Dr. John A. Titaley:
Semua Pendatang di Indonesia

Dr. John A. Titaley, Ketua Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat sejak 1991 hingga sekarang dan mengajar Bidang Studi Sosiologi Gereja-gereja di Indonesia dan Teori Sosial di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Lulusan fakultas Teologia, UKSW ini semasa mahasiswa pernah menjadi ketua Dewan mahasiswa dan Pembantu Rektor III. Kemudian ia melanjutkan studi ke Graduate Theological Union (GTU) Berkeley – Amerika Serikat.

Anak ketiga dari lima bersaudara ini dilahirkan 44 tahun lalu (tepatnya 9 Juni 1950) di kota ‘minyak’ Sorong. Kemudian ia menikah (1981) dengan wanita asli Madura Ida Imam. Kini mereka dikaruniai seorang putri dan putra.

Walaupun sering mengikuti dan menjadi pembicaraan di berbagai seminar, antara lain: ‘100 tahun Parlemen Agama-agama Sedunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama Di Indonesia – Yogyakarta’ dan Gerakan Kesatuan Kristen di Indonesia, Jhon A. Titaley hidup sederhana. Ia, sehari-harinya mengayuh sepeda dari rumah ke tempat ‘pengabdian’, UKSW. Selain itu, ia sangat akrab dengan para mahasiswa.

Di tengah kesibukannya, John A. Titaley bersedia ditemui DIA di kantornya, USKW. Hari itu khusus disediakan bagi Majalah DIA. Apa pendapatnya tentang nasionalitas? Mengapa kita harus memiliki nasionalitas? Bagaimana nasionalitas para tokoh yang beragama Kristen sebelum dan sesudah kemerdekaan? Mengapa mereka turut berjuang dan terlibat dalam pembangunan bangsa dan Negara Indonesia? Apakah benar umat Kristen sekarang nasionalitasnya ‘menipis’? Konsep teologis apa yang harus dimiliki umat Kristen dalam keterlibatannya di masyarakat dan Negara?

Silahkan Anda baca wawancara di bawah ini.

Ketika zaman penjajahan, awal kemerdekaan dan Orde Baru kita masih dapat menyebutkan nama-nama orang yang beragama Kristen yang terlibat dalam kancah pemerintahan. Sekarang ini sukar menyebutkan nama dan buktinya. Mengapa, Pak?

Keterlibatan orang Kristen dulu banyak didukung, pertama, faktor pendidikan. Pada zaman penjajahan, orang Kristen yang berpendidikan lebih banyak dibandingkan lainnya. Dan, ketika merdeka dan Negara Indonesia terbentuk, yang siap mengisi dan menjalankan program pembangunan pemerintah adalah mereka. Apalagi sistem pemerintahan yang dibentuk adalah modern, yaitu dijalankan dengan sistem yang sangat berbeda dari sebelumnya. Faktor pendidikan tersebut mempersiapkan mereka menjalankan roda pemerintahan.

Kedua, J. Leimena. W. J. Rumambi, Basoeki Probowinoto, A. Mangara Tambunan melihat kemerdekaan Indonesia itu sebagai Anugrah Allah. Apalagi gerakan kebangsaan dan kemerdekaan sedang melanda semua orang, termasuk kaum intelektual kristiani. Agama yang mereka anut pun tidak terlepas dari nasionalis. Mengapa? Mereka berada dalam perjuangan konkret. Kemerdekaan adalah suatu kebutuhan. Nah, ketika itulah, mereka mencoba membangkitkan hubungan kemerdekaan dan agama.

Untuk umat Kristiani, pada waktu itu, tidak hanya menekankan keselamatan jiwa atau spiritual. Ketika dijajah Belanda, jiwa mereka sudah diselamatkan, tetapi secara materi belum. Pertanyaannya yang timbul adalah; bukankah keselamatan yang Allah janjikan? Ya! Bila dikatakan sudah diselamatkan, kenyataannya masih dijajah. Apalagi yang dijajah sebangsa dengan si pembawa Injil. Keselamatan apa itu? Apakah ungkapan itu hanya sebatas mulut? Apalagi kata kemerdekaan, kasih, dan keadilan kesejahteraan, kedamaian dan sebagainya adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam kekristenan.

Melalui pergumulan dan pemikiran dewasa, mereka sampai pada sikap dan tindakan yang benar. Mungkin dalam pergumulannya, mereka mempertanyakan bentuk keselamatan. Mereka ketika itu tidak melihat relevansi dari apa yang disuarakan kekristenan. Merekalah yang menggumulkan relevansi iman dan kemerdekaan, lalu menemukan bahwa iman mereka tidak boleh berhenti di situ, tapi harus berjuang mencapai kemerdekaan, mereka merasa telah diselamatkan. Atas dasar itulah mereka melihat bahwa Injil itu tidak terlepas dari realitas seluruh aspek hidup, termasuk politik. Tanpa itu, kita selamat sebatas gedung gereja. Itulah yang tidak dilihat oleh umat Kristen Indonesia sekarang.

Kalau para pejuang dan pengisi kemerdekaan seperti J. Leimena, A. Mangara Tambunan, Rumambi, Basoeki Probowinto, T.B. Simatupang, dan lain-lain dapat menerapkan iman mereka ke dalam kehidupan bernegara, mengapa umat Kristen sekarang tidak? Seperti ‘benang merahnya’ terputus. Mungkinkah Bapak dapat menjelaskan di mana permasalahannya?

Dasar teologis yang sudah mulai dibangun, kemudian mati. Bayangkan benih yang sudah mulai tumbuh, tapi tidak disirami oleh para pekerja penerusnya. Apa yang terjadi? Pasti mati!

Ketika saya diundang untuk berbicara dalam seminar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), saya mengusulkan adanya Gereja Kristen yang Esa di Indonesia (GKEI). Ini sesuai dengan pikiran para pendiri PGI pada tahun 50-an. Jika dibentuk, maka dasar teologis keterlibatan gereja-gereja dalam masyarakat majemuk menjadi lebih jelas dan menjadi tokoh.

Bila umat Kristen dulu mendasarkan tindakan nasionalitasnya pada dorongan agama, mengapa sekarang banyak orang yang secara agama, tapi tindakan konkretnya kurang terlihat di masyarakat?

Itu pertanda bahwa kekristenan kita masih terperangkap dalam tembok-tembok gereja. Belum aplikatif. Agama hanya sebatas liturgis. Kalau Kekristenan hanya sebatas dinding gereja, jangan heran jika kelak kekristenan tidak dibutuhkan.

Pendidikan, kesadaran beragama, dan berbangsa merupakan faktor yang sangat mendukung keterlibatan kita di masyarakat. Keterlibatan akan menjadi mendasar bila secara teologis kita memiliki dasar yang jelas. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah ‘apakah perwujudan konkret kekristenan kita sudah di-Indonesia-kan?’ Kalau masih terpisah, jangan berharap orang Kristen masuk dan peduli terhadap permasalahan nasional. Perwujudan itu harus dimulai dari pandangan teologis dan pendidikan.

Jika pertanyaan Bapak ‘apakah perwujudan konkret kekristenan kita sudah di-Indonesia-kan’ tidak dijawab, kemungkinan apa yang terjadi?

Umat Kristen tidak akan pernah melihat maksud Tuhan terhadap penempatan di Indonesia. Dan, secara birokrasi, Negara ini akan didominasi oleh golongan tertentu. Itu kan kekuatan. Bila seperti itu, umat Kristen jangan mengeluh dan menyesal! Itu adalah kesalahan kita.

Apa yang harus kita lakukan? Mau menghantam secara parsial? Salah! Dalam seminar, saya sering menantang gereja-gereja untuk berpikir dan bertindak konkret. Karena itu mari kita jawab ‘apa itu Indonesia secara teologis’?

Saya melihat bahwa manusia di Indonesia, juga bagian dari manusia di dunia, ada dalam rencana penyelamatan Allah. Gereja yang ditempatkan-Nya di ibu pertiwi ini seharusnya meneruskan rencana tersebut. Jika ada pembantu yang dianiaya atau buruh yang diperas, misalnya, hendaknya umat Kristen ‘berteriak’. Bukan hanya sekedar meneriakkan ‘kamu berdosa!’

Mengapa kita tidak belajar dari para pendahulu?

Karena kita masih memiliki sikap bahwa kekristenan dan teologi berasal dari Barat. Sampai sekarang, hal tersebut masih berlaku. Padahal, para tokoh umat Kristen pada masa lalu telah melihat kekristenan bukan sebagai paham dari Barat, melainkan sebagai konsep yang muncul dari realitas lokal. Identitas ini sudah mulai dibangun. Namun, dari generasi ke generasi, identitas tersebut tidak ditangkap atau diteruskan. Inilah salah satu faktor yang mengapa kita masih cenderung mengorientasikan diri ke Barat. Bukti nyatanya? Buku-buku referensi yang digunakan di Sekolah Tinggi Teologi (STT) masih berasal dari luar negeri.

Jika kita ingin berubah, maka perubahan tersebut harus dimulai dari sudut pandang teologis. Pada masa lalu, para tokoh Kristen tidak semuanya berasal dari latar belakang teologi, namun dari berbagai kalangan. Saat ini, meskipun kita memiliki banyak doktor teologi, apa yang terjadi? Generasi pemimpin gereja tidak berusaha untuk merumuskan bagaimana cara menerapkan ajaran Injil di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Mereka masih terus menerapkan ajaran Injil seperti yang berlaku di Negara Barat atau terlalu terfokus pada urusan pribadi. Padahal, Indonesia sebagai bangsa harus mendapatkan perhatian.

Jika sekarang tidak ada orang Kristen yang memiliki semangat nasionalis, apakah itu juga berarti kesalahan para pendahulu?

Bisa jadi! Namun, akar dari masalah ini terletak pada pemahaman teologis. Ajaran Injil belum sepenuhnya diterapkan dalam realitas Indonesia.

Apakah ini berarti bahwa Tuhan menginginkan keadaan Kristen seperti ini?

Tidak! Namun, ini adalah panggilan untuk mempertanyakan dan merumuskan kembali bagaimana menjadi umat Kristen yang ditempatkan oleh Tuhan di Indonesia.

Siapa yang harus memulai perubahan ini?

Itulah yang harus kita jawab. Pertanyaannya adalah, apakah realitas Indonesia adalah sebuah realitas teologis atau tidak? Dalam konteks ini, bagaimana kita mempertanggungjawabkan tindakan kita terhadap realitas sosial masyarakat. Bagaimana sikap kita ketika ada kelompok masyarakat tertindas dan dieksploitasi oleh pihak lain? Sudahkah kita memperlakukan mereka secara manusiawi?

Indonesia telah merdeka selama 49 tahun. Apakah Negara kita telah memanfaatkan Sumber Daya Alamnya (SDA) untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Bukankah kemakmuran adalah bagian dari berkat? Jika belum, maka pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab oleh umat Kristen adalah, “Apakah panggilan dan tugas Tuhan, yaitu membawa perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan kebenaran, telah kita jalankan?” Jawaban atas pertanyaan ini akan membentuk dasar teologis kita.

Jawaban ini harus mendorong umat Kristen untuk aktif dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga secara bertahap, martabat manusia Indonesia akan meningkat dan keadaan semakin membaik. Dengan bertindak demikian, kita bukan hanya menjadi warga negara Indonesia, tetapi juga menjadi saksi bagi iman kita. Inilah panggilan sejati orang beriman. Jika ada yang tertindas dan kita atau gereja diam saja, itu berarti kita belum sepenuhnya mengerti panggilan orang Kristen.

Saat ini, nasionalitas orang Tionghoa di Indonesia juga menjadi sorotan. Apakah Anda melihat akar masalahnya?

Itu adalah akibat dari kesalahan kita. Selama ini, kita telah memperlakukan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang terpisah dari bangsa Indonesia. Dengan memisahkan etnis Tionghoa, kita merasa memiliki hak atas negara ini. Ketika membahas perjuangan nasional, sering kali kita mengabaikan peran orang-orang Tionghoa. Mereka hanya dianggap sebagai “penumpang,” bukan bagian dari perjuangan.

Padahal, sebelum tahun 1945, konsep Indonesia belum ada. Artinya, sebelum Indonesia terbentuk, semua kelompok etnis termasuk Ambon, Batak, Jawa, Tionghoa, dan lainnya adalah pendatang. Kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa dan negara baru terwujud setelah tahun 1945. Kemerdekaan dan pembentukan negara ini merupakan hasil perjuangan dari berbagai suku, agama, dan budaya dari Sabang hingga Merauke, termasuk orang-orang Tionghoa. Konsep ini harus diakui oleh semua orang. Dengan demikian, etnis Tionghoa bisa lebih terintegrasi.

Jika hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tidak akan ada lagi pertikaian mengenai jiwa nasionalis. Kelompok etnis lain akan melihat etnis Tionghoa sebagai rekan setara. Demikian juga, etnis Tionghoa akan melihat kelompok Ambon, Papua, dan lainnya sebagai saudara. Tidak ada satu suku pun di Indonesia yang lebih rendah dari suku lainnya. Jika sikap kita semacam itu, tidak ada lagi yang mengatakan, “Orang Tionghoa bukan bagian dari Indonesia.” Juga tidak ada kelompok suku atau agama di Indonesia yang berani mengklaim bahwa “negara ini hanya ada karena kita.”

Beberapa bulan yang lalu, muncul isu ‘ganyang’ terhadap etnis Tionghoa. Mengapa hal ini terjadi?

Isu tersebut muncul karena kita telah menjauhkan mereka dari identitas bangsa Indonesia. Masalahnya terletak di situ! Untuk mengatasinya, salah satu langkahnya adalah mengubah pandangan kita mengenai kepemilikan identitas Indonesia.

Selain itu, mungkin juga karena adanya perasaan cemburu terhadap aspek sosial dan ekonomi. Hal ini juga timbul karena kita telah meletakkan etnis Tionghoa di luar identitas Indonesia. Sehingga, aspek sosial dan ekonomi dilihat sebagai monopoli, bahkan dalam pandangan yang lebih ekstrim, sebagai “penguasa.” Ini adalah akibat dari pandangan berbangsa yang harus kita ubah!

Pembauran dan penyatuan antara etnis Tionghoa dan non-Tionghoa seharusnya diprakarsai oleh gereja. Dengan demikian, keterlibatan gereja akan terlihat dalam masyarakat dan pemerintahan. Di sini, gereja tidak hanya merujuk kepada para teolog, melainkan kepada kita semua.

Tapi gereja sekarang ‘kan sedang repot mengurus diri sendiri masing-masing?

Itu memang sangat disayangkan. Namun, selain itu, kita memiliki Sekolah Tinggi Teologi (STT). Di sinilah kita harus mulai. Saya (John Titaley adalah salah satu pengurus dalam pembuatan standar kurikulum STT di Indonesia) sudah melihat hal ini dan sedang disusun agar STT yang ada bisa menyempurnakan kurikulumnya.

Selain itu, perguruan tinggi yang berada di bawah Yayasan Kristen harus menyadari panggilannya. Jika STT mempersiapkan para pembawa firman, maka perguruan tinggi non-teologi harus mempersiapkan pengurus gereja. Karena itu, baik mahasiswa sekolah teologi maupun non-teologi harus dibina dan dipersiapkan sedini mungkin. Agar nantinya mereka dapat menjadi pemimpin gereja dan masyarakat yang berdedikasi dan terpanggil.

Apakah kurangnya kepedulian umat Kristen terhadap Indonesia ini disebabkan oleh pandangan bahwa kita menempatkan Indonesia ‘di luar’ diri umat Kristen?

Itu disebabkan karena kita hanya melihat keselamatan sebagai hal yang terbatas pada jiwa dan dimensi spiritual. Konsep ini perlu diubah. Max Weber mengacu pada konsep “inner worldly asceticism” atau pandangan kehidupan yang mengarah pada dunia. Oleh karena itu, pandangan teologis kita perlu diubah agar melibatkan kita dalam kehidupan bermasyarakat.

Siapa yang pertama kali mengubah pandangan ini?

Para teolog.

Tapi para teolog sedang sibuk…?

Sekarang ini sudah mulai bergerak ke arah itu.

Jika bergerak ke arah itu, ada orang yang berpendapat bahwa itu bersifat liberal, Pak?

Apa yang dimaksud dengan liberal dan fundamental? Mungkin apa yang saya sampaikan ini adalah yang fundamental.

Bila terjadi permasalahan di Indonesia yang membuat umat Kristen terjepit dan dihadapkan pada pilihan pindah warga negara, apa yang harus dilakukan?

Jika kita mengamati sejarah kelahiran bangsa Indonesia, memang benar kita ingin merdeka sebagai bangsa. Semua di sini bukan hanya berasal dari masyarakat agama dan suku tertentu. Semua suku dan agama dari Sabang sampai Merauke turut merindukan kemerdekaan. Masyarakat yang berasal dari latar belakang suku, budaya, dan agama yang beragam, inilah yang disebut sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, bangsa Indonesia berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan. Masalah pembagian dan pemisahan baru muncul pada akhir-akhir ini.

Kemerdekaan yang adil dan sejahtera merupakan konsensus bersama dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia. Jika konsensus ini masih tetap menjadi cita-cita bangsa Indonesia, maka itu berarti terbentuk dari berbagai latar belakang suku dan agama. Suku-suku seperti Minang, Batak, Aceh, Jawa, Ambon, Manado, Tionghoa, dan lainnya dari Sabang sampai Merauke, memiliki andil dan kedudukan yang sama dalam usaha memerdekakan negara ini. Konsensus ini harus menjadi perhatian masyarakat Indonesia.

Jika konsensus mengenai kemerdekaan berubah, apa yang harus kita lakukan?

Jika dalam perkembangan negara ini konsensus tersebut dilanggar, kita harus berusaha untuk mempertahankan konsensus yang telah disetujui 49 tahun yang lalu. Jika berhasil, itu adalah hal yang baik. Namun, jika sebaliknya terjadi, mungkin pilihan adalah berpindah atau membubarkan Indonesia. Indikator untuk pembubaran Indonesia adalah jika konsensus dilanggar. Jika ada yang ingin pindah, itu bukan lagi dasar bagi pembangunan yang ingin dicapai.

Selain itu, kita juga harus melihat peran orang Kristen dalam menjaga dan menerapkan konsensus yang telah disetujui. Karena peran kita dalam pelaksanaan konsensus tersebut sangat penting.

Saat ini ada kelompok tertentu yang berusaha untuk mengarahkan orang berpikir bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperjuangkan oleh kelompok tertentu. Bagaimana pendapat Bapak?

Hal itu tidak mungkin! Sebaiknya jangan diperdebatkan! Jika hal tersebut terjadi, sebaiknya Indonesia lebih baik untuk membubarkan diri! Itu akan menjadi tragedi seperti yang terjadi di Bosnia!

Setiap pulau di Indonesia memiliki berbagai agama, suku, dan bahasa. Jika perpecahan berdasarkan agama terjadi, mungkinkah setiap pulau bersatu untuk membentuk negara sendiri? Atau akan terjadi pembubaran seperti yang Bapak maksud?

Jika seperti yang Anda katakan terjadi, maka Indonesia akan pecah. Mungkin tidak akan lagi menjadi Indonesia. Mungkin nama akan berubah. Saran saya, sebaiknya jangan mencoba-coba! Akibatnya bisa fatal nanti! Mari kita kembali ke konsensus yang telah disetujui 49 tahun yang lalu.

Banyak peristiwa yang terjadi, namun masyarakat terdiam tanpa bicara. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Masyarakat bukanlah tidak bisa bertindak, tetapi mungkin mereka enggan untuk berbicara. Hal ini terjadi karena pemahaman dan pengertian kita belum sampai pada tindakan nyata. Kekristenan kita masih terfokus pada pandangan bahwa “jika Anda percaya kepada Yesus Kristus, Anda diselamatkan.” Di situlah kesalahan terjadi.

Bukan karena takut, Pak?

Bukan…! Itu terjadi karena kita belum memiliki dasar teologis yang jelas.

Dalam seluruh dokumen aliran kekristenan di Indonesia, konsep keterlibatan umat Kristen dalam Negara tidak ada. Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja PGI pun tidak disinggung. Oleh karena itu, dalam seminar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GKMI) pada 31 Mei 1994 lalu, saya membuka pertanyaan ‘apakah Indonesia itu secara teologis?’. Pertanyaan ini belum pernah ada sebelumnya!

Dalam era globalisasi dan teknologi ini, orang dapat berpindah warganegara dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengubah hari. Orang yang memiliki peluang besar untuk berpindah tempat adalah mahasiswa dan alumni, termasuk yang beragama Kristen. Apa hal-hal yang harus dipertimbangkan jika ingin berpindah warganegara?

Kembali tanyakan pada diri sendiri, ‘makna apa yang ingin diisi dalam perjalanan menuju kedamaian, kemakmuran, kemajuan hidup, dan sebagainya… silahkan! Di manapun berada, kita harus melihat tujuan hidup kita di sana. Saya tinggal selama 4 tahun di negara Paman Sam, tetapi saya kembali ke sini.

Kita tidak dapat memisahkan agama dari nasionalitas. Itu harus kita terima sebagai komitmen. Jangan berpikir bahwa ketika Indonesia merdeka sudah ‘terjadi’. Maksudnya, Indonesia hanya dibentuk oleh sekelompok orang. Tidak bisa! Indonesia terbentuk dari kerinduan semua agama dan suku, oleh karena itu harus diisi pula oleh semua orang.

Jika ada kemungkinan pindah ke negara lain, apa yang harus dipertimbangkan?

‘Apakah kita sudah menjadi saksi Kristus di mana pun kita berada.’ Pertanyaan ini harus kita jawab terlebih dahulu. Saya melihat bahwa panggilan umat Kristen di Indonesia adalah meneruskan pekerjaan Allah yang sudah dimulai. Jika itu menjadi tantangan, belum tentu kita mau pindah ke tempat yang lebih baik.

Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah tujuan hidup kita. Makna apa yang ingin kita ‘jalani’ selama hidup. Panggilan saya dalam kebersamaan masyarakat adalah perdamaian, keadilan, pemerataan, dan sebagainya. Dengan itulah saya memberi makna pada hidup ini. Melalui hal tersebut, menurut saya, kita dapat membawa kemanusiaan yang utuh, manusia yang berperilaku sebagai manusia. Itu juga kita lihat dalam hidup-Nya ketika Ia hidup di dunia. Jika manusia sudah hidup sesuai kodratnya, maka dunia ini akan menjadi adil, makmur, dan sejahtera.

Bagaimana sebaiknya umat Kristen menerapkan jiwa nasionalisnya dalam masyarakat majemuk?

Dengan merumuskan dasar ketertiban umat Kristen di tengah masyarakat majemuk Indonesia. Karena dulu belum ada sesuatu seperti Indonesia yang ada sekarang. Yang ada adalah daerah jajahan Belanda. Setelah merdeka, Indonesia terbentuk. Jika pemerintah kita masih memperlakukan rakyat seperti masa penjajahan, sebagai contoh, maka setiap warga negara harus memperingatkannya.

Jika melihat perkembangan zaman yang membuat kota semakin seperti ‘kampung besar’, apakah di era globalisasi dan teknologi ini masih dibutuhkan nasionalitas?

Globalisasi bukan berarti bebas nilai dan bisa menghilangkan nasionalitas. Bila itu terjadi maka globalisasi membahayakan. Globalisasi dan teknologi juga tidak terlepas dari kepentingan ekonomi. Melalui ekonomi dan teknologi, sebagai model baru, penjajahan dapat terulang. Dulu, dengan perkembangan pengetahuan teknologi yang cukup sederhana, negara lain mampu menguasai hasil bumi Indonesia. Apalagi sekarang ini. Karena itu kita harus ‘sigap’, kritis, dan belajar dari sejarah.

