Majalah DIA

Kepemimpinan Wanita

 

Paulus berkata di jemaat Korintus bahwa wanita tidak diperbolehkan berbicara. Begitu juga dalam I Tim, PauIus dengan tegas tidak memperkenankan wanita mengajaratau memerintah pria. Sementara di Roma, Paulus mendorong wanita menjadi pemimpin. Begitu juga di Galatia, Paulus mengokohkan persamaan pria dan wanita.

Memang ada dua pandangan yang saling bertentangan mengenai kepemimpinan wanita di gereja. Keduanya memakai ayat-ayat firman Tuhan yang ditulis Rasul Paulus untuk pendukung pendapat mereka.

Di antara orang-orang Kristen mayoritas berpandangan’tradisional’ atau berpikir berdasarkan ‘urutan atau tingkatan’, yaitu wanita harus tunduk pada pria dalam segala hal. Mereka bergantung dan dapat menggunakan karunia-karunianya bila disetujui pria.

Posisi penganut liberal atau egaliter percaya bahwa pria dan wanita sederajat, sekarang masih sebagai minoritas, tapi akan semakin berkembang. Orang-orang beragama Kristen akan menekankan kerjasama dan kepatuhan timbal balik. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa Roh Kudus memberikan karunia pelayanan pada gereja baik pria maupun wanita.

Kedua sikap di atas tidak lepas dari otoritas Alkitab. Walaupun masing-masing pihak saling menuduh lawannya memiliki pandangan yang kurang Alkitabiah dan kurang mampu menafsirkan Alkitab. Kedua pihak memperdebatkan ayat-ayat yang sama dengan penuh semangat, terutama ayat-ayal yang ditulis Paulus walaupun kesimpulannya berbeda. Adapun referensi mereka adalah tujuh teks kunci awal yang biasa mereka gunakan: Kej. l: 26-28,2:18-25,3:16;I Kor.ll:5-12; I Kor.l4:33-35, Gal.3:27-29,4:31 ; Ef .5:22-26; I Tim.2:8- I 5; I Pet.3 : I -7.

Bagian-bagian di kitab Kejadian itu selalu menjadi dasar, karena dimulai dengan pandangan Allah terhadap penciptaan pria dan wanita. Bagian-bagian dalam Korintus dan Timotiusisi perilaku wanita (dan pria dalamkadar yang lebih sedikit) dalam pertemuan jemaat, terutama dalam konteks penyembahan berhala di Korintus dan Efesus yang permisif. Bagian-bagian di Efesus dan surat-surat Petrus berisi dengan hubungan antara suami isteri. Bagian di Galatia memberi klimaks argumentasi Paulus bahwa keselamatan hanya oleh kasih karunia. Inilah pernyataan doktrin yang paling jelas dari Paulus mengenai hubungan antara pria dan wanita.

Penganut tradisional biasanya memulai dengan bagian-bagian mengenai ‘kerudung’ dan’ berdiam diri’, dalam I Korintus dan I Timotius yang diperkuat dengan ayat-ayat tentang ‘kepatuhan’. Dipandang dari pengertian ini mereka menafsirkan persamaan hak dalam Galatia 3:28 hanya pada keselamatan, bukan dalam kepemimpinan. Bagi pengikut paharn ini, Galatia tidak menentang hubungan hirarki suami isteri. Golongan ini percaya bahwa lebih rendahnya status wanita dimulai pada Kej. l:26-27; karena Allah menciptakan Hawa sesudah Ia mencipta pria. Tentu saja ada banyak variasi dari tekanan dalam sikap semacam ini. Penganut persamaan derajat biasanya. Memulai dari Kejadian I. Penganut ini melihat persamaan antara dua jenis kelamin dari penciptaan dan perendahan status wanita terhadap suaminya diperkenankan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3:16). Mereka berpendapat bahwa. Galatia 3:28 dan II Kor5:17 mengandung impian kembalinya ‘ciptaan baru’ dalam Kej. 1:26-28; bukan ‘Kej. 3.Pengikutnya percaya bahwa untuk mulai dengan bagian-bagian Perjanjian Baru (PB) yang kontroversial harus dimulai dengan memprogrampikiran seseorang terhadap tafsiran tradisional.

 Bermakna Ganda

Kedua pihak setuju bahwa Gal. 3:28 (berlaku) universal, tetapi mereka tidak sepakat Pada bidang-bidang apa saja Penerapan persamaan pria dan wanita bisa dilakukan. Penganut paham tradisional murni mengatakan bahwa Paulus juga bertujuan bagian-bagian PB lainnya, khususnya 1 Tim 2:11-12 memiliki penerapan harafiah yang bersifat universal. Penganut egaliter murni berkata bahwa dalam bacaan-bacaan tersebut beberapa basian jelas universal, tetapi bagian lainnya hanya dapat dimengerti dalam konteks lokal dan prinsipnya dapat diterapkan secara harafiah.

Pemahaman tidak menyeluruh mengenai keadaan di Korintus dan Efesus membuat tafsiran-tafsiran dogmatik mudah diserang’ Bahkan bila diterima secara harafiah dan sepotong-sepotong, bagian-bagian tersebut nampak saling bertentangan, dan berlawanan dengan bagian lain Alkitab mengenai ‘persamaan’ dan ‘berdiam diri’ . Misalnya, ‘berdiam diri’ dalam I Korintus 14:33-35 akan terlihat bertentangan dengan I Korintus 11: 5, yang memperlihatkan bahwa Paulus mengakui praktek wanita berbicara dalam gereja. Tentu saja artinya berbeda karena konteksnya adalah tentang berdoa dan bernubuat, dimana itu adalah bentuk kepemimpinan jemaat!

Bagian yang paling sulit ditafsirkan adalah I Tim.- 2:11-15-.Penganut tradisionil menerimanya itu sebagai pengertian yang mutlak: wanita sama sekali tidak boleh mengajar dan memiliki otoritas terhadap pria dalam cara atau bentuk apapun berdasarkan minimal dua ayat dari Kej. 3. Beberapa orang sependapat dengan para rabi zaman Yesus bahwa wanita tidak memiliki kemampuan intelektual atau spiritual Yang cukup untuk mempelajari doktrin, apalagi mengajaraknya.

Penganut persaman hak melihat teks yang sama pertama-tama sesuai konteks setempat:Paulus tidak memperbolehkan wanita Yang agresif dan congkak mengajar dan memerintah atas Pria. Mereka percaya bahwa Pada dasarnya Paulus menentang sifat otoriter yang kelihatannya sudah diperlihatkan wanita tertentu, dimana ia dengan congkaknya mengangkat diri sebagai Pengajar di gereja Efesus yang masih muda dan rapuh. Larangan terhadap jenis kepemimpinan yang salah seperti ini kemudian diterapkan secara menyeluruh kepada pria dan wanita’

Memang dalam tulisan-tulisann Paulus dapat dilihat ada makna ganda di dalamnya dan alasan mengapa umat Kristen tidak sepakat terhadap penafsirannya. Tetapi beberapa makna tanda tersebut dapat dikurangi dengan menjelaskan kepemimpinan dan otoritas secara ‘hati-hati. Inilah yang seharusnya kita lakukan’

Bersikap Sehat

Penulis-penulis yang bertanggung jawab dari kedua pihak mengakui bahwa makna ganda seperti itu mempersulit masing-masing pihak untuk konsisten. Itulah sebabnya mudah mencari kelemahan masing-masing pendapat. Oleh karena itu perlu hati-hati menafsirkan Alkitab pada saat memilih ayat-ayat referensi pendukung,agar tidak terjebak pada makna yang “sudah ada” sehingga

Semua bagian akan cocok dengan makna tersebut. Kita tidak perlu kuatir pada makna ganda Alkitab. Allah tetap sama, tetapi sebagai ciptaan kita bertindak ialah. Makna ganda adalah, “saudara” dari paradoks yang penuh kesalahan mengandung kebenaran paralel, seperti kedaulatan Allah dan kebebasan manusia anugerah Allah dan penghakiman Allah.

Janganlah kita menghambat pengembangan karunia rohani wanita atau melewati batas firmanAllah. Batas-batas tersebut, termasuk kebenaran yang proporsional dan kepekaan terhadap faktor sosiolgi dalam menerapkan kebenaran. Paulus mengaplikasikan teologia Kristen yang radikal dengan cara berhati-hati,menggunakan pengertian umum yang sesuai dengan faktor-faktor lokal dan kemasyarakatan. Tentu saja dimana ada kejujuran intelektual dan kemurahan hati, maka Roh Kebenaran akan mengajar kita untuk belajar satu sama lain!

