Kita dan Kecerdasan Buatan:
Bijak Menyikapi AI

Salah satu tren di bidang teknologi informasi akhir-akhir ini adalah artificial intelligence, atau kecerdasan buatan. Perusahaan-perusahaan teknologi besar dunia seakan-akan berlomba-lomba menawarkan “teman virtual” itu kepada kita sebagai pengguna, seperti Gemini di Google, Grok di Twitter, dan yang paling baru, Meta AI di WhatsApp—aplikasi komunikasi yang paling banyak digunakan di Indonesia.[i] Kesemuanya ditawarkan begitu dekat dengan kita, yakni di telapak tangan kita masing-masing, alias di ponsel cerdas yang kita gunakan sehari-hari. Pada beberapa mesin AI, interaksi yang ditawarkan pun bukan hanya melalui teks, melainkan bisa menggunakan suara, sehingga kita merasa seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Ke depannya, dengan setelan AI sebagai “mesin pembelajar,” batasan antara kecerdasan alami dengan kecerdasan buatan bisa menjadi semakin samar. Lantas, bagaimana kita sebagai murid Kristus harus bersikap terhadap fenomena dan tren AI ini?

Sebagai orang percaya, kita juga perlu mengandalkan hikmat Ilahi dalam menyikapi AI—sebagaimana menyikapi produk teknologi lainnya. Beberapa pertanyaan bisa kita lemparkan sebagai bahan perenungan, seperti: “Seberapa jauh kita bisa memanfatkan teknologi AI di dalam pelayanan?” “Apa saja batasan moral-etis dalam pemanfaatan teknologi AI di dalam kehidupan?” “Bagaimana para pemimpin umat maupun orang tua membimbing anak-anak hingga kaum muda untuk bijak dalam memanfaatkan teknologi AI?” dan sebagainya.

Mengembangkan sikap skeptis

Alkitab sebagai referensi dasar umat Tuhan dalam bersikap memang tidak secara khusus membahas mengenai kecerdasan buatan, namun sebagai penuntun utama dalam kehidupan orang percaya, ada prinsip-prinsip umum dan juga teladan yang dapat kita terapkan terkait penggunaan kecerdasan buatan. Pertama, kita bisa mengambil teladan dari jemaat di Berea, yang tidak sekadar mendengarkan perkataan Paulus dan Silas, melainkan juga melakukan “cross check” atau pemeriksaan silang dengan kitab suci,

“Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.” –Kisah Para Rasul 17:11

Dari kisah-kisah mesin kecerdasan buatan yang “mengarang jawaban” sehingga merugikan mereka yang percaya begitu saja dengan jawaban yang disajikan[ii], kita perlu meneladani “curiosity”  atau rasa ingin tahu jemaat Berea, yang tak segan-segan mencocokkan perkataan Paulus dan Silas dengan kitab suci. Dalam hal ini, mesin pencari seperti Google, Bing, dan sebagainya masih relevan, terutama terkait data (angka, judul buku, kisah sejarah, kutipan, dan sejenisnya). Mengingat teknologi tak pernah hadir di ruang hampa, melainkan merupakan buah karya dan pemikiran penciptanya, serta disebarluaskan dengan kepentingan-kepentingan industri yang melekat padanya, kita sebagai pengguna sangat perlu mengembangkan sikap skeptis serta rasa ingin tahu yang besar.

Tak ada yang baru di bawah matahari

Prinsip penting yang bisa kita ambil dari Pengkhotbah, adalah kesadaran, bahwa “tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pengkhotbah 1:9). Tentu ini bukan berarti pada zaman dahulu sudah pernah ada teknologi kecerdasan buatan, melainkan bahwa hasrat manusia untuk berkembang dan menghasilkan alat-alat untuk memudahkannya dalam menjalani kehidupan senantiasa ada di setiap zaman. Ada ungkapan dari tradisi Jawa yang menyatakan, “Ojo gumunan, ojo kagetan,” yang artinya kira-kira mengingatkan semua orang untuk tidak mudah heran dan tercengang dengan hal-hal yang tampaknya baru. Kita perlu sejenak mengambil jarak untuk mengamati dan memahami fenomena di depan kita, serta mencari tahu kehendak Tuhan tentang bagaimana menyikapinya, batasan apa yang harus ditarik, dan sebagainya.

Berikutnya, kita perlu mengambil prinsip kewaspadaan dan kehati-hatian sehingga tak mudah jatuh ke dalam falsafah atau ideologi yang tidak alkitabiah. Teknologi memang netral, dan meski ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia ketika dipergunakan secara tepat, namun keberdosaan manusia dapat membuatnya menjadi alat untuk melakukan kejahatan. Itu sebabnya, orang percaya tak boleh gegabah bahkan bersikap pongah dalam memanfaatkan kecerdasan buatan. “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” demikian peringatan keras rasul Paulus (lih. 1 Korintus 10:12).

Untuk kemuliaan Allah

Kita juga perlu senantiasa mengingat, bahwa kita harus melakukan semua hal dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan untuk kemuliaan Allah, bahkan untuk hal-hal yang tampak remeh seperti makan dan minum (band. Kolose 3:23, 1 Korintus 10:31). Seiring dengan “gempuran” berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh mesin-mesin kecerdasan buatan, kita harus makin waspada agar tidak terseret ke dalam arus pemanfaatan teknologi untuk memuaskan hasrat pribadi yang tidak memuliakan Allah (mis. Memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menjawab soal ujian atau membuatkan tugas esai, presentasi, dan sebagainya).

Jika sudah demikian, maka kita dapat menjadi umat Allah yang bukan sekadar memanfaatkan teknologi—termasuk kecerdasan buatan—dengan seadanya, melainkan terus mengasah kemampuan kita, sehingga kita dapat menggunakannya dengan terampil untuk kemuliaan Allah, sama seperti seruan pemazmur:

Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik dengan sorak-sorai! –Mazmur 33:3


[i] https://rri.co.id/lain-lain/812616/whatsapp-juara-media-sosial-indonesia

[ii] https://majalahdia.net/fokus/mewaspadai-ai/

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *