Prof. Truman Simanjuntak:
Arkeologi, Arkeolog dan lman

Apa itu arkeologi?

Sederhananya, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui peninggalan-peninggalannya. Peninggalan tersebut bisa berwujud artefak (segala benda yang pernah dikerjakan atau digunakan manusia), ekofak (sisa fisik manusia, fauna, flora, lapisan tanah, dan lain-lain), dan fitur (bekas aktivitas manusia, seperti jejak kaki, tiang bangunan, dan lain-lain).

Melalui peninggalan itu, arkeolog merekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup dan perilaku manusia, serta perubahan-perubahan budaya di masa lampau. Dalam arti luas, arkeologi tidak terbatas pada mempelajari budaya, tetapi juga manusia dan lingkungannya, tiga elemen yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Dalam konteks zaman sekarang, arkeologi tidak hanya bercerita tentang masa lampau, tetapi juga harus bermanfaat untuk kehidupan masa kini dan yang akan datang. “Siapa, dari mana, dan mau ke mana kita,” itulah pertanyaan dasar yang ingin dijawab arkeologi. Manusia dan budaya sekarang tidak muncul tiba-tiba, tetapi telah memiliki akar yang jauh ke masa silam. Oleh sebab itu, mempelajari kehidupan masa lalu berarti merunut asal usul dan perkembangannya serta memahami nilai-nilai luhur kemanusiaan dan peradaban yang menghantarkan kita pada kehidupan sekarang. Nilai-nilai itulah yang seharusnya melandasi kehidupan sekarang dan menjadi sumber inspirasi dalam menata kehidupan yang lebih baik di masa datang.

Ada yang menyebut: “Arkeologi tanpa sejarah adalah sesuatu yang tidak berarti.” Bagaimana hubungan arkeologi dengan sejarah?

Arkeologi tidak terpisahkan dari sejarah karena pengungkapan sejarah (segala sesuatu yang sudah terjadi atau asal mula sesuatu itu terjadi) merupakan bagian dari tujuan arkeologi. Dalam konteks ini, kita mengenal arkeologi sejarah (historical archaeology) yang penekanannya pada masa setelah mengenal tulisan dan arkeologi prasejarah yang mempelajari kehidupan manusia sebelum keberadaan tulisan. Perbedaan antara arkeologi dan ilmu sejarah terletak pada jangkauan waktu dan metodologi. Jika arkeologi meneliti zaman sejarah dan prasejarah berdasarkan tinggalan artefak dan ekofak, ilmu sejarah mempelajari zaman sejarah saja dengan terutama menggunakan sumber-sumber tertulis. Arkeologi bicara tentang masyarakat, sedangkan sejarah sangat gemar dengan tokoh.

Bagaimana seorang arkeolog bekerja? Proses atau tahapan seperti apa yang dikerjakan di lapangan?

Kerja arkeolog pada hakikatnya mengajak setiap tinggalan berbicara akan masa lalunya (apa, di mana, kapan, bagaimana, mengapa, untuk apa). Karena benda mati, maka keberadaannya itulah (morfologi, teknologi, skala, fungsi, konteks) yang berbicara atas dirinya melalui pemaparan arkeolog. Di sini, kemampuan arkeolog untuk “berdialog” (mengidentifikasi, menganalisis, dan menginterpretasikan data) sangat menentukan kelengkapan informasi yang dapat diungkap tentang masa lalu tinggalan.

Harus dipahami bahwa peninggalan arkeologi memiliki banyak keterbatasan: tidak lengkap (incomplete), cenderung terbuang dari konteks aslinya (out of context), tidak tergantikan (irreplaceable), dan tidak terulang (unrepeatable). Keterbatasan-keterbatasan itu menjadikan sulitnya mementaskan masa lalu yang utuh. Semakin jauh ke masa silam, semakin sedikit tinggalan tersisa, dan semakin sedikit pula informasi tentangnya. Atas kesulitan-kesulitan itu, arkeolog dituntut memiliki keahlian, keuletan, dan ketelitian dengan menggunakan segala sarana untuk memperoleh informasi optimal dari tinggalan. Dari kepingan-kepingan informasi yang diperolehnya, arkeolog mementaskan masa lampau yang tentu saja tidak pernah lengkap.

Untuk memperoleh data yang optimal, arkeolog harus melibatkan diri dalam proses penelitian yang sangat panjang dengan penuh ketelitian dan passion, mulai dari tahap penjajahan (feasibility studies) lewat studi literatur, observasi lapangan, wawancara, dan lain-lain, pengumpulan data lapangan (fieldwork) berupa survei, ekskavasi, tahap proses data (pembersihan, konservasi, katalogisasi), tahap analisis (morfologi, teknologi, fungsi, konteks), hingga tahap interpretasi (rekonstruksi kehidupan masa lampau).

Luasnya dimensi ruang dan waktu masa lampau juga menuntut arkeologi membutuhkan ilmu-ilmu bantu, seperti geologi, biologi, palinologi, paleoantropologi, paleontologi, geokronologi, dan lain-lain. Melalui data ilmu bantu, arkeolog mensintesakan seluruh hasil penelitian hingga menghasilkan berbagai tingkatan kebenaran, mulai dari asumsi, hipotesis, pandangan hingga teori.

Apakah ada standar/hukum yang digunakan seorang arkeolog saat dia bekerja. Kalau ada, apa itu?

Standar keilmuan yang digunakan arkeolog adalah kaidah-kaidah keilmuan itu sendiri, menyangkut kompetensi (siapa meneliti apa), ketepatan dan kelengkapan metode dan teknik yang diterapkan, dan dasar-dasar interpretasi dan kesimpulan (kesesuaian data dengan kesimpulan). Suatu penelitian memenuhi standar atau tidak dapat diukur dari jawaban pertanyaan berikut: (1) apakah penelitinya meneliti obyek yang sesuai dengan bidang keahliannya? (2) apakah metode dan teknik yang diterapkan sesuai dengan permasalahan penelitiannya? (3) apakah penemuan kesiapan didasarkan atas data autentik? Jika jawaban masing-masing pertanyaan “ya”, maka pada prinsipnya penelitian sudah menggunakan standar minimum. Jika salah satu atau ketiganya “tidak”, maka penemuannya diragukan atau bahkan ditolak.

Patut dicatat, selain kaidah keilmuan, ada standar etika (kode etika arkeologi) yang juga harus dipenuhi seorang arkeolog, khususnya menyangkut ketaatan dan kejujuran ilmiah.

Apa gunanya arkeologi untuk pengetahuan Alkitab?

Arkeologi sangat bermanfaat bagi pengetahuan Alkitab, karena bukti-bukti arkeologi dapat menjelaskan, melengkapi, dan melegitimasi isi Alkitab. Melalui bukti-bukti itu, segala isu atau sensasi yang sering dihembuskan pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu, terpatahkan dan tidak mendapat tempat di masyarakat. Ingat sensasi “Yesus beristrikan MM”, “Yesus tidak mati ketika disalibkan”, “Penemuan kubur Yesus”, “Yesus lahir di India”, dan lain-lain, semuanya hanya isu sesaat yang berhembus begitu saja, tidak menjadi wacana yang langgeng di masyarakat.

Penemuan arkeologis berupa sisa bangunan, tembok, struktur, peralatan, perhiasan, senjata, tulang belulang manusia, fauna, flora, inskripsi, dll, memungkinkan arkeolog merekonstruksi kejadian-kejadian dalam Alkitab secara lebih lengkap. Keberadaan kota-kota, kondisi sosial, budaya, dan politik yang disebut-sebut dalam Alkitab terbukti kebenarannya lewat penemuan arkeologis. Domestikasi dan etnisitas pada masa Abraham, pembuangan dan eksodus Bangsa Israel ke dan dari Mesir, merupakan beberapa contoh yang dapat dijelaskan arkeologi melebihi yang tertulis dalam Alkitab.

Permasalahan bahwa banyak kejadian di dalam Alkitab yang tidak dapat dibuktikan oleh temuan arkeologi dan ilmu lain pada umumnya – “Penciptaan” misalnya, hingga sekarang (atau sampai kapan pun) masih enigmatik, tidak terjangkau daya nalar manusia. Kondisi ini disebabkan oleh:

  1. Scientific: keterbatasan data arkeologi dan ilmu lainnya.
  2. Dogmatik: keterbatasan pikiran manusia untuk mengerti dan memahami karya Tuhan. Ingat Yesaya 55:8-9: kita tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat memahami pikiran Allah yang tidak terbatas dan Roma 11:33: keputusan-keputusan-Nya tak terselidiki dan jalan-jalan-Nya tak terselami.

Bagaimana benda dan tulisan dari zaman purbakala dapat menolong kita untuk memahami dunia Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru?

Suatu temuan arkeologi akan lebih bernilai dan lebih autentik jika benda itu ditemukan “in situ” dan kontekstual, karena memiliki data bentuk, waktu, dan ruang. Temuan dalam kategori inilah yang sangat menolong kita memahami Alkitab. Sebaliknya, temuan yang sudah berpindah tempat dan kehilangan konteksnya akan sangat kurang membantu. Data tentang waktu dan ruang yang telah hilang menjadikan informasi yang diperoleh sangat terbatas. Insripsi atau sumber-sumber tertulis yang dituliskan pada masa kemudian dari kejadian termasuk tinggalan yang memerlukan kehati-hatian dalam menggunakannya.

