Pemisahan antara spiritualitas dan aktivitas seakan-akan mendapatkan pengesahannya dalam Lukas 10: 38-42. Marta dilambangkan sebagai seorang perempuan yang memiliki aktivitas tanpa spiritualitas. Sedangkan Maria dilambangkan sebagai seorang perempuan yang memiliki spiritualitas karena dia duduk di dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan Tuhan (ayat 39). Apakah yang dimaksudkan dengan spiritualitas dan aktivitas dalam Injil Lukas itu? Marta menerima Yesus dan murid-murid-Nya serta menjamu mereka di rumahnya—suatu tradisi Yahudi yang menunjukkan rasa gembira seorang perempuan dapat menerima dan menjamu tamu-tamu terhormat. Marta hanya memahamiYesus sebatas itu, sedangkan melalui diri Maria yang duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, Injil Lukas berusaha menampakkan Yesus sebagai Tuhan yang bersabda. Di hadapan Tuhan yang bersabda, manusia perlu mendengarkanNya di dekat kaki Tuhan.
Demi dihormati oleh para tamu terhormat, Marta mendekati Yesus sembari berkata: “Tuhan, tidaklah Engkau peduli, bahwa saudariku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku” (ayat 40). Marta amat menonjolkan aktivitasnya di depan para tamu. Dasar dan tujuan dari aktivitas Marta adalah pencarian pujian dari para tamu, bahwa Marta sedang sibuk.
Jawaban Tuhan terhadap kepentingan Marta justru langsung membidik kepada hakikat dari aktivitasnya, yaitu kekuatiran Marta. Kekuatiran yang bersumber dari ketidak bermaknaan hidup justru mengarah kepada penyusahan diri dengan banyak perkara (ayat 41). Menurut Tuhan, hakikat dan dasar yang terbaik bukannya kekuatiran atas ketidakbermaknaan hidup, tetapi justru bertemu dengan hakikat dan dasar hidup yang terbaik, yaitu mendengar dan berhadapan dengan Sabda Tuhan. Inilah yang tidak dapat diambil dari manusia. Inilah spiritualitas Kristiani, yaitu menjalin relasi: dengar-dengaran dengan Yesus atau Sang Sabda. Jadi, tidak ada pemisahan antara spiritualitas dengan aktivitas. Spiritualitas Kristiani berbeda dengan spiritualitas yang bersumber dari hakikat dan dasar yang palsu, misalnya kekuatiran dan pencarian pujian yang sia-sia.
Spiritualitas yang bersumber dari relasi dengan Yesus akan menggerakkan manusia untuk melakukan latihan rohani (berpuasa, berdoa, