Yoel M. Indrasmoro:
  Kodrat Atau Budaya  

Dua kata yang sering terucap keluar jika seseorang berbicara mengenai perempuan, apalagi di bulan April ini, adalah kataemansipasi dan kodrat.

Jika menyimak baik.setiap pidato yang ada dalam rangka memperingati hari Kartin kita semua setuju bahwa seringkali setiap sambutan tak lepas dari kata emansipasi. Misalnya,

Ungkapan”wanita sekarang lebih enak dibandingkan wanita dahulu,” Wanita sekarang

berkesempatan belajar dan bidang pekerjaanpun Iebih luas dibandingkan masalalu.Inilahemansipasi. Dimanawanita dianggap sejajar dengan laki-laki. Kita wajib bersyukur jikapemerintah menggalakkan emansipasi disegala bidang.

Disamping ungkapan-ungkapan yang menggambarkan semangat emansipasi yang diteriakkan  dengan penuh gairah, seringkali ditutup dengan pesan yang biasanya lebih lembut menghimbau. Tetapi ibu-ibu, hal ini jangansampai membuat kita melupakan kodrat kita. wanita boleh-boleh saja berkembang wawasan,tetapi harustetapingat pada sikap kewanitaannya. Jangan sampai lupa diri! Karier jangansampai membuat kita melupakan –

dapur. lngat, dapur merupakan kewajiban seorang perempuan! Dan biasanya ungkapan seperti ini membuat ibu-ibu yang mendengar manggut-manggut menyetujui pembicara.

Demikianlah keadaannya. Terdapat dua kata yang

sepertinya enggan kita pisahkan. Kata emansipatsi dan kodrat. Disatu pihak ada keinginanmemberikan kesempatan sebesar-besarnyakepada kaum perempuan. Namun berbarengan dengan itu terdapat ketakutan setiap orang jika hal ini akan membuat wanita menjadi  “aneh-aneh”. Sehingga merasa perlu membatasinya dengan kata kodrat.

Dan kalimat ini pun bukanlah monopolikaum laki-laki saja. Karena banyak juga kaum perempuan yang ikut mendengung-dingungkan dan menyetujuinya. Contoh kecilsaja, seorang guruSD, laki-laki ataupun perempuan,Jika hendak memilih ketua kelas akan mendahulukan laki-laki sebagai prioritas utamanya. Jika mereka tidak mendapatkan laki-laki yang cocok barulah jabatan tersebut jatuh ketanganperempuan.

Mungkin inilah budaya patemalistik. Tetapikalau kita menilai perempuan menurut konteks Atkitab, kita akan menyaksikan kenyataanyang lain dalam budaya yangsama-sama paternalistiknya.

Kejadian 2:18 mencatat, …tidak baik, kalau manusia seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan denga dia. Penulis kitab Kejadian yang notabene orangYahudi tetap setia dan konsisten menuliskan dan menyalin ulang ayat ini. Kita juga

harus bersyukur, walaupun Alkitab ditulisdalam buday patemalistik, seperti terlihat dalam peristiwa 5 roti dan 2 ikan, yanghanya mencatat 5000 orans laki-laki. Tapiayat itu (Kej.2:18) tidak hiIang atau dikaburkan sama sekali dari Alkitab. Inilah sikap yang berusaha mempertahankan kebenaran dari pencemaran budaya. Tapi memang ada hal yang penting dan mendasar dalam ayat tersebut.

Dalam kedaulatan-Nya yang sempurna, Allah dengan rendah hati mengatakan tidak baik atas segala sesuatu yang telah diciptakan dan diakui-Nya sungguh amat baik itu (Kej 1:25). Ada kesadaran penuh dari Allah sendiri, yang tak mungkin kita pahami, tetapi inilah yang diucapkan oleh Allah sendiri. Misteri yang sukar untuk dimengerti secara logis. Allah yang sempurna, menciptakan dunia ini dengan sungguh amat baik, melah mengucapkan, “Tidak baik kalau manusia seorang diri saja.”

