Agustinus Titi, S.H.:
Taklukkanlah Dirimu!

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman

kepada mereka: “………..penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah… ” (Kejadian 1:28)

Masalah ekologis yang dihadapi manusia di abad ini adalah disebabkan oleh ketidakmampuan manusia menaklukkan egonya di bawah Penciptanya. Serta kesalahpahaman manusia terhadap perintah Allah dalam Kejadian l:28, ‘….. taklukkanlah’ dan ‘kuasailah’.

Pertumbuhan teknologi yang berlebihan bahkan tak terkendali, kata Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point, menciptakan lingkungan maupun hidup secara fisik dan mental tidak sehat. Polusi udara, kegaduhan,kemacetan lalu lintas, bahaya radiasi, kontaminasi kimiawi dan lain-lain yang menimbulkan tekanan fisik dan jiwa sudah menjadi bagian dari hidup manusia masa kini. Risiko-risiko yang beraneka ragam terhadap kesehatan manusia tersebut timbul bukan hanya sebagai hasil sambilan atau secara kebetulan dari perkembangan teknologi. Itu semua menyatu dengan ciri-ciri dari obsesi sistem ekonomi yang mengejar pertumbuhan, ekspansi dan kelangsungan untuk mengintensifkan teknologi tinggi dalam usaha menaikkan produktivitas.

Di sini, kita melihat bagaimana keegoisan manusia yang hanya mengejar produktivitas, efisiensi dan kompetisi. Hal itu dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan ekonomi, dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan penciptaan komunitas, dimana di antara manusia dan ciptaan lainnya terjalin hubungan kebutuhan jangka panjang bumi dan segala makhluk hidup yang ada.

Kejadian 1 juga mengingatkan kita bahwa ciptaan Allah lainnya juga diciptakan untukNya. Hal ini berarti bahwa penciptaan Allah unik yang sejalan dengan tujuan penciptaan Allah. Tetapi, apakah arti sesungguhnya dari kata “taklukkanlah ” dan ” kuasailah” dalam Kejadian 1:28?

Ayat ini seringkali disalahgunakan oleh sebagian orang, misalnya untuk mendukung ide kepemimpinan pria atas wanita. Sebenarnya bukanlah itu yang dimaksudkan ayat ini. Ayat itu juga tidak mengatakan bahwa perintah ini hanya ditujukan kepada kaum pria saja, tetapi kepada keduanya pria dan wanita.

Pelaksanaan penaklukkan dan penguasaan manusia atas ciptaan lainnya berhubungan erat dengan status manusia sebagai wakil Allah di dalam dunia ini. Kita percaya bahwa Allah bukanlah Allah yang menciptakan segala sesuatu lalu meninggalkan karya ciptaan-Nya tanpa kendali, seperti yang diajarkan aliran deisme. Tetapi Dia mendelegasikan pemerintahan-Nya atas ciptaan-Nya kepada manusia yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.

Sebagai wakil Allah, dalam terang kreativitas Allah, manusia memang memiliki hak untuk “menaklukkan” dan “menguasai”. Ini berarti bukan menaklukkan sebagal “tuan,’ atau untuk “mengeksploitasi”, tetapi sebagai penatalayanan yang bertanggung jawab, sebagai pelayan yang menjadi fasilitator serta mengakui bahwa segala sesuatu diperoleh eksistensinya dari tangan Allah. Ini bisa dilihat dalam Kejadian 2, yang dengan jelas menggambarkan bahwa manusia adalah sebagai manajer, pemupuk dan pelindung kebun Allah.

Allah, yang memberi kita hak untuk menaklukkan dan menguasai bumi dengan segala isinya adalah pembawa ketenteraman, bukan kekacauan. Ia adalah Pemelihara dan Penopang terhadap dunia dan ciptaan-Nya. Karena itu, manusia sebagai wakil Allah, untuk “menaklukkan” dan “menguasai” ciptaan Allah lainnya, seharusnya saling membagi dengan Allah dalam segala aspek tugas-tugas Allah.