Bagi arkeologi, setiap penemuan atau pandangan baru dapat dikatakan sah jika didasarkan atas data atau sumber yang valid. Oleh sebab itu, sebelum menyatakan pandangan itu benar, harus ada bukti sumber terlebih dahulu (analisis sumber, latar belakang penemuan, proses penelitian, dan lain-lain). Apa yang ditemukan dan bersama apa, dimana ditemukan, bagaimana penemuan itu, siapa yang menemukan, untuk apa ditemukan, apa bukti-bukti yang menguatkan interpretasinya itu, merupakan beberapa pertanyaan uji. Singkat kata, setiap “penemuan” atau “pandangan baru”, sebelum mempercayainya atau menolaknya, harus mempertanyakan terlebih dahulu validitas sumber yang digunakan.

Bagaimana dengan “penemuan” yang menyerang Alkitab?

Pandangan atau penemuan yang menyerang Alkitab pada umumnya tidak berdasar karena tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang autentik. Sering pandangan itu didasarkan atas sumber atau bukti-bukti yang tidak sahih atau diragukan kebenarannya. Sesuatu yang dibangun di atas premis yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah pula. Contoh-contoh semacam ini sering terjadi ketika suatu pandangan baru didasarkan atas sumber tertulis yang dibuat beberapa abad kemudian dari kejadian Alkitab dan yang keabsahannya diragukan. Atau dapat pula pandangan yang dilontarkan berdasarkan keterangan (isu) pihak-pihak tertentu yang kebenarannya belum teruji.

Bagi seorang arkeolog, bagaimana posisi iman, akal budi, dan pengetahuan (arkeologi)?

Prinsip umum arkeolog dan ilmuwan pada umumnya mengatakan ilmu dan agama dua hal yang berbeda, karena menggunakan pendekatan yang berbeda. Jika ilmu didasarkan atas pendekatan logika dan data, agama menggunakan pendekatan dogmatik atau iman. Ilmu pengetahuan menyerukan “buktikan dulu baru percaya”. Agama: ya… percaya, percaya, dan percaya, titik. Segala yang tidak terjangkau pikiran merupakan karya keagungan Tuhan. Perbedaan pendekatan itu menjadikan yang satu senantiasa “berjauhan” dari yang lain.

Kondisi ini dihadapkan pada semua ilmuwan dengan respons yang berbeda-beda, namun secara umum terbagi dalam 3 kelompok:

  1. Kelompok yang menganjurkan pilih salah satu: “biarkan ilmu untuk ilmu dan agama untuk agama”. Mempertemukan keduanya, it doesn’t make sense.
  2. Kelompok netral menganut kebijakan yang teduh: “Jika memasuki ranah keagamaan, lepaskan baju keilmuannya dan ganti dengan keimanan”. Kebanyakan ilmuwan berada pada posisi ini. Manakala bicara ilmu, dia berdiri pada prinsip keilmuan, tetapi ketika memasuki ranah keagamaan, dia berpegang pada dogma. Pada posisi ini, hal-hal yang tidak terjangkau pikirannya justru semakin mengagumi kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
  3. Kelompok yang mirip kelompok netral, tapi tidak mau melepaskan baju keilmuannya. Bagi mereka, segala yang diukur dari sudut rasionalitas. Segala yang tidak terjangkau pikiran manusia diragukan kebenarannya atau bahkan dituduh sebagai kebohongan. Ulama ekstrim dari pemikiran ini membawanya pada ketidakpercayaan akan segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh bukti ilmiah.

Sebagai orang beragama, paham kedua itulah yang sebaiknya dipegang. Dalam laut bisa diduga, tetapi dalamnya rencana dan kuasa Tuhan tak seorang pun tahu dan tidak mampu dijelaskan bukti-bukti ilmiah. Atas panggilan keilmuannya, kita boleh terpanggil mencari kebenaran. Tetapi ingat, konsekuensi penemuan-penemuan yang cenderung membenarkan Alkitab – rasionalitas keilmuan – tentunya menjadi poin untuk semakin menumbuhkan iman. Sementara keterbatasan memahami karya ciptaan Tuhan, merupakan poin lain untuk memahami kebesaran dan kuasa-Nya.

—–Berdasarkan wawancara dengan Prof.Truman Simanjuntak, Pengajar, Periset, dan Direktur Center for Prehistoric and Austnesian Studies (CPAS), Anggota Gereja Kriesten Ouikumene Indonesia (GKO))

— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008

Berikan tanggapan