Majalah DIA

Pembokat

Temanku, Tety, lagi-lagi tidak bisa ikut rapat BPH PMK. Padahal yang akan dibahas hari ini cukup penting, menyangkut tindak lanjut pembinaan atas mereka yang baru saja ikut retret PMK. Dan, sebagai koordinator Sie Pembinaan, Tety, seharusnya hadir karena porsi pembicaran lebih banyak berkaitan dengan tugasnya.

“Biasa, Wan! Masalah klasik, enggak ada pembokat!” ujar Gito enteng menanggapi ketidakhadiran Tety.

“Paling-paling, dia harus jaga rumah dan ngurus dapur,” tambahnya lagi

“Emang itu rumah mau lari ke mana sih? Pake dijaga-jaga segala. Atau, rumah Tety isinya emas melulu sehingga harus dijaga?” tanyaku.

“Engga tahu dah, Wan! Emang, kalau di rumah enggak ada pembantu, repotnya enggak ketulungan. Bukan hanya Tety, aku sendiri sering ngalamin.”

“Emang di rumah kamu ada berapa pembantu sih, Git?”

“Kamu tanya berapa? Ya…ilah..satu saja sudah syukur”

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Tahu nggak, Wan. Zaman sekarang ini yang namanya cari pembantu yang baik itu, susah dah! Pembantu yang sekarang ini sudah yang ke berapa?”

“Maksudmu, sering ganti-ganti pembantu, Git?”

“Hooh! Alasan kita ganti-ganti pembantu macam-macam loh, Wan. Pernah ya, ada seorang pembantu baru seminggu kerja, eeh terus minta izin pulang, alasannya mau menengok anaknya yang sakit. Tahu-tahu nggak balik lagi. Lalu ada juga yang telepon di rumah naik. Usut punya usut, ternyata pembantu kita yang pake telepon berkali-kali untuk ngerumpi dengan teman sejawatnya di siang hari bolong. Ya, ibuku langsung saja ngeluarin dia.”

“Susah emang ya, Git. Kaya si Tety pernah cerita, masa ada calon pembantu datang ke rumahnya, sebelum bekerja dia tanya, “Maaf Non, di rumah ini ada mesin cucinya apa nggak? Anak kecilnya nggak? Rumahnya pake Sanyo apa pompa biasa?”

“Beda ya, kalau dibandingkan lima atau sepuluh tahun lalu. Cari pembantu kayaknya nggak terlalu susah. Mendapatkan yang siap pakai juga banyak masalah. Menurut kamu Wan, apa yang menyebabkan perubahan ini?”

“Ya, aku pikir karena mereka, maksudku pembantu, makin dibutuhkan sih, khususnya perkotaan. Untuk pasangan suami isteri yang sama-sama bekerja di luar rumah, wah…peranan pembantu rumah tangga vital sekali. Sehingga praktis membuat posisi mereka naik daun. Akibatnya lagi, hubungan majikan dan pembantu jadi bersifat bisnis karena masing-masing pihak sama-sama memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk saling tukar dan saling menawar, baik gaji, fasilitas dan risiko”

“Di samping itu, Wan! Mungkin juga kerena pergaulan dan hasil ngerumpi antar sesama pembantu tontonan televisi, atau tulisan di media massa menumbuhkan rasa percaya diri para pembantu.”

“Hooh! Apalagi sekarang makin banyak telenovela di televisi yang bicara soal-soal penghargaan hak-hak manusia.”

“Kamu setuju nggak, Git, kalau aku bilang sekarang ini makin tumbuh kesadaran profesional di kalangan pembantu.”

“ Akh, kamu ada-ada saja, Wan!”

“Eeh, iya loh. Zaman sekarang, bisa dihitung  pembantu yang mau diperlakukan seperti abdi dalem. Mungkin masih bisa ditemui pada mereka yang masih baru atau benar-benar mau bekerja. Tapi umumnya, walau tidak terang-terangan, motivasi mereka mereka menjadi pembantu selalu memperhitungkan situasi kerja, jam kerja, jenis pekerjaan, hubungan keluarga majikan, fasilitas, maupun soal hak dan kewajiban mereka. Nah, itu berarti mereka makin profesional, kan.”

“Tapi masalahnya, Wan, para majikan atau kita-kita ini yang memperkerjakan pembantu kurang menyadari bahwa profesionalisme mereka itu.”

“Hmm..kadang-kadang kita menganggap mereka seperti budak. Kita peras waktu dan tenaga mereka. Kita lupa bahwa mereka juga manusia yang butuh hiburan, butuh mengapresiasikan diri, atau istilah kerennya bisa mengaktualisasikan diri. Sehingga wajar, misalnya, kalau mereka menuntut hak satu hari libur setiap pekan,atau ada batas jam kerja pada malam hari.”

“Tapi, ngomong-ngomong, Wan, kok kamu ga pernah ngeluh soal pembantu. Di rumah kamu nggak pake pembantu ya?”

“Engga akh. Aku juga pake pembantu. Nggak tahu ya, Git. Setiap pembantu yang kerja di rumahku kayaknya oke-oke aja tuh. Mungkin bagian Human Resource Development di rumahku kerjanya canggih sehingga setiap pembantu selalu merasa in home,” jawabku enteng.

“Ah, kamu, Aku seriusn nih!”

“Iya! Kalau kamu mau tahu, kita ga ada kiat-kiat khusus untuk menjaring atau memelihara pembantu untuk betah bekerja di rumah loh..”

“Tapi setidak-tidaknya kamu bisa bagi pengalaman buat aku, terutama si Tety, aku tahu sudah puluhan pembantu keluar masuk dari rumahnya. Entah pembantu yang di dapat dari biro jasa atau mencari langsung dari daerah.”

“Git, pembantu itu kan manusia, ya harus kita perlakukan sebagai layaknya manusia. Maksud ku, ya kita jadikan dia sahabat lah..Ya, seperti Guru kita itu, loh,cara dia memperlakukan seorang pemungut cukai dan wanita tuna susila. Mulanya Dia bersahabat, melihat kemanusiaan sesorang kemudian baru Dia menginjili alias mengajak bertobat.”

“Tapi, Wan. Susah juga harus membuat ‘rambu-rambu’ agar mereka tidak overacting. Maksudku, bersahabat tap tetap menunjukkan wibawa. Seperti di rumah, Git. Misalnya saja, pembantu menjadi home economic assistant.”

“Waduh, apa tuh?”

“Maksudnya gini. Pembantu diajak untuk bersama-sama memecahkan solusi ekonomi keluarga. Dia menjadi asisten dalam mengatur perekonomian keluarga, tapi tetap ada hal-hal tertentu yang mereka tak perlu tahu atau campur tangan.”

“Contohnya?”

“Ya, misalnya kalau dia dikasih uang belanja lima ribu rupiah seharusnya dia harus putar otak untuk menentukan menu hari itu, membelanjakannya sesuai dengan konsumsi di rumah. Tapi juga ada urusan lain, misalnya kalau aku dimarahin ayah ibuku, ya tentu dia nggak boleh nimbrung.”

“Tapi gimana kalau uang belanja itu nggak cukup?”

“Nah, di sini seninya. Kalau ada masalah, ya kita pecahkan bersama. Kita komunikasikan. Kan..sahabat. Kita ajak pembantu untuk berpikir dan mencari jalan keluar mengatasi masalah-masalah ini. Ya, kita berikan kepercayaan kepadanya. Dengan demikian ekspresinya tersalurkan.”

“Kalau gitu pembantu itu bukan sekedar kerja dan disuruh-suruh doang.”

“Emang! Kalau kita hitung-hitung, jadi pembantu berat, loh. Satu hal, kita kurang memperhitungkan segi keamanan yang dijalankan pembantu.”

“Maksudnya?”

“Kalau kita simak di koran, sudah begitu banyak pembantu yang menjadi korban pembunuhan atau penganiayaan kerena harus mempertahankan milik induk semangnya. Berapa banyak, sih, dari kita yang menyadari atau memikirkan ongkos ganti keamanan pembantu itu?”

“Iya, ya, Wan. Kok, kami fasih sekali dengan urusan pembantu. Kamu jadi asisten menteri tenaga kerja urusan pembantu rumah tangga saja. Setuju nggak?”

“Ah, kamu, Git. Aku sih ngomong begini karena aku melihat dan ngalemin sendiri. Jadi apa yang aku kemukakan, sebenarnya hal-hal yang sering terjadi dan sebenarnya penanganannya bisa kita lakukan bersama.”

“Pantes ya, pembantu di rumah kamu betah bekerja.”

“Nggak juga, ah. Mungkin dewi fortuna berada di rumahku.”

“Tapi satu hal lagi, Wan. Aku kadang-kadang kesal dengan pembantu yang baru, maksudnya belum bisa apa-apa terus minta macam-macam fasilitas. Apa yang kayak gitu nggak kurang ajar? Mending dia bisa tahan lama bekerja.”

“Ya, itulah kondisinya. Begitu banyak orang dengan usia yang produktif bekerja, tapi tidak siap masuk pasar kerja. Itu tantangan dan tugas kita. Mungkin kita pikir, kita sudah menerima mereka yang sama sekali belum pernah bekerja, terus kita didik mereka, eeh..tiba-tiba pembantu itu keluar dan kita mencak-mencak dan menganggap suaru kerugian.”

“Iya dong. Kita rugi dong, Wan.”

“Ya, kalau kita hitung-hitungan, mungkin kita pikir kita rugi besar. Tapi coba kita pikir dan uji secara jernih. Kita kan terima mereka yang belum pernah bekerja, belum ada pengalaman. Kita didik mereka, entah kita ajar masak, cuci, bagaimana menerima telepon dengan baik, menata rumah, menumbuhkan sikap melayani dan lainnya. Lalu mereka bisa mandiri. Punya bekal atau pengalaman. Ehh, tiba-tiba mereka keluar kerja dari rumah kita! Nah, ini jangan kita anggap sebagai kerugian. Tapi, lihat secara positif. Dengan kondisi mereka bisa mandiri itu berarti kita sudah menyiapkan sumber daya manusia berkualitas. Sebab ketika pembantu itu bekerja di tempat lain, dia sudah bisa tawar menawar gaji karena dia sudah berkualitas. Nah, itu gara-gara siapa coba? Harusnya kita bangga…

“Iya, ya..Wan! Itu juga terjadi dengan perusahaan atau instansi yang tidak mau menyekolahkan atau membina karyawannya. Karena takut, setelah sekolah, karyawan tersebut pindah kerja.”

“Jadi think globaly, act locally, Wan?”

“Persis! Eh, kok jadi ngelantur ke urusan pembokat, sih. Ayo cepat panggil yang lain, kita mulai rapat!”

 

Thomas Nelson

Staf LINK

Exit mobile version