Majalah DIA

Media Baru dan Terorisme

Minggu Palmarum, 28 Maret 2021, sepasang suami-isteri meledakkan diri dengan bom di depan Katedral Kota Makassar. Keduanya meninggal di lokasi dengan anggota tubuh berserakan di jalanan yang relatif sepi. Sembilan belas orang jemaat yang berada di sekitar mereka mengalami luka-luka.[1] Dua hari kemudian, sebuah akun Instagram mengunggah sebuah surat yang disebutkan sebagai wasiat terakhir pelaku kepada keluarganya. Apabila surat tersebut benar, maka motivasi pelaku pengeboman cukup jelas tersurat, yakni menjadi kurban, dengan harapan bahwa dia dan keluarganya kelak akan masuk dan berkumpul kembali di surga.[2]

Hanya berselang tiga hari, seorang perempuan berusia 25 tahun masuk ke dalam komplek Markas Besar Polri, lalu mengeluarkan pistol berjenis airsoft gun dan menembakkannya secara acak. Setelah baku tembak dengan petugas, ia akhirnya meregang nyawa setelah peluru petugas mengenai jantungnya. Sama seperti pelaku bom bunuh diri di Makassar, bungsu dari enam bersaudara tersebut juga meninggalkan surat wasiat.[3] Yang menarik adalah, dalam surat wasiat tersebut, terdapat frasa yang identik dengan surat wasiat yang ditinggalkan oleh pelaku bom bunuh diri katedral, yang kira-kira berbunyi demikian:

“Saya menyayangi ummy/mama, tapi Allah lebih menyayangi hamba-Nya.

Meski cukup banyak yang meminta agar aksi teror tersebut tidak dikaitkan dengan agama, termasuk Presiden Jokowi[4], berbagai fakta yang diungkap oleh kepolisian menunjukkan sebaliknya. Pelaku merupakan bagian dari organisasi teror berdasarkan agama, yang menyebut kelompoknya sebagai Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS. Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia berpendapat, bahwa aksi tersebut menurut kepercayaan pelaku akan mendapatkan ganjaran berlipat-ganda karena dilakukan jelang bulan puasa.[5] Kesimpulan ini senada dengan isi kedua surat wasiat di atas. Dengan kata lain, motivasi utama, jika bukan satu-satunya, dari aksi bom bunuh diri di Makassar dan penembakan di Mabes Polri tersebut adalah agama atau kepercayaan mereka.

Surat wasiat pelaku teror di Katedral Makasar dan Mabes Polri Jakarta/posmetro

Fenomena kemiripan pesan dalam surat wasiat kedua teroris yang berbeda kota dan ada kemungkinan tidak saling kenal di atas semestinya menjadi perhatian serius dari pihak berwajib. Keberadaan media baru, alias internet membuat persebaran gagasan kekerasan makin luas dan sporadis. Wawan Hari Purwanto selaku Deputi VII Badan Intelijen Negara menyatakan, bahwa para pelaku memiliki kesamaan pemahaman dan keyakinan ketika berselancar di media sosial, sehingga bisa saling memotivasi dan menginspirasi.[6] Inspirasi teror dari media sosial bahkan pernah terjadi lima tahun yang lalu, ketika seorang remaja menyerang pastor gereja St. Joseph di Medan. Remaja tersebut mengaku terinspirasi dari serangan teror serupa di Perancis, yang disaksikannya di media sosial.[7]

Dua sisi media baru

Media baru memang memiliki sisi gelapnya, yakni berpotensi besar menjadi pembibitan dan pembiakan ide-ide teror. Bahkan menurut Solahudin dari Pusat Pengkajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, paparan radikalisme via media sosial tersebut jauh lebih instan dibandingkan dengan yang dialami pelaku teror 2002-2010 di Indonesia. Ribuan konten yang menolak pandangan keberagaman hingga mengajak melakukan kekerasan, termasuk kepada aparat pemerintah, dengan mengatasnamakan agama bertebaran di media sosial.[8] Narasi kebencian terhadap pemerintah dan atau pemeluk agama lain tersebut tak jarang malah disebarkan oleh para politisi dengan kecakapan berbahasa yang cukup tinggi sehingga postingan mereka sulit dikategorikan sebagai ujaran kebencian secara langsung.

Namun di sisi lain, media baru juga sangat berpotensi untuk menyebarkan gagasan-gagasan toleransi atau penerimaan terhadap kondisi keberagaman di Indonesia, kedewasaan dalam beragama, dan kasih terhadap sesama manusia. Pertanyaannya kemudian adalah, siapakah yang akan melakukan kontranarasi tersebut? Jawabannya akan terdengar klise, namun hanya gerakan dari akar rumput lah yang lebih sangkil dalam memberikan narasi tandingan. Alasan utamanya jelas, yakni karena Pemerintah sudah terlanjur mendapatkan stigma negatif dari kelompok-kelompok pengadopsi tafsir kekerasan atas nama agama.

Mimbar virtual

Para pemuka agama juga perlu untuk melihat media sosial sebagai “mimbar virtual” yang dapat menjadi rujukan umat dalam mengambil sikap dan gaya hidup toleran, dengan pesan-pesan yang menyejukkan. Ini tentu tantangan yang tak gampang, meski bukan pula mustahil, mengingat ada kalanya bahkan cendekiawan di bidang agama pun dicap sebagai sesat. Namun, setidaknya pesan-pesan yang sejuk tersebut menghindarkan sebagian orang dari narasi kekerasan dan kebencian yang ada. Para aktivis keagamaan juga perlu “melek media” dan terus mengasah diri dalam meningkatkan keterampilan mengolah serta menghasilkan konten-konten yang menarik pengguna media sosial, khususnya dari generasi milenial. Para content creator dapat berkontribusi dengan membagikan pengetahuan serta tips dan trik dalam mengelola akun media sosial.

“Kurikulum” pembekalan calon pewarta di perusahaan-perusahaan media harus diperbarui dan disesuaikan dengan masukan-masukan dari para peneliti dan pakar media tentang bagaimana sebaiknya pemberitaan dikelola dalam rangka menguatkan rasa “Bhinneka Tunggal Ika” khalayaknya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak media sosial untuk memperkecil jangkauan konten-konten bermuatan kekerasan dan kebencian. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan masukan beberapa pihak agar Kementerian Agama memberikan sertifikasi kepada para penceramah di rumah-rumah ibadah. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri juga perlu mempertimbangkan masukan pengamat untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang daftar organisasi teroris. Di sisi penyiapan aparat, kurikulum dan SOP antisipasi serta penanggulangan teror harus diperbarui sesuai dengan kondisi dan kebutuhan terkini.

Akan tetapi, Pemerintah dan berbagai pihak yang selama ini seolah “alergi” membuat kaitan antara tindakan teror dengan (penafsiran sempit atas ajaran) agama perlu mengubah sikap dan merangkul realita, bahwa pada kenyataannya, agama sebagai ideologi memang rentan dimanfaatkan sebagai dalih atau alibi dalam menyebarluaskan gagasan kekerasan dan kebencian, dan kemudian dijalankan dengan tulus hati oleh para pelaku terorisme. Selama Pemerintah masih mengadopsi pendekatan a la Amerika Serikat yang “terlalu berhati-hati” dalam penggunaan diksi dalam komunikasi publik, maka jalan pemberantasan terorisme di Indonesia akan masih panjang.[9]

Kiranya tak ada lagi ibu yang kehilangan anaknya karena menyerah pada kehidupan dan memilih jalan kematian.

Referensi:

[1] https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/100000165/bom-gereja-katedral-makassar-kronologi-kejadian-keterangan-polisi-dan-sikap?page=all

[2] https://www.instagram.com/p/CNBsWs9DW1j/

[3] https://news.detik.com/berita/d-5519366/serangan-zakiah-aini-ke-mabes-polri-dan-isi-wasiat-yang-bikin-gempar

[4] https://news.detik.com/berita/d-5511201/jokowi-terorisme-kejahatan-kemanusiaan-tak-ada-kaitan-dengan-agama-apa-pun

[5] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56556322

[6] https://nasional.tempo.co/read/1448894/kata-bin-soal-kemiripan-surat-wasiat-pelaku-teror-makassar-dan-mabes-polri/full&view=ok

[7] https://www.voaindonesia.com/a/serangan-pastor-di-medan-terinspirasi-pembunuhan-di-perancis/3489323.html

[8] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/03/13/media-sosial-percepat-paparan-radikalisme/

[9] https://ojs.unimal.ac.id/AAJ/article/view/272


*Penulis adalah pengamat media, tinggal di Jakarta 

Exit mobile version