Bila kita tinggal di pedesaan mungkin kita tidak heran melihat tanaman, baik sayur-sayuran maupun padi, tumbuh subur. Bagaimana dengan kota besar seperti Jakarta? Adakah areal persawahan? Lalu pernahkah Anda bayangkan bagaimana sayur-sayuran yang kita makan setiap hari ditanam? Dimanakah di tanam? Air darimana yang membuatnya tumbuh subur?
Di bawah ini, DIA menyorot persawahan di tengah-tengah kota Jakata.
Pertanian bukan hanya milik desa. Di tengah kota yang ramai dan penuh polusi udara, padi pun dapat bertumbuh. Bayam, kangkung, sawi, cay sin, selada dan lain-lain dapat dipetik. Singkatnya, daerah kota masih layak bagi pertanian.
Di belakang Gereja St. Yakobus, kawasan Sunter, Jakarta Utara masih terdapat sawah yang luasnya kurang lebih 10 hektar. Percaya atau tidak? Menurut Pak Bandi, salah seorang pekerjanya, sawah itu milik seorang perwira angkatan laut. Menurutnya, penggunaan tanah itu tidak ada masalah. Ia mengerjakan mulai dari pembajakan dengan traktor kecil, pembibitan, sampai panen. Biasanya empat bulan sekali panen.
Ia bercerita, pertama kali, bibit padi dibelinya di Cikarang – Jawa arat, yaiktu disebuah koperasi pertanian. Bibit tersebut kadang dibuat sendiri, demikian ungkap Pak Bandi yang beserta isteri dan rekan-rekannya sudah mengelola sawah selama dua tahun. Mereka berasal dari Indramayu dengan penghasilan per hari sebesar Rp 4000,00. Penggunan pupuk, PSP, HCL dan juga obat pemberantas hama dan segala perlengkapan pertanian yang digunakan, menurut Bandi, tidak mengalami kesulitan. Semuanya telah disediakan dan dibeli dari Cikarang oleh pemilik sawah.
Kesulitan utama yang mereka hadapi dalam mengelolah sawah adalah seringnya sawah terendam banjir. Terkadang sampai berhari-hari menunggu sampai banjor reda yang mengakibatkan padi puso. “Sedikit hujan saja, Jakarta kan langsung tergenang”, ujar Bandi. Disamping kesulitan utama tersebut, masih banyak kesulitan lain seperti datangnya hama keong mas, burung gereja, tikus sampai kupu-kupu kecil dan putih, demikian dia menggambarkannya. Pencegahannya adalah dengan obat-obat yang di beli di Cikarang. Untuk tikus, misalnya, digunakan jenis POSPIT yang dioleskan pada ikan dan di letakkan di pinggir sawah, sehingga tikus yang memakannya mati.
Pak bandi beserta isteri dan rekan-rekannya tinggal di gubuk pinggir sawah, mengatakan pengairan disini tidak sulit karena persis di pinggir sawah terhadap sungai panjang. Airnya memang keruh dan kurang baik untuk pertanaman. Untuk mengambil air tersebut, tutur Bandi, diperlukan mesin tenanga diesel yang menyerap dan menyaring air sungai. Sehingga hasil saringan tersebut baik bagi sawah.
Tidak jauh dari lokasi persawahan padi dan persis di seberang pusat-belanja grosir, DIA mengunjungi Pak Rakim dan rekan-rekannya yang sedang beristirahat setelah mengolah sayuran seperti selada, bayam, cay sin dan kangkung. Kebun ini milik seseorang yang menyewa lahan milik perwira angkatan laut tadi. Mereka dibayar sehari Rp 3000.-. Bedanya, mereka bekerja kalau dipanggil saja. Kalau di kampung habis panen. baru mereka ke kota.
Bibit yang Rakim dan rekan-rekannya tanam didapat dari Pedongkelan. Pupuk TSP, NPK mereka dapatkan dari sana Pula. Bagi para bapak yang berasal dari Subang dan Tambun ini menuturkan, menggarap sayuran lebih menguntungkan dari pada padi. Waktu 3-4 bulan sekali sudah dapat memanen sayuran. Selain itu hasilnya pun dapat 4 kali lipat dibanding hasil padi yang cuman sekali. Mulai dari pencangkulan, menunggu bibit tinggi sampai penanaman, hanya memakan waktu 1 bulan. Hanya langkung yang memakan waktu sedikit lebih lama.
“Daerah persawahan dan persayuran ini subur.” kata kedua bapak tersebut di tempat terpisah. Bahkan bila dibandingkan dengan sawah mereka di kampung, persawahan dan persayuran tersebut lebih subur. “Di sini tanahnya hitam sedikit berpasir, sedangkan dikampung kebanyakan tanah merah,” ujar Bandi dan Rakim ketika ditemui di tempat terpisah. Selain itu, mereka menceritakan, tanah bekas sampah seperti Cakung dan tepi selokan Cempaka Putih lebih baik lagi. “Bila ada yang hendak menjual tanah di Sunter, pasti berebutan orang membelinya,” ujar mereka.
Keluhan terlontar dari Bandi maupun Rakim, mengenai hama yang sering mengganggu tanamannya. Ular, wereng dan kutu loncat- sering mengganggu daun sayur-sayuran. Mereka mengaku, untuk menyiram sayuran tersebut waIaupun airnya keruh, tidak menjadi permasalahan.
Ditanah yang dulunya sekitar satu hektar dan dipotong pembuatan jalan sehingga tersisa sekitar 400 m ini, mereka olah berempat. Ketika ditanya bagaimana kalai digusur? Dengan enteng mereka jawan, “Ya cari tanah lagi!”
Seperti hal nya panen padi di pedesaan, begitu pula saat panen di kota, banyak bantuan buruh didatangkan. Kedua jenis petani tadi umumnya tidak tahu kemana hasil panen dipasarkan. Yang mereka tahu menanam dan memanen. Setelah itu urusan pemilik. Mereka berpendapat sama bahwa polusi kota ternyata tidak mengganggu tanaman. Apakah tanamannya berbahaya bagi manusia, mereka tidak tahu. “Belum ada penyelidikan,” ujar mereka.
Ternyata sayuran yang dijajarkan di pasar dan swalayan mungkin berasal dari persawahan Bandi dan Rakim yang sudah ‘bergaul’ dengan limbah yang mungkin kita sendiri yang membuangnya. Apa tindakan kita dalam menyehatkan sayuran yang kita makan?
**Majalah DIA, Edisi 3/1994