Akhir-akhir ini, bangsa kita tengah dirisaukan dengan maraknya paham radikal yang dapat memecah-belah persatuan bangsa. Berbagai demonstrasi muncul hendak menuntut keadilan dengan mengatasnamakan golongan mayoritas. Padahal, belum tentu juga semua anggota golongan mayoritas bangsa ini setuju dengan tuntutan yang disuarakan. Paham radikal ditengarai melatarbelakangi berbagai aksi tersebut.
Banyak orang menilai, bahwa apa yang disebut “radikal” pasti memiliki konotasi yang buruk. Penilaian semacam ini menjadi wajar, karena memang kelompok-kelompok radikal yang selama ini muncul di publik cenderung memaksakan kehendak. Kelompok-kelompok tersebut mencampuradukkan agama dan politik untuk menggilas setiap orang yang tidak sehaluan atau yang mengancam kelangsungan kepentingan kelompoknya. Mereka menunjukkan sikap masa bodoh untuk membuka hati dan pikiran untuk melihat kebenaran yang hakiki dan menggunakan doktrin-doktrin agama untuk membenarkan sesuatu yang salah demi tercapainya tujuan. Singkatnya, cara apapun harus digunakan walaupun harus memperalat agama. Oleh karenanya, radikalisme banyak diidentikkan dengan paham sempit yang membenarkan kebenarannya sendiri tanpa mau membuka diri ataupun melihat dari sudut pandang lain.
Namun, sikap itu bukanlah perwujudan dari radikalisme, melainkan fanatisme. Kata “radikal” berasal dari bahasa Latin, “radix”, yang berarti “akar”. Dengan demikian, sesungguhnya paham radikal adalah paham atau gerakan untuk kembali ke akar dari suatu ajaran. Menurut KBBI, “radikal” memiliki tiga pengertian, yakni: secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan secara politik (undang-undang, pemerintahan), dan maju dalam berpikir atau bertindak.
pemahaman radikal yang sejati tidak seharusnya berujung kepada kekerasan atau tindak kriminal, melainkan menjadikan seseorang makin bijak dalam bersikap
Pertama dan yang paling penting adalah integritas, yakni mengutamakan prinsip kebenaran yang sebenar-benarnya, tidak dibuat-buat ataupun membenarkan hal yang salah demi kepentingan pribadi ataupun golongan. Tidak memiliki motivasi tersembunyi, murni, dan jujur. Seseorang yang berintegritas juga haruslah berani mengakui kesalahan dan tidak enggan memperbaiki diri. Ia harus berani berkata “tidak” untuk kebohongan dan kejahatan dan berani berkata “ya” untuk kebenaran.
Bertolak belakang dari pandangan umum bahwa seseorang berpaham radikal pasti menutup diri dan hanya mengakui kebenarannya sendiri, pemahaman radikal yang sejati justru seharusnya membuat seseorang menjadi terbuka dan toleran terhadap ideologi lain, bahkan yang berseberangan sekalipun. Mengapa demikian? Karena ia benar-benar “kembali ke akar” dari keyakinannya dan tidak terjebak dalam bungkus-bungkus ritual yang tampak dari luar.
Setiap doktrin yang diajarkan harus menunjukkan kebaikan bersama dan bukan kebaikan golongan tertentu saja
Seseorang yang radikal dalam mendalami keyakinannya tidak akan merasa terancam atau terhina dengan serangan terhadap keyakinannya tersebut. Sebaliknya, ia justru akan menaruh belas kasihan, karena ia tahu, bahwa mereka yang menyerang keyakinannya adalah pribadi-pribadi yang belum memahami keyakinannya secara mendalam. Ia akan selalu siap sedia memberikan jawaban atas tuduhan yang dialamatkan kepada keyakinannya, dan ia akan melakukannya dengan lemah lembut dan hormat.
Itulah radikal yang sejati.
======================
Penulis adalah alumnus STT Baptis Indonesia