Tetapi inilah kenyataan sesungguhnya. Bahwa manusia memang merupakan mahluk sosial yang membutuhkan orang lain bukan hanya sebagai pendamping, tetapi lebih dari itu, sebagai pendamping, tetapi lebih dari itu, sebagai tempat curahan ekspresi karsa dan karyanya. dan memang yang mengerti kehendak dan karya manusia hanyalah manusia saja, bukan tumbuhan atau hewan.

allah melihat bahwa manusia memang membutuhkan pertolongan. Kej 2:20 mencatat, … tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengannya. Ada kebutuhan disana. Penciptaan perempuan memang bukanlah sekedar ada saja, tetapi memang Allah sendiri melihat dalam kedaulatan-Nya yang sempurna bahwa Adam membutuhkan pertolongan orang lain.

Tak hanya itu saja, tetapi Allah menciptakan penolong yang sepadan. Perempuan diciptakan Allah bukan sekedar pendamping laki-laki. Tetapi Alkitab mencatat bahwa manusia memang membutuhkan pertolongan (Kej 2:20).

Ungkapan penolong yang sepadan pada hakekatnya itu pun merupakan rencana Allah yang hanya untuk kebaikan manusia saja. Dua kata yang tidak mungkin dapat kita pisahkan. Yaitu kata penolong dan sepadan. Mungkinkah kita mendapatkan pertolongan dari orang yang kemampuannya dibawah kita? O, pastilah kita sendiri akan menjadi sangat tida percaya bahwa orang tersebut mampu menolong kita. Tetapi kebalikannya, jika orang tersebut mempunyai kemampuan yang sangat jauh diatas kita malah akan membuat diri kita menjadi minder ( rendah diri). Penolong yang sepadan merupakan komposisi sempurna. Yang tidak akan membuat manusia masuk ke dalam jebakan tinggi hati karena ketidakpercayaan maupun jebakan rendah diri karena merasa tidak dapat berbuat apa-apa.

Pengertian sepadan pun akan membuat Adam sadar bahwa dia pada hakekatnya bukanlah pribadi yang melebihi perempuan tetapi memang sepadan. Sepadan berarti setara, sejajar, tidak ada perasaan tunggi atau pun lebih rendah.

Kenyataan bahwa perempuan diambil dari rusuk Adam pun sudah merupakan isyarat bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan pada mulutnya. Mereka sendiri merupakan satu adanya, yang seharusnya tidak membuat laki-laki mempunyai alasan untuk merendahkan perempuan karena hal ini berarti ia telah menghinakan dirinya sendiri. Sekali lagi tak ada alasan bagi setiap orang untuk melihat mana atasan dan mana bawahan dalam hal ini. karena mereka mempunyai nilai dan derajat yang sama. Karena mereka memang satu pada awalnya.

Penciptaan perempuan yang berasal dari rusuk Adam membuat Bapa Gereja Aurelius Agustinus (354-430) menulis sajak tentang wanita yang kemudian digubah oleh Dale S. Hadley, seperi berikut:

Woman was created from the rib of man

not from his head to be above him

nor from his feet to be walked upon

but from his side to be equal

near his arm to be protected

and close to his heart to be loved

inilah kesetaraan. Dimana memang tidak ada perasaan superior maupun inferior. Inilah yang disebut dengan partner. Yang menurut KBBI berarti dua pihak yang berbeda yang berkerja sama karena saling membutuhkan dan melengkapi. Terlebih dengan kenyataan bahwa setiap kita, baik laki-laki maupun perempuan memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Menganggap rendah wanita berarti sama dengan mempertanyakan kembali kesempurnaan Allah. Menghina Allah!

Inilah pekerjaan rumah kita sebagai warga negara maupun sebagai gereja: memakai kodrat Allah (dan bukan kodrat budaya, yang pada dasarnya merupakan buatan manusia) dalam memperlakukan wanita. Mencoba melihat perempuan bukan hanya dalam kacamata budaya kita saja, tetapi dalam kacamata pencipta-Nya. Ada keinginan diri sendiri untuk menerangi pola pikir yang sudah ada dengan Alkitab. Sekali lagi, dalam pikiran yang berpusat kepada Allah. Memakai pola pikir Allah. Budaya Allah.

Dan memang, bukan pekerjaan yang mudah. Karena hal ini, seringkali akan membuat kita memerangi diri sendiri.

 

*dituliskan oleh Yoel M. Indrasmoro, Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB)

Berikan tanggapan