Jika manusia dilihat sebagai raja atas alam, dan ini diterapkan dalam perintah “taklukkanlah” dan “kuasailah” ciptaan lainnya itu hanya mungkin dimengerti dalam terang pemerintahan Allah sebagai Raja yang sangat memperhatikan kesejahteraan ciptaan-Nya serta melayani kebutuhan-kebutuhan mereka dengan kebajikan. Allah juga terutama ini nampak dalam diri Yesus Kristus, disebut sebagai Raja yang melayani. Ini berarti kita sebagai wakil Allah harus memahami perintah “taklukkanlah” dan “kuasailah” itu, harus menjadi pemelihara dan penopang dunia. Sehingga tujuan Allah atas komunitas ciptaan-Nya, yang saling bergantung satu sama lain, dapat dicapai.

Manusia sebagai “penguasa” yang mendapat mandat dari Allah pun harus menjalankan fungsi penguasaannya dalam semangat perdamaian. Bahkan kita harus berusaha menjadi “bidan” bagi ‘teriakan-teriakan’ alam. Menjadi pembawa kehidupan baru dan memungkinkan makhluk hidup untuk memperoleh kehidupan.

Sayang sekali, perintah “taklukkanlah” dan “kuasailah” kadang-kadang hanya dipahami sebagai “dominasi”. Dan telah menjadikan manusia bukan lagi sebagai “hamba”, tetapi “tuan” eksploitasi.

Gambaran lain dari pemahaman yang salah tentang “taklukkanlah” dan “kuasailah” adalah dalam penggunaan teknologi. “Kloning” contoh yang masih segar dalam ingatan kita. Teknologi rekayasa genetika ini memungkinkan manusia menciptakan “copy” manusia yang telah ada mirip, dari hasil pembuahan yang sama. Rekayasa ini memang sangat mengagumkan. Bila rekayasa genetika tersebut jatuh ke tangan manusia yang tidak bertanggungjawab, maka akibatnya bisa fatal. Ia akan disalahgunakan. Kita mungkin suatu saat akan terheran-heran karena polisi menangkap tiga pelaku kejahatan yang mirip dalam segala hal, sehingga polisi kesulitan mengidentifikasi siapakah penjahat sesungguhnya dari antara mereka. Selain itu, hal tersebut juga akan berakibat pada nilai etika kristiani, dimana status Allah sebagai “pencipta tunggal kehidupan” digugat.

Rekayasa teknologi juga merambat kepada senjata pemusnah manusia. Pertikaian Korea Utara dan Selatan, misalnya, terjadi disebabkan pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Korea Selatan yang menjadi ‘tetangga dekat-nya’ merasa terancam. Apalagi bila lebih ditelusuri negara-negara maju lainnya. Persenjataan yang super canggih, yang dapat menghancurkan dunia ini dalam tempo menit, mungkin akan kita temui. Siapakah yang harus disalahkan?

Jawabannya jelas, manusia. Manusia mendapat kepercayaan dari Allah untuk menaklukkan dan menguasai ciptaan lainnya dalam kerangka statusnya sebagai ciptaan Allah yang dapat dipercayai dan bertanggungjawab. Baik dalam hal pengolahannya maupun penggunaannya. Dalam kerangka pelayanannya dan penyembahannya kepada pemberi otoritas, manusia seharusnya menjalankan semua kepercayaan itu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan Allah.

Bagaimana dengan kita (mahasiswa dan alumni) Kristen? Untuk apa kita mendalami dan menguasai ilmu? Apakah hanya sekedar pemuas diri, atau untuk menjadi berkat bagi sesama?

Taklukkanlah dirimu kepada Allah sebelum menaklukkan dan menguasai ciptaan-ciptaan Allah lainnya.

** Dituliskan oleh Agustinus Titi, S.H.

Berikan tanggapan