Philip Ayus:
Media dan “Pejantan Tangguh”nya

Aduh sialan, nih Si Doel anak Betawi asli
Kerjaannye sembayang mengaji
Tapi jangan bikin die sakit hati
Die beri sekali, Huh.. orang bisa mati

(Lagu tema sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”)

<p> 

P

etikan dari lagu tema sinetron yang sempat populer di era 1990-an, “Si Doel Anak Sekolahan” (SDAS), di atas menggambarkan (atau menebalkan) stereotip masyarakat terhadap suku Betawi. Dengan mengambil latar belakang lingkungan perkampungan orang Betawi, film SDAS mengisahkan tentang Abdullah bin Sabeni (Si Doel) yang ternyata mampu “melampaui” stereotip yang dilekatkan terhadap suku Betawi, yaitu: bisa bersekolah tinggi dan lulus sebagai “tukang insinyur” (Karno, 1994).

Di dalam lagu pembuka sinetron ini, Si Doel digambarkan sebagai “anak Betawi asli” yang rajin “sembahyang dan mengaji”, namun meski “alim”, Si Doel bisa pula melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang membuatnya sakit hati. Salah satu adegan dalam klip pembukaannya menggambarkan Si Doel yang sedang belajar bela diri. Jadi, se-terdidik dan se-alim apapun, Si Doel sebagai seorang pria harus tetap terlihat “tangguh” dan bahkan tidak segan melakukan kekerasan, demikian kira-kira yang bisa dibaca dari teks (syair dan gambar—pen.) pembukaan sinetron SDAS.

Penggambaran teks media mengenai “kejantanan” pria yang dikaitkan dengan ketangguhan dan kekerasan sudah jamak terjadi di setiap era dan tempat. Jackson Katz (1999), seorang pendidik antikekerasan, mengungkapkan realitas ini dalam film kolaboratifnya dengan Sut Jhally dari Media Education Foundation yang berjudul, “Tough Guise: Violence, Media and the Crisis in Masculinity” atau biasa disebut, “Tough Guise.” Dengan merangkai berbagai cuplikan film dan iklan dari tahun 1960-an hingga 1990-an, Katz menunjukkan, bahwa media sejak dahulu selalu menggambarkan pria tangguh sebagai sosok yang akrab dengan kekerasan—sesuai dengan apa yang dimaknai masyarakat pada milieu film bersangkutan dengan kekerasan. Misalnya, ukuran senjata api berkembang menjadi semakin besar, demikian pula dengan postur tubuh aktor laga yang semakin kekar tampilannya. Hal yang sama terjadi pada panggung gulat profesional. Postur tubuh pegulat masa lalu yang tambun sama sekali berbeda dibandingkan dengan postur tubuh pegulat masa kini yang kekar dan berotot.

Konstruksi media mengenai gambaran tubuh yang macho barangkali berbeda di tiap budaya, tetapi keterkaitan antara maskulinitas dengan kekerasan tampaknya tidak. Para pendekar kungfu di film-film laga produksi Hongkong, misalnya, memiliki postur yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada yang istimewa kecuali kemampuan bela dirinya. Demikian pula dengan Si Doel. Penggambaran ini sangat berbeda dengan postur protagonis di film-film laga produksi Hollywood, yang berotot kekar dengan rahang yang keras seperti Stallone, Schwarzenegger, atau Van Damme. Tetapi sekalipun sangat berbeda dalam penggambaran postur tubuh ideal, kesemuanya memiliki kesamaan dalam penggambaran mengenai maskulinitas: pria sejati mampu bertarung dan menggunakan kekerasan jika diperlukan. Dan, hal ini membentuk atau menebalkan stereotip mengenai apa itu maskulinitas atau kejantanan.

Stuart Hall (2006) memberikan tiga posisi pembaca dan media, yakni posisi dominan-hegemonis, dimana pembaca teks mengaminkan sepenuhnya apa yang disampaikan kepada mereka, lalu posisi ternegosiasi, dimana para pembaca teks memahami apa yang sedang didiktekan oleh media namun belum mengambil posisi ketiga, yakni oposisi, dimana pembaca membaca teks media secara kritis, dan tidak bergantung sepenuhnya pada apa yang didiktekan oleh media.

Para pembaca teks media memiliki stereotip masing-masing mengenai maskulinitas, tetapi stereotip tersebut dapat berubah ketika membaca teks media tertentu, entah menebal atau berkurang. Sayangnya, media banyak memanfaatkan penggambaran stereotip yang ada di masyarakat (Gorham, 2005). Alhasil, stereotip yang ada di masyarakat justru semakin kuat terhadap isu-isu tertentu, termasuk maskulinitas. Orang-orang yang berada di dalam produksi media perlu memikirkan masak-masak mengenai gambaran apakah yang akan mereka sajikan kepada masyarakat. Di sisi lain, para pembaca teks-teks media juga seharusnya lebih berhati-hati dalam menanggapi tiap gambaran yang disajikan oleh media.

Dengan demikian, konstruksi media akan maskulinitas takkan dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem stereotip pembacanya, dan Si Doel tak harus berubah menjadi pria beringas (ketika sakit hati), hanya untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang—meminjam judul sebuah lagu—“pejantan tangguh.”

 

 

Referensi:

Gorham, B. W. (2005). Considerations of Media Effects: The Social Psychology of Stereotypes: Implications for Media Audiences. In A. Houston (Ed.), Beyond Blackface: Africana Images in U.S. Media. Houston: Kendallhunt.

Hall, S. (2006). Encoding/Decoding. Dalam M. G. K. Durham, Douglas M. (Ed.), Media and Cultural Studies: Keyworks (pp. 163-173). MA: Blackwell Publishing.

Karno, R. (Penulis) & R. Karno (Sutradara). (1994). Si Doel Anak Sekolahan [Televisi]. Dalam R. K. R. Karno (Produser), Si Doel Anak Sekolahan. Jakarta: Karnos Film.

Katz, J. (Writer). (1999). Tough Guise – Violence Media and the Crisis in Masculinity. In S. Jhally (Produser).

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *