oz yang menyeramkan. Kisah tersebut menunjukkan bahwa tipikal kepemimpinan yang ditampakkan oleh Penyihir Besar Oz penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan, tidak menunjukkan tipikal pemimpin sejati yang diperlukan. Kemudian orang bertanya-tanya, pemimpin seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan. Jawabannya muncul di adegan berikutnya. Pemimpin yang dibutuhkan itu bukanlah sosok si Singa Besar, bukan si Manusia Sawah, dan bukan pula si Manusia Timah. Pemimpin itu adalah Dorothy!

Secara sepintas, Dorothy bukanlah sosok pemimpin yang dicari orang pada umumnya. Selain seorang perempuan, ia juga masih sangat muda. Dorothy bukanlah sosok yang memiliki semua jawaban, yang mengetahui apa yang terjadi dan ke mana harus pergi, dan lain sebagainya. Dorothy menemukan dirinya sendiri tersesat, seorang yang mencari jawaban, seringkali bingung dengan keadaan, serta rentan untuk diserang. Karakteristik ini tentunya akan mendiskualifikasi Dorothy dari sosok pemimpin modern yang ada di benak banyak orang. Namun, hal tersebut justru menjadi unsur penting yang membuat sosok pemimpin mendapat kepercayaan di era pascamodern.

Kepemimpinan dengan kebijaksanaan dan contoh hidup

Karena pengetahuan sifatnya terbatas, kebijaksanaan yang senantiasa aplikatif memiliki nilai lebih. St. Francis menyampaikannya dengan cara demikian, “Sebarkan dan ajarkan Injil setiap waktu; dan jika perlu, gunakanlah kata-kata.”

Jika modernisme menekankan pada “mendapatkan jawaban yang benar”, maka pascamodernisme menekankan pada pertanyaan “apakah ini dapat bekerja?” Pemimpin yang didengar pada era pascamodern bukanlah seseorang yang memiliki semua jawaban benar, melainkan seseorang yang dapat menanyakan pertanyaan yang tepat, dan kemudian berjalan bersama-sama mereka untuk menemukan jawabannya.

Dalam konteks gereja, kepemimpinan perlu dilihat sebagai sebuah karunia spiritual, bukan sebagai posisi atau wewenang, prestise, atau yang lainnya. Terlalu sering para pemimpin rohani terkungkung pada tirani perasan tekanan untuk “menumbuhkan pekerja”, sehingga mereka tidak dapat memiliki hubungan yang murni dengan orang-orang di sekeliling mereka.

Pemimpin era pascamodern bertahan untuk tidak mengambil-alih kontrol, sebab hal itu dapat mematikan inisiatif individu dan berpotensi menghalangi perkembangan komunitas secara alami. Tuhan Yesus Kristus mengajarkan bahwa kita tidak perlu menjadi “tuan”, melainkan menjadi rekan yang setara dan sesama rekan sepelayanan.

Kita membutuhkan pemimpin jenis baru, yang berfokus kepada pemuridan serta transformasi, kesetiaan, persaudaraan, dan ketulusan. Pemimpin di era pascamodern harus sanggup turun ke “akar rumput”, ke level yang terbawah, mengerti tantangan yang dihadapi para pengikutnya, dan berkarya bersama mereka.

Penutup

Banyak pemimpin masa kini gagal untuk terlibat mendalam dan mengerti mengenai budaya pascamodern, sebab mereka tidak memahami kesempatan-kesempatan yang ada di dalamnya. Hal yang terpenting adalah bahwa kita harus berpegang pada nilai-nilai kerajaan Allah. Zaman telah dan akan terus berubah, namun Injil tidak pernah berubah.

Jika kita melihat Kerajaan Sorga sebagai kekuatan yang membuat transformasi perubahan (sebuah proses yang harus terus-menerus berjalan sampai kita mencapai kesempurnaan dengan kembalinya Tuhan Yesus Kristus ke dunia), maka kita tidak hanya bebas untuk mengekspresikan iman kita saja, namun juga dimampukan untuk mengevaluasi ulang, membayangkan ulang, dan juga menceritakan ulang Kabar Baik Injil dengan cara yang dapat dirangkul dan dipahami oleh para pendengar.

——–
*Penulis adalah Bowo Trahutomo S.,SE,CPHR,  Manajer Senior bidang SDM di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta, 
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Berikan tanggapan