Pada pertengahan abad ke-20 muncul sekelompok muda yang menghadirkan dirinya selama dua dasawarsa, kemudian menghilang lagi. Kelompok yang disebut “hippies” memakai narkotika sebagai sarana untuk menemukan kebenaran. Kaum saleh memandang mereka sebagai sampah masyarakat, sebagai drop out yang tidak mau hidup bertanggung jawab. Pada hal kebanyakan dari mereka adalah mahasiwa, sarjana dan pasca sarjana yang paling cerdas. Salah satu alasan mereka dalam meninggalkan universitas untuk mencari pengetahuan di dunia gaib adalah, mereka tidak mau terlibat dalam pengembangan teknologi yang semakin membahayakan masyarakat.
Analisi kaum hippies itu tepat tetapi dasar pemecahannya keliru. Penulis sendiri menghadapi pergumulan yang hampir sama pada tahun 1966. Kontrak penulis di Institut Teknologi Bandung (ITB) berakhir dan penulis ditawari kesempatan untuk mengajar di universitas negeri yang lain, tetapi saya menolak kesempatan itu. Atas dasar apa penulis putuskan untuk tidak meneruskan profesi penulis sebagai seorang profesor teknologi? Salah satu pertimbangan ialah kesadaran bahwa pendidikan teknologi tidak mengatasi ketidakadilan sosial, sebaliknya memperlebar jurang antara kaya dengan miskin. Dalam kata lain, tidak “membangun” dalam arti yang sesungguhnya.
Apakah yang Dimaksud dengan “Pembangunan”
Bangsa kita mengharapkan “pembangunan”. Tetapi bagaimanakah kita mengartikan pembanguna itu? Apakah teknologi modern memang membangun ataukah sebaliknya meruntuhkan? Pertimbangan ini memerlukan pemikiran yang dalam, dan langkah pertamanya haruslah dengan menetapkan apa yang kita maksudkan dengan istilah “pembangunan” itu.
Para pemilik modal cenderung memandang pembangunan dari sudut fisik semata-mata pabrik dan teknologi yang melipatgandakan produksi dan deviden saham. Sebab sudah jelas bahwa industri dan teknologi maju dengan pesat di Indonesia. Bahkan di daerah tertentu rakyat berpindah langung dari zaman jalan kaki ke zaman helikopter tanpa membeli sepeda dahulu. Bahaya kemajuan semacam ini ialah lahirnya segolongan ningrat baru, yaitu para pemilik saham dan manajer yang mengatur produksi.
Masyarakat umum menanggapi pembangunan dari sudut lain. Mereka akan menyetujui rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHI) bahwa pembangunan adalah peningkatan mutu hidup secara menyeluruh, yaitu pembangunan fisik, individu dan masyarakat. Namun rakyat pun cenderung mengutamakan aspek fisik rumah, sekolah bagi anak, makanan dan pakaian yang cukup, memiliki TV dan motor. Tetapi sulit sekali mengusahakan cara untuk memajukan teknologi yang sekaligus mengupayakan cara untuk memajukan teknologi yang sekaligus mengupayaan keadilan sosial dan kemakmuran bagi rakyat luas.
Tentu saja kaum Kristen melihat pembangunan dari sudut yang kedua ini. kriteria Kristen untuk menilai kemajuan terdapat dalam firman Allah. Dalam Perjanjian Lama kita membaca ketentuan-ketentuan Allah yang menjamin hak yang sama bagi yang keya dan miskin, penduduk asli dan asing. Firman Allah itu meletakkan dasar stabilitas budaya sekaligus mengukur mutu hidup berdasarkan bibit kehidupan keluarga.
Bukan maksud tulisan singkat ini untuk mengusulkan suatu pemecahan masalah teknologi dan pembangunan, melainkan untuk merangsang saudara membaca untuk memikirkan nilai dan arah jaman kita. Tugas penulis adalah untuk mengemukakan beberapa ‘polemik’, yaitu beberapa pokok yang mungkin saja dapat menimbulkan diskusi hangat ataupun perselisihan. Kebanyakan pole-mik muncul karena perbedaan paham atau pengharapan antara golongan berada dengan golongan lemah.
Polemik-polemik Lama
Penulis sendiri sudah menyaksikan perkembangan teknologi sejak zaman kuda sampai ke zaman elektronika digital dan rekayasa genetika. Perkembangan tersebut diamati sebagai anak tani, pecinta alam, pemimpin industri, profesor teknologi, dan sebagai pendeta dan pendidik teologi.
Perselisihan pertama yang penulis kenang menyangkut industri mentega (margarin). Ayah penulis seorang petani-peternak sejak kecil. Sejak dahulu kebutuhan lemak terpenuhi oleh butter, produksi sampingan susu. Menjelang perang dunia kedua beberapa perusahaan mulai memasarkan ‘margarin’ yang dibuat dari minyak tumbuhan.
Perselisihan yang muncul bukan karena persaingan antara dua sumber lemak semata-mata melainkan atas penambahan warna kuning pada margarin. Margarin berwarna pituh. Warna kuning merupakan sifat kodrati butter. Penambahan pewarna pada margarin dipandang sebagai peniruan yang tidak wajar dan sangat merugikan para petrnak. Perselisihan itu berakhir dengan peraturan bahwa pewarna kuning boleh disediakan dalam bungkus kecil didalam kemasan margarin, tetapi pihak pembelilah yang harus mencampurnya.
Daripada menambahkan kasus-kasus dari dunia Barat, mari kita beralih kepada polemik-polemik beberapa dasawarsa belakangan ini. Contoh-contoh di abwah ini dibatasi pada masalah yang berkaitan langsung dengan kemajuan teknologi. Polemik-polemik dasawarsa depan dapat diterka melalui cermin pengalaman masa lampau ini.
Pertama, pembuatan sejenis kain kegemarah wanita memerlukan asam sulfat. Sisanya terbuang ke dalam kali. Semua ikan dalam tambak-tambak kampung terdekat mati. Penduduk setempat mencari kompensasi, tetapi tidak berhasil.
Kedua, pembangunan pohon menggundulkan bukit. Daerah itu banjir, dan pipa induk air minum kota tersumbat. Tambahan pula para petani kecil harus mengungsi karena lahannya menjadi tandus.
Ketiga, satu-satunya lapangan main untuk anak dan pemuda-pemudi di sebauh desa adalah milik kota praja. Anak-anak kampung kehilangan tempat bermain, karena pompa bensin dirasakan perlu untuk golongan atas yang memiliki mobil.
Keempat, ladang terpotong oleh jalan tol, para petaninya harus berjalan keliling untuk sampai ke ladang mereka sendiri.
Kelima, kampung dipindahkan di lokasi baru yang jauh dari pasar, sekolah dan tempat kerja. Mengapa? Tanang bongkaran itu diperlukan untuk membangun pabrik.
Keenam, untuk melancarkan lalu lintas, daerah pasar ditutup bagi becak dan dilayani oleh bus kota.
Ketujuh, masalah keluarga berencana juga sudah menimbulkan polemik. Bukanlah IUD merupakan sarana abortus daripada alat pencegahan hamil?
Yang Bakal Kita Hadapi?
Perkembangan yang makin lama, makin pesat itu, memaksa kita untuk sekaligus memikirkan dampak dan makna dari sederetan masalah yang datangnya bertubi-tubi. Sebagian besar memperhadapkan kita pada pertimbangan etis yang berat dan kompleks. Selama paroh pertama abad ini kemajuan teknologi di negara-negara maju agak lamban, hingga para sarjana sempat memikirkan dan menilai setiap penemuan baru sebelum diterapkan.
Di negara yang sedang berkembang, tidak ada waktu untuk memikirkan baik/buruknya sesuatu sebelum menjadi kenyataan. Baru menerka masalah, pabriknya sudah berdiri sejak dan produknya beredar. Kita harus belajar untuk mengantisipasi zaman, membayangkan produk atau pokok penelitian apa yang akan muncul besok. Hanya dengan demikian kaum Kristen akan dapat memberi masukan yang kreatif dan membekali gereja untuk menghadapi sikon baru. Hal ini terutama tugas para sarjana Kristen. Bukan sekedar untuk memperkokoh iman kita sendiri, melainkan karena kita bertugas melayani dan membina orang lain.
Beberapa catatan di bawah memberikan suatu gambaran tentang pergumulan orang Kristen pada masa depan.
Dampak Teknologi pada Karyawan.
Kaum buruh cenderung melawan setiap teknologi baru. Mengapa? Mereka takut kehilangan mata pencahariannya karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menangani teknologi baru.
Kekhawatiran mereka tidak tanpa alasan. Makin lama, perusahaan memerlukan tenaga kerja yang cerdas dan terampil. Buku yang ditulis sepuluh tahun lalu sesudah ketinggalan zaman, apalagi pengalaman kerja yang dimiliki oleh karyawan yang setengah usia. Keahlian yang mereka kembangkan selama bekerja dengan mesin dan proses lama, tidak berfaedah bagi sarana baru yang serba kompleks. Ketrampilan dan pengetahuan karyawan yang merasa tertinggal, tentu mengalami kekuatiran atau bahkan kritis identitas
Manusia memerlukan kepastian bahwa hidupnya bermakna dan bertujuan. Padahal teknologi tidak memberikan makna dan tujuan abadi, yang bertahan terhadap masalah dan krisis hidup sehari-hari. Setiap orang menghadapi pelbagai ancaman yang dirasakan sekarang, apalagi ancaman masa depan yang belum terbayang dahsyatnya. Rahmat Subagya (Agama dan Kepercayaan) menyimpulkan bahwa berbiaknya kelompok kebatinan disebabkan keaguan, akibat perubahan konteks hidup dalam masyarakat industri, teknologi dan urbanisasi. Rakyat kehilangan nilai dan jaminan yang stabil.
Dampak Teknologi pada Perdagangan dan Hukum
Kini dalam waktu yang relatif singkat, orang pintar akan dapat memodifikasi segala an cam dokumentasi, termasuk surat, foto dan video. Kenyataan ini memungkinkan penipuan tak terbatas dalam hukum maupun perdagangan. Apakah surat wasiat dan kontak jual beli akan mempunyai kekuatan hukum kalau dokumen asli tidak dapat dibedakan dengan dokumen palsu? Apa bukti yang dapat disediakan polisi dan jaksa untuk mendakwa penajahat di pengadilan?
Dampak pada Bukti Indentitas
Atas pertimbangan yang sama tidak akan ada bukti diri yang tuntas. Surat lahir, KTP, paspor, semuanya mungkin palsu. Kekacauan ini dapat ditangguhkan selama beberapa tahun, misalnya kalau pemerintah menetapkan bahwa semua dokumen resmi harus dengan tulisan tangan. Tetapi berapa lamakah kita bisa memakai cara itu sebelum tulisan tangan dapat pula dipalsukan.
Bagaimana ceranya menghindarkan orang lain menghabiskan saldo kita di bank dengan bukti identitas yang di palsukan? Lagi pula saldo di bank sudah dapat dihabiskan oleh orang yang pintar memasuki arsip bank melalui komputer. Sudah sering kita mendengar tentang kasus-kasus pembajakan fons tanpa diketahui dan yang sekaligus menghapus catatan yang sebenarnya. Bukan di bank saja, sudah jelas ada banyak pemalsuan credit card dan pencurian uang pensiun melalui pos.
Dampak Teknologi pada Iman Kristen
Kepercayaan: Dapak negatif pertama, zaman teknologi canggih melemahkan keyakinan orang mengenai kebenaran Alkitab. Keraguan itu menghantar kepada keraguan yang lebih buruk, yaitu manusia merasa bahwa penyelamatan melalui pengorbanan Yesus merupakan sejenis dongen dari zaman pra sains.
Tugas rutin rakyat sudah diringankan oleh banyak produk hasil teknologi modern, seperti TV, lemari es, dan komputer. Tanpa dipikirkan lahirlah kekaguman terhadap sains modern yang dianggap mendasari teknologi itu. Anggapan itu keliru. Buah teknologi yang kita petik sekarang sebenarnya buah dari sains pra Renaisans yang berdasarkan Alkitab dan yang kebanyakan perintisnya pendeta. Tentunya keterangan Alkitab sangat memadai dengan bukti alam karena Tuhanlah yang memberikan kedua-duanya. Namun lama kelamaan berkuranglah jumlah orang yang percaya dan mengargai Alkitab.
Etika dan Moralitas: Produk teknologi modern itu seumpama ‘panah api dari si jahat’ (Ef. 6:16). Anak-anak panah ini tertembak melalu media masa; TV, radio, film, buku, majalah. Kita terbanjiri masukan tentang seks, perampokkan, kekejaman, pembunuhan dan kekeliruan kosmologis. Hubungan seks sebelum menikah dan ketidaksetiaan suami istri sudah dianggap wajar. Tidak mungkin tidak masukan-masukan ini berpengaruh kepada mental dan iman angkatan.
Kedua aspek ini bekerja sama dalam melumpuhkan iman krsitiani. Keinginan dan nafsu manusia cenderung melahirkan dosa. Orang berdosa tidak suka mendengar larangan Allah dalam Alkitab. Orang yang demikian suka menggantikan Alkitab dengan sains modern. Katanya, “Alkitab ketinggalan zaman, cocok untuk masa bahelua, bukan untuk zaman ilmiah. Larangannya hanya berlaku bagi budaya tertentu zaman dahulu, bukan lagi kita yang sudah “lebih mengerti”.
Kesempatan Baik bagi Orang Kristen
Namun teknologi dan pembangunan membuka kesempatan yang baik bagi orang Kristen. Di tengah keraguan, kitalah yang mempunyai dasar yang pasti dan kokoh, yang memungkinkan kita mengerti makna zaman apapun juga. Situasi kita di tengah masyarakat yang sedang membangun, mirip dengan situasi gereja pada abad-abad pertama. Kaum Kristen berkembang pesar pada zaman itu, karena mereka hidup hidup di zaman pencaroba sosial politik. Teknologi sedang membawa perubahan zaman dan nilai. Perubahan itu membawa keraguan. Rakyat yang ragu-ragu suka berguru, membentuk bermacam-macam paguyuban, yang bertanya-tanya tentang makna dan tujuan hidup. Pertanyaan mereka dapat dijawab oleh golongan satu-satunya yang memiliki dasar yang kokoh, yaitu kita yang percaya kepada Alkitab.
Di samping keraguan tentang nilai dan makna kehidupan, para sarjana merasa keraguan etis menghadapi penemuan-penemuan dan teknologi-teknologi baru. Banyak teknologi baru menimbulkan pertanyaan etis, terutama masalah-masalah gawat dalam penelitian biologis/medis. Misalnya, beberapa negara telah mengizinkan penelitian biologis pada janin berusia di bawah empat belas hari. Hal ini di sebabkan kebanyakan penelitian tidak mengakui kemanusiaan janin, padahal penelitian lain menunjukkan janin adalah insan yang bahkan mengatur perkembangannya sendiri, ibu tidak berdaya melawan.
Masalah-masalah yang segawat contoh itu membuka kesempatan bagi saudara dan penulis. Orang lain meraba-raba mencari arah di dunia yang serba membingungkan. Mereka tidak segan menerima pembinaan etis dari orang Kristen yang mempunyai pendirian yang pasti. Sarjana-sarjana Kristen dapat menjadi kendali etis dari orang Kristen yang mempunyai pendirian yang pasti. Sarjana-sarjana Kristen dapat menjadi kendali etis terhadap zaman pancaroba ini. sebenarnya hanya orang Kristen yang dapat mengambil sikap yang pasti terhadap polemik-polemik yang muncul, karena mereka mempunyai pengertian yang memadai dengan kenyataan alami dan manusiawi.
Penulis menutup artikel ini dengan sebuah kasus nyata yang menunjukkan dampak firman Allah terhadap para sarjana yang tulus ingin memiliki suatu dasar kebenaran.
Kasus
Selama peluncuran roket ke bulan, kurang lebih tujuh puluh sarjana dari pusat kontrol NASA di Texas menyakini ini kebenaran Alkitab sehingga percaya kepada Yesus Kristus. Apakah yang merangsang mereka untuk memikirkan Injil? Hanya segelintir sarjana dapat didapatkan di bulan. Setiap astronot harus mewakili beberapa bidang ilmu, dan harus mendalami setiap bidang itu. Berkat upaya intergratif itu, mereka temui bahwa setiap jurusan mempunyai praduganya sendiri, bahkan dengan asas-asas yang saling bertentangan. Dasar satu-satunya yang mampu merangkumkan sains secara global adalah Alkitab. Tentunya sebagian mereka bertobat dan percaya. Bahkan, sebagian dari mereka meninggalkan NASA dan menjadi pendeta.
*Dituliskan oleh W. Stanley Heath, seorang mantan dosen Jurusan Teknik Kimia di Syracuse University (1947-1949), Profesor Universitty of Kentucky (1958-1961), Guru Besar fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain itu penulis juga pendiri dari beberapa Gereja Methodis, dosen Univeristas Maranatha dan pendiri serta dekan Pascasarjana Institut Alkitab Tiranus, Bandung
Satu pemikiran di “Teknologi Dalam Pembangunan”
W. Stanley Heath, seorang Guru Besar, Penginjil Besar, yang berhati Besar, Yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk Indonesia.