Penjajahan sekarang ini tidak seperti dulu, secara fisik. Yang paling berbahaya adalah kita dijajah secara ekonomi, misalnya, tapi kita tidak menyadari bahwa kita sedang dijajah. Pabrik sepatu didirikan oleh perusahaan asing di Indonesia, misalnya. Bahan mentahnya semua berasal dari bumi Indonesia, termasuk pekerjanya. Bahan mentah dan buruh tersebut dibayar murah. Sebelum dipasarkan, supaya dikenal, mahal, dan cepat laku, sepatu tersebut diiklankan di layar kaca selama beberapa menit oleh Michael Jordan dengan bayaran jutaan dolar. Bandingkan! Upah Michael Jordan dengan buruh! Adilkah?

Nah, pemahaman nasionalisme diperlukan untuk memastikan bahwa kemanusiaan kita sama dan setara dengan orang lain. Nasionalitas membuat kita lebih sadar, walaupun masyarakat sedang berlomba untuk mencapai kehidupan yang mapan. Jika tidak diimbangi dengan nasionalisme, maka taktik devide et impera bisa terjadi.

Apakah menipisnya sikap nasionalis di negara berkembang lazim terjadi?

Menipis mungkin tidak. Permasalahannya adalah negara berkembang berada dalam posisi yang tidak seimbang dengan negara maju. Kekuatan negara berkembang lemah dibandingkan dengan negara maju yang kuat. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menyadarkan negara maju bahwa mereka tidak akan merasa nyaman jika masih ada negara-negara yang tertinggal. Kemajuan mereka harus disertai dengan upaya untuk memajukan negara-negara berkembang. Jika tidak, maka negara berkembang akan terus tertinggal.

Alasan lainnya adalah kemajuan dan kemakmuran yang dicapai oleh negara maju kadang-kadang didasarkan pada eksploitasi bahan mentah dan ekspor produk jadi ke negara berkembang dengan selisih harga yang signifikan. Oleh karena itu, mau tidak mau, tanggung jawab tertera jelas dalam perjanjian perdamaian Indonesia dengan Belanda.

Oleh karena itu, masyarakat perlu memiliki semangat nasionalisme. Ini berfungsi untuk menyadarkan bahwa tanggung jawab terhadap sesama adalah besar. Pemimpin dunia, sebagai contoh, mengimbau agar umat manusia menjaga bumi ini. Itu adalah nasionalisme secara global. Kesadaran itu timbul karena manusia tidak dapat ‘lari’ ke planet lain. Dunia ini adalah kampung besar dan semua manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaganya.

Sebagai seorang dosen, bagaimana Bapak menimbulkan jiwa nasionalis di kalangan mahasiswa?

Saya mulai dengan mengajarkan hakekat berbangsa dan bernegara. Indonesia adalah fenomena baru. Konsensus kemerdekaan terjadi di Indonesia pada awal kemerdekaan. Melalui itu, secara konkrit, mahasiswa dapat melihat aturan-aturan dan teori sosial yang dianalisis dalam masyarakat Indonesia. Tidak seperti selama ini. Indonesia, sebelum konsensus kemerdekaan diajarkan seakan telah ada.

Bagaimana reaksi dan tindakan mahasiswa terhadap ajaran Bapak tersebut?

Ya. Mentalitas berteologia mereka berubah. Selain itu, ada tindakan maujud dalam kehidupan ini (ini Red. DIA buktikan dengan baca di whiteboard mahasiswa: “surat kepada Pemerintah menganai masalah kericuhan di tubuh HKBP” dari beberapa mahasiswa yang menandatangani).

Saran bagi pembaca DIA, Pak?

Kita hidup dalam satu Negara berarti, mau tidak mau, harus diatur Negara. Kita harus berjalan di sebelah kiri, contohnya. Itu peraturan Negara. Bila kamu berjalan di sebelah kanan, maka yang menghukum Negara. Tindakan kita sudah diatur oleh Negara.

Supaya aturan Negara sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka kita harus peduli terhadapnya. Bila ada aturan yang tidak sesuai kita wajib memperingatkan. Bila kita peduli terhadap Negara, berarti kita juga sedang melindungi kemanusiaan kita. Benar kan?


**Telah terbit di Majalah DIA edisi 4/1994

Berikan tanggapan