Majalah DIA

Tantangan Kepemimpinan Masa Kini

Menurut definisi situs Wikipedia, kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.” Sangat jelas dinyatakan bahwa seseorang disebut pemimpin kalau dia dapat mempengaruhi atau memberi contoh kepada pengikutnya agar dapat mencapai suatu tujuan, terlepas dari apakah tujuannya baik atau tidak baik.

Lalu apa yang dikatakan Alkitab tentang kepemimpinan? Tidak ada ayat yang secara gamblang menyatakan tentang kriteria kepemimpinan. Akan tetapi, kita dapat belajar dari Amsal 9:10, “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.” Jika dihubungkan dengan kepemimpinan, maka bisa dikatakan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai hikmat yang takut akan Tuhan serta mengenal dan mempunyai pengertian akan Yang Mahakudus. Jika kepemimpinan versi dunia adalah mempengaruhi orang dengan hikmat dari diri sendiri, maka kepempimpinan versi Alkitab adalah mempengaruhi orang dengan hikmat yang berasal dari Tuhan.

Apakah mempengaruhi orang dengan hikmat yang berasal dari Tuhan hanya berlaku di gereja atau dalam dunia pelayanan saja? Semestinya tidak, karena dalam dunia pekerjaan atau usaha pun seharusnya kita memimpin orang berdasarkan hikmat dari Tuhan.

Tidak ada yang baru di bawah matahari

Apakah yang dimaksud dengan modernitas? Apakah penggunaan komputer di berbagai aspek pekerjaan bisa disebut sebagai modern? Apakah mudahnya komunikasi antarnegara via telepon atau internet dapat dikatakan sebagai modern? Apakah kita dapat membuat batasan yang jelas antara era modern dan belum modern? Rasanya tidak terdapat batasan yang sangat jelas antara kedua era tersebut.

Amsal 1:9 menyatakan, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Menurut kitab Amsal, maka apapun yang sudah ada ataupun yang akan ada, sesungguhnya dari dahulu sudah ada, jadi tidak ada yang baru. Jadi, penemuan-penemuan yang baru ditemukan, bukan berarti dahulu belum ada tetapi lebih kepada pengertian bahwa sekarang ini baru ditemukan.

Sebagai contoh, hingga sekarang ini belum jelas ditemukan mengenai sistem pembangunan Piramida di Mesir serta tujuan yang pasti dari pembuatannya. Demikian pula dengan candi Borobudur, hingga sekarang cara pembuatan ataupun tujuan pembuatannya belum secara jelas ditemukan. Semuanya masih dalam tahap asumsi atau perkiraan saja, di mana mungkin suatu saat ditemukan secara pasti mengenai sistem pembuatan ataupun tujuan pembuatannya. Artinya, jaman dahulu sudah “lebih maju” dibandingkan dengan jaman sekarang, karena hingga saat ini kita masih berusaha mencari tahu sistem dan tujuan pembuatan bangunan-bangunan masa lampau itu.

Dengan demikian, seharusnya kriteria kepemimpinan dari masa ke masa adalah sama, karena kepemimpinan adalah hal yang terjadi secara terus-menerus dan tidak lekang oleh waktu. Yang membedakan adalah tantangan dalam kepemimpinan yang terus berubah dari masa ke masa, karena adanya perubahan cara pandang, cara berkomunikasi, cara hidup, dan cara kita memperlakukan sesama.

Tantangan #1: cara pandang

Sekarang ini, banyak pandangan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai harta melimpah. Jika seorang pemimpin tidak memiliki mobil ataupun rumah mewah, maka ia belum disebut pemimpin. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sepertinya dahulu hanya segelintir orang yang melakukan korupsi, sekarang ini sepertinya orang-orang justru berlomba-lomba melakukan korupsi, yang tujuannya sudah pasti untuk memperkaya diri.

Tapi pertanyaannya apakah seorang pemimpin harus hidup dalam kemewahan? Tuhan Yesus bersabda, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Matius 8:20). Apakah dengan pernyataan tersebut, Yesus hendak menyatakan bahwa Dia adalah pemimpin yang gagal karena “tempat untuk meletakkan kepala” saja Dia tak punya, apalagi kuda yang gagah? Yesus bahkan dilahirkan di kandang binatang dan bukan di kamar penginapan yang layak. Yesus hendak menyatakan, bahwa kepemimpinan tidak dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat sekitar (atau masyarakat dunia). Masyarakat boleh mempunyai pandangan tersendiri kepada pemimpinnya, tapi sesungguhnya seorang pemimpin harus mempunyai cara pandangnya sendiri, yang tentunya berkenan kepada Allah.

Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana seorang pemimpin mempunyai cara pandang yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya pemimpin yang takut akan Tuhanlah yang akan bisa memimpin berdasarkan hikmat dari Tuhan, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh “standar” dunia. Seperti yang dituliskan Amsal, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. “

Tantangan #2: cara berkomunikasi

Ketika segala sesuatu menjadi dekat dengan adanya alat komunikasi yang kian canggih, sesungguhnya alat-alat komunikasi tersebut tidak serta-merta membuat hubungan menjadi lebih dekat. Contohnya, apakah kita semakin sering melihat di restoran ataupun pusat perbelanjaan di mana satu keluarga sedang duduk makan tapi tidak saling berkomunikasi, melainkan masing-masing sibuk dengan alat komunikasi atau perangkat permainannya? Atau, ketika sedang berjalan bersama tidak ada senda gurau atau canda satu dengan yang lain, tetapi masing-masing sibuk dengan gadgetnya.

Demikian juga pemimpin seringkali menganggap bahwa berhubungan dengan telepon ataupun alat telekomunikasi lainnya (mis. skype, conference call, dll.) kepada pengikut atau timnya sudah cukup. Tidak perlu “personal touch,” karena alat komunikasilah yang menyentuh mereka.

Bukankah ketika belum ada telepon genggam, hubungan keluarga ataupun organisasi demikian manis dengan adanya kumpul bersama, kegiatan bersama, ataupun sekedar duduk bersama membicarakan segala hal, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, seperti yang sudah seringkali kita dengar?

Dalam suratnya, Yakobus menuliskan, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Kiranya kita dapat menjadi pemimpin yang mendengarkan, dan bukan hanya sekedar memerintah orang lain. Mendengarkan, bukan dengan sekedar alat komunikasi, tetapi bertatap muka, saling memperhatikan, dan saling memahami.

Tantangan #3: cara hidup

Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian , hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Betapa sering ayat ini kita baca dan bahkan mungkin dihafal, tetapi lebih sering kita lupa akan artinya. Sebagai pemimpin, tantangan mengenai cara hidup lebih mengarah pada bagaimana kita bijaksana menggunakan waktu kita. Derasnya arus informasi via internet terkadang membuat kita “terlena” mencari dan membaca informasi, yang sesungguhnya tidak berhubungan dengan hal-hal yang penting yang seharusnya kita lakukan. Saling terhubungnya tautan bacaan yang satu dengan tautan yang lain membuat kita asik “berselancar” di dunia maya. Akibatnya, banyak pekerjaan yang utama menjadi terbengkalai. Hal penting yang harus dikerjakan menjadi tertunda. Tanpa disadari, waktu 24 jam sehari lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang bukan prioritas.

Bahkan, waktu teduh kita pun terlewati karena sibuk mengunduh informasi yang deras mengalir. Oleh karenanya, kita perlu terus meminta hikmat dari Tuhan agar kita terus menyadari, bahwa waktu yang ada begitu “sempit” dan perlu pertolongan dariNya untuk bijaksana mengatur prioritas hidup kita.

Tantangan #4: cara kita memperlakukan sesama

Berhubungan dengan tantangan sebelumnya, cara hidup kita juga akan mempengaruhi cara kita memperlakukan sesama. Jika kita disibukkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan diri kita sendiri, maka akan semakin berkurang waktu kita untuk memperhatikan dan memperlakukan orang lain atau sesama. Semakin kita tenggelam dengan dunia diri sendiri, kita akan cenderung memperlakukan sesama seperti bayangan atau pikiran kita sendiri.

Ketika menganggap segala sesuatu mudah, misalnya mudah mendapat informasi, dunia yang serba instan, akan membuat kecenderungan kita menganggap hal lain seharusnya mudah juga untuk orang lain lakukan untuk kita. Ketika menemukan kesulitan akibat perbuatan sesama, kita cenderung ingin menemukan solusi yang mudah juga, misalnya mengganti orang, menukar posisi, ataupun tidak peduli akan proses karena mengutamakan hasil, ingin mengerjakan sendiri tanpa melibatkan orang lain.

Hukum Kasih yang kedua adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Hukum Kasih ini mengajarkan bahwa kita harus memperlakukan sesama kita seperti bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Ketika kita memperlakukan orang lain dengan baik, kita melakukannya bukan untuk kita, tetapi untuk Tuhan. “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).

Kiranya kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang dapat menghadapi tantangan-tantangan dunia masa kini dengan hikmat yang dari Tuhan, bukan hikmat dunia. Marilah kita terus memohon hikmat dari Tuhan agar dijadikan pemimpin yang takut akan Tuhan, sehingga nama Tuhan Yesus dipermuliakan di dalam segala aspek kehidupan kita.

——-
*Penulis adalah Hendra Tjipta Muliana, ST , berprofesi sebagai arsitek dan melayani sebagai majelis jemaat GKI Wahid Hasyim, 
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Exit mobile version