Penggunaan Hermenetik

Perbedaan interpretasi adalah alasan utama para pihak yang beroposisi. Untuk membantu baiklah kita belajar buku John Stott, yang berjudul Memahami Isi Alkitab (terjemahan PPA,1984, hal. 177- 194) yaitu pertama, prinsip kesederhanaan (mencari arti wajar); kedua, prinsip sejarah (mencari arti asal); ketiga, prinsip keserasian (mencari arti urnum). Adalah penting memahami bahwa setiap kaidah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Perlu memperhatikan hal ini karena kita mengaplikasikan kaidah tersebut terhadap suatu text.

1. Prinsip Kesederhanaan

Pada saat membaca I Tim 2:8-15 pertamakali, kemungkinan prinsip kesederhanaan sajaakan memimpin kita kepada pengertian seperti ini. Dalam ayat 8-10 Paulus memberi perintah kepada laki-laki maupun perempuan di gereja-gereja Efesus tentang perilaku mereka dalam ibadah bersama (public worship). Paulus secara khusus memperhatikan tata krama perempuan-perempuan yang kurang pantas karena pakaian yang menyolok dan sikap yang agresif (hal-hal yang kurang pantas bagi perempuan).

Dalam ayat 11 Paulus memfokuskan pada sikap suka melawan dari wanita dalam belajar. Ayat ini jembatan kepada sisa paragraf yang Paulus simpulkan dengan perintah mengenai hubungan wanita dengan laki-laki. Paulus jelas-jelas melarang seorang wanita mengajar dan memiliki otoritas di atas laki-laki, karena alasan yang dikemukakan kemudian.

Jadi, jika kita membaca kata-kata tersebut hanya pada permulaannya, itulah artinya. Wanita tidak akan pernah mengajar dan mempunyai otoritas/kekuasaan di atas laki. Sederhana. Betulkah begitu? Kalau memang begitu, maka banyak wanita Kristen di dunia ini menyalahi Alkitab. Khususnya di Cina, dimana dilaporkan oleh Jonathan Chao dari Pusat Penelitian Gereja Cina bahwa sekitar 60% guru-guru Alkitab adalah wanita. Begitu juga bagian lain dunia, Vivienne Stacey melaporkan dalam makalah Konsultasi Lousanne di Pattaya, 1980 bahwa 70% dari penginjil yang terlibat dalam penginjilan lintas budaya adalah wanita.

Dalam tahun-tahun awal pelayanan penulis menyelesaikan perdebatan Tim 2:72 dengan menginjili, mengajar dan memberi konseling (di luar wanita) hanya kepada laki-laki yang lebih muda dari penulis. Tetapi itu hanyalah kompromi yang lemah terhadap kenyataan, karena jarak 5 atau 10 tahun tidaklah menjadikan seorang ‘kurang’ menjadi wanita atau ‘kurang’ pria! Tetapi karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, penulis tidak begitu memberiperhatian akan hal itu.

Kemudian seorang teolog pria menolong penulis untuk ‘mengatasi’ masalah itu dengan cara lain. Ia mengatakan bahwa tidak mengapa bagi saya untuk memimpin lokakarya PA dan penginjilan, karena tidak mengajarkan doktrin.Ia yakin bahwa yang dimaksud Paulus dalam I Tim 2:12 adalah tentang doktrin. Padahal training-training itu sebetulnya penuh dengan doktrin! Nampaknya, beberapa dari kita tidak sepenuhnya mengerti atau menerapkan ayat-ayat itu secara benar, sehingga membuat kita orang-orang injili yang munafik. Jadi, prinsip kesederhanaan saja tidak cukup untuk menjaabhal-hal “sulit” dalam Alkitab.

2. Prinsip Sejarah

Situasi Efesus (I Tim. 2:8-15) sangat mirip dengan Korintus, sebuah kota pelabuhan besar yang dipenuhi dengan pelacuran dan moral ‘selokan’. Kebebasan wanita dikembangkan pendeta-pendeta wanita yang melayani di sebuah kuil besar untuk menghormati Dewi Artemis. Guru-guru palsu yang disebut Paulus (Tim l:3-7) mungkin termasuk wanita-wanita yang baru bertobat tapi masih dalam pengaruh pendeta-pendeta ini, baik dalam perilaku maupun pengajaran. Tidak heran bila Paulus berkata keras mengenai bagaimana orang Kristen seharusnya bertingkah laku di antara masyarakat penyembah berhala yang rusak moral.

Mengapa Paulus perlu mengajar para pria untuk berdoa tanpa kemarahan? Karena mereka berdoa dengan marah. Mengapa ia perlu memberitahukan para wanita unutuk berpakaian sopan? Karena mereka berpakaian tidak sopan. Kemudian dari kata jamak kata wanita (women) di ayat 9-10, Paulus tiba-tiba mengubah di ayat 11-12 kepada bentuk tunggal (woman). Ia kelihatannya sedang menunjuk individu tertentu yang tidak sudi belajar dari orang lain dan mengangkat diri ke posisi pemimpin.

Untuk wewenang (authority) Paulus menggunakan kata yang tidak lazim, authentein, yang hanya digunakan dalam kitab ini di PB. Artinya memiliki kekuasaan absolut, berkuasa terhadap orang lain. Mengingat suasana gereja Efesus dan bahasa Paulus yang tajam, penulis yakin bahwa Paulus sedang menunjukkan larangan pada situasi lokal tersebut.

Bila larangan tersebut absolkut secara universal, maka usahanya mendorong kepemimpinan wanita dalam gereja-gerja kerasulan akan merupakan kontradiksi. Hal tersebut dapat menimpublkan pertanyaan impilkasi. Haruskah seorang laki-laki dilarang mengajar kalau ia tidak terpelajar dan sombong? Prinsip tersebut harus berlaku bagi kedua pihak. Bila seorang wanita terpelajar (dimana kebanyakan wanita dalam zaman Paulus tidaklah demikian) dan sikapnya seperti hamba Allah yang dilukiskan dalam 2 Tim 2:24, tidakkah seharusnya ia menggunakan bakatnya mengajar dalam gereja? Tidak dapatkah wanita menggunakan wewenang yang telah didelegaskan kepadanya oleh pihak yang berwenang? Pricilla (Kis 18:26) jelas sekali seorang wanita dengan suaminya, Aquila, dalam strategi pelayanan mereka kepada Apolos.

3. Aturan Keselarasan

Disini kita perlu bertanya: apa yang diajarkan bagian lain Alkitab mengenai masalah yang sama? Secara singkat ada tiga bidang yang dipercaya dapat memberikan penerangan yang lebih lagi mengenai isu tersebut. Dalam PL tidak ditemukan contoh wanita yang kepemimpinannya sebanyak yang terdapat dalam PB. Tapi yang mengherankan, ada pemimpin-pemimpin wanita di Israel, yang dikelilingi masyarakat penyembah berhala yang memiliki anggapan bahwa wanita hanyalah sebagai harta bergerak bagi kelangsungan garis kaum laki-laki. Sarah melaksanakan suatu jenis kepemimpinan yang di interpretasikan Paulus secara luar biasa dalam Gal 4. Allah bahkan berkata kepada Abraham, “Apapun yang dikatakan Sarah kepadamu, lakukanlah sebagaimana ia katakan.” Tentu saja ini hanya berlaku untuk situasi tertentu, bukan untuk dimutlakkan!

Karunia Miryam untuk bernubuat memberinya kesempatan menjadi pemimpin nasional bersama kedua saudaranya, Harun dan Musa. Demikian pula Debora dan Hulda berada dalam garis kenabian yang berlangsung hingga PB. Di situ kita lihat seperti Anna dan lainnya.

Sikap Yesus kepada wanita sangat mengejutkan dan membuat perubahan dari praktek PL kepada praktek kerasulan. Yesus memberikan teladan dan menegaskan kemampuan serta kelayakan wanita untuk menyelidiki dan mempelajari kebenran rohani. Dia mempunyai murid-murid wanita (Luk 8:1-3). Dia namyak melakukan dialog-dialog dengan para wanita yang ingin belajar (Luk 10:40, Yoh 4:7-26, Mat 15:21-28).

Tak heran bila Dia dikritik dan disalahkan orang-orang Farisi yang begitu terikat tradisi! Dia mempercayai berita yang mengejutkan mengenai kebangkitan-Nya pertama kali kepada para wanita yang setia datang ke kuburnya. Pengetahuan dalam cerita-cerita Injil ini sering menyembunyikan tindakan-tindakan Yesus yang radikal dalam memutar sejarah wanita kembali kepada pembentukan alam semesta. Ia diciptakan bersama dalam pria, juga unruk menguasai seluruh dunia (Kej 1:26-28).

Mengenai kebuasaan kerasulan, dalam Kisah Para Rasul. Paulus bekerja dengan bermacam-macam wanita. Dalam Kis 16:14-15, 40 Lydia merupakan contoh yang baik. Kita sudah meli­hat Priscilla dalam pekerjaannya di gereja Efe­sus setelah pekerjaannya bersama Paulus di Korintus di Kis 21:19. Keempat putri Fillpus memiliki pelayanan kenabian  sebagaimana para wanita yang disebutkan di I Kor 11. Di Roma 16:1-3 Paulus menghargai Febe secara khusus sebagai seorang pemimpin gereja, seorang “pembantu pendeta” (secara literal) dan penolong (prostatis, memerintah, menge­ tual atau melindungi). Ia juga melanjutkan komentarnya mengenai Priscilla dan suaminya, menyatakan terima kasih kepada mereka untuk pekerjaan yang penuh pengorbanan (Kis 18:2-3).

Paulus juga menunjukkan penghargaannya untuk kerja keras Maria (ayat 6), Yunias yang unik, Trifena dan Persis yang digambarkan Sebagai pekerja keras (ayat 12). Dalam Fil. 4:2 Paulus dengan hangat berbicara tentang Euodia dan Sintikhe, yang diletakkannya pada golong­an yang sama dengan pemimpin pria di gereja Filipi.

Kita dapat melihat bahwa alur dalam I Tim 2 dan Kej. 1 adalah wanita dalam kepemimpi­ hanya mengalami pertumbuhan sedikit demi sedikit, kembali ke Kej. 1:28. Dan suatu hal pasti adalah Roh Kudus membagi  karunia bukan berdasarkan jenis kelamin, tapi berdasarkan kebutuhan dan kehendak-Nya.

Banyak orang, pria maupun wanita, keberatan atas kepemimpinan wanita, karena wanita yang menjadi pemimpin menjadi kelaki-lakian. Sebagian memang demikian. Tapi alasan itu tidak cukup untuk  menyatakan keti­dak setujuan. Penulis percaya, Paulus dalam I Timotius pada dasarnya melarang kepemimpinan yang salah, baik oleh pria maupun wanita. Penulis pun tidak setuju  terhadap wanita yang  kelaki-lakian berbuat seolah-olah ia berkuasa atas pria dan wanita. Penulis juga tersinggung bila pria melakukan  hal  yang sama.

Penulis mengerti mengapa Paulus dan Petrus harus mengingatkan para istri untuk patuh tun­duk kepada suaminya. Seorang wanita yang cakap, tanpa harus menunjukkan sikap otokra­tisnya, dapat tetap menakutkan suaminya. Oleh karena itu bila wanita menjadi pemimpin hen­daklah ia mempunyai sifat-sifat kepemimpinan antara lain: mau diajar dan tunduk kepada Ye­sus Kristus sebagai Tuhan, setia kepada perkara-perkara Tuhan (1 Kor 7:32-35, Lukas10:38- 42), lemah lembut, baik dan sabar (2 tim 2:24-25), tunduk pada wewenang gereja (1 Korintus 14:34), penuh perhatian dan dapat di­andalkan (Rom 16:1-2) dan penuh pengorba­nan dalam pelayanan (Rom 16:3). Selamat menjadi  pemimpin!***

 

*Tulisan asli berfudul Women In Leadership, Ada Lum, dimuat di IFES Review, mantan staf misi IFES., diterjemahkan oleh Oh Yen Chen, Oh Yen Nie, Nancy Poyoh dan Vivi Sidabutar

 

 

Exit mobile version