Majalah DIA

Pemilu yang Bermartabat dan Mencerdaskan

Dalam Pemilu yang telah berlangsung, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden, tampak tingginya animo masyarakat. Kemeriahannya pun mengalahkan berita korupsi MK, penutupan lokalisasi Dolly Surabaya, bahkan perhelatan Piala Dunia Sepakbola di Brasil. Masyarakat melibatkan diri, baik secara langsung dan tidak langsung, dengan segenap pikiran dan emosi. Para pendukung pasangan capres dan cawapres masing-masing memberikan dukungan dengan segala bentuk kreativitas yang dimiliki. Baru kali ini Pemilu disambut oleh masyarakat dengan euforia kegembiraan.

Akan tetapi, musim Pemilu, khususnya Pilpres yang lalu, juga sarat dengan kampanye negatif dan kampanye hitam. Aib, keburukan, dan kejelekan dari pihak lawan dibeberkan dengan terbuka. Masing-masing pihak melancarkan serangan agar dapat memberikan kesan buruk terhadap calon lain dengan tujuan agar masyarakat mengalihkan suaranya kepada calon yang diusung. Hal itu membuat Pemilu kali ini jauh dari kesan bermartabat

Meski demikian, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, masyarakat dapat mengakses dan mengetahui rekam jejak “netral dan faktual” dari masing-masing calon. Di era yang terbuka terhadap semua informasi, masyarakat dapat mengetahui dengan tepat mengenai seluk-beluk calon yang akan dipilih. Namun pertanyaannya, apakah masyarakat sudah hak politik mereka, mulai dari menyelidiki latar belakang calon-calon wakil atau pemimpin mereka, memberikan suara, hingga mengupayakan agar calon pilihannya mendapatkan suara terbanyak, secara cerdas?

Masyarakat sesungguhnya punya hak penuh untuk memantau pelaksanaan Pemilu, baik saat kampanye, pencoblosan, penghitungan suara, maupun saat rekapitulasi penghitungan suara. Hal ini untuk menghindari maraknya kecurangan, seperti politik uang, pemaksaan pemberian suara kepada salah satu calon, penghitungan surat suara yang rusak, perusakan kotak suara, dan sebagainya. Setiap warga masyarakat memiliki hak untuk mengikuti proses Pemilu, mulai dari pendaftaran, pencoblosan, hingga perhitungan suara.

Sistem Pemilu di Indonesia
Sistem Pemilu di Indonesia menggunakan sistem “satu orang satu suara,” yang memungkinkan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memberikan suara, meskipun memiliki keterbatasan dalam hal fisik atau keterbatasan karena aksesibilitas terhadap sarana dan prasarana pendukung. Mengingat daerah persebaran penduduk yang sangat luas, KPU harus memastikan agar seluruh alat pendukung Pemilu sampai ke daerah-daerah terpencil yang terkadang tidak bisa dijangkau dengan moda transportasi pada umumnya. Hal ini tentunya membutuhkan biaya logistik yang sangat besar dan mengandung risiko keamanan yang tinggi.

Akan tetapi, apakah pada akhirnya kita bisa memastikan, bahwa pelaksanaan Pemilu sudah memenuhi kritera demokratis? Sepertinya pertanyaan ini akan sulit dijawab dan sulit dipastikan. Karena lemahnya pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan Pemilu saat ini, perlu dipikirkan sistem Pemilu yang baik, yang berarti memastikan bahwa setiap warga negara dapat memberikan suaranya dengan tepat. Apakah sistem satu orang satu suara sudah berjalan baik dengan menghasilkan para pemilih yang cerdas? Tampaknya hal ini pun perlu dievaluasi.

Dengan kajian yang mendalam dari sisi filosofi, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan bidang lainnya, perlu dipikirkan sistem Pemilu yang tepat bagi bangsa ini dengan tetap menjunjung tinggi semangat demokrasi: sistem pemilihan seperti apakah yang tepat untuk diterapkan di negeri ini? Apakah sistem distrik, keterwakilan, atau sistem satu orang satu suara seperti sekarang ini? Hal ini nampaknya menjadi agenda penting untuk dikaji dan dipikirkan demi kemajuan demokrasi bangsa.

Pemilu yang kredibel dan mencerdaskan menuntut penyelenggara Pemilu yang bekerja secara profesional dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan negara. Selama syarat tersebut tidak dipenuhi, maka akan sulit tercipta Pemilu yang bersih dan jujur. Dan, setelah mendapatkan penyelenggara Pemilu yang baik, maka perlu sistem yang baik yang bisa diterapkan di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dimana semua warga negara memiliki hak yang sama dalam memberikan suara bagi calon wakil rakyat yang duduk di parlemen dan calon pemimpin negara Republik Indonesia ini. Sistem ini yang perlu terus dikaji ulang agar benar-benar tercipta Pemilu yang demokratis, jujur dan adil. Sistem ini juga harus menjamin setiap pemilih dapat mengetahui dengan benar hak dan kewajibannya.

Di dalam sistem satu orang satu suara terdapat beberapa kelemahan, di antaranya adalah tidak digunakannya hak memilih dengan baik. Masih banyak masyarakat belum menggunakan hak pilihnya karena terlanjur skeptis dengan bangsa ini, karena tidak mengerti, dan cenderung acuh tak acuh, dan ada yang tidak terjangkau secara sarana dan prasarana. Penggunaan hak masyarakat dalam Pemilu harus dihormati sepenuhnya, sehingga kelemahan tersebut harus segera dibenahi. Jika tidak, maka hak mendasar dari masyarakat tidak terpenuhi, dan hal tersebut merupakan sebuah tindakan yang melanggar undang-undang.

Kelemahan lain adalah amanat dari masyarakat yang bisa tidak dipenuhi oleh calon anggota dewan terpilih, baik dari mulai tingkat Kabupaten atau Kota, tingkat Provinsi, bahkan tingkat Pusat. Masyarakat harus bisa memastikan, bahwa calon anggota dewan tersebut adalah berintegritas, berprestasi, amanah, memiliki kredibilitas, dan dapat dipercaya. Apakah kita berani memastikan, bahwa anggota dewan yang saat ini terpilih benar-benar memiliki syarat-syarat di atas? Saya memberanikan diri untuk menjawab, bahwa banyak anggota dewan tidak memiliki syarat-syarat di atas.

Masyarakat Berhak Mengawal
Masyarakat lah yang harus menggunakan hak mereka untuk mengawal proses calon tersebut, mulai dari penyaringan calon, pemilihan partai, penyaringan calon di tingkat partai, daftar calon sementara, nomor urut calon dalam daftar calon anggota dewan, pengesahan calon anggota dewan, kampanye, pencoblosan, sampai penghitungan suara. Jika masyarakat terus mengawal, maka kita tidak akan lagi menjumpai anggota dewan yang tidak memperjuangkan aspirasi rakyat dan mendengar hati nurani rakyat.

Dengan demikian, anggota dewan bukan lagi “titipan pusat” yang tidak mengerti aspirasi masyarakat dan bukan lagi jajaran elit partai, tetapi benar-benar dari kalangan masyarakat yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebenarnya, di daerah tertentu, mekanisme seperti ini sudah berjalan, tetapi masih sangat sedikit. Jika masyarakat sadar dan memperjuangkan hak mereka, maka keniscayaan bahwa pemimpin lahir dari rakyat akan terwujud, sekalipun ada UU Pilkada, dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Terus kawal proses demokrasi yang sedang terjadi di negeri ini demi masa depan demokrasi Indonesia, untuk sebuah peradaban Indonesia yang lebih baik.

——-
*Penulis adalah staf Perkantas DIY, Ketua KPPS-TPS 06, Pemilihan Legislatif tahun 2014, dan Ketua KPPS-TPS 12, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Kelurahan Gunungketur, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, DIY

Exit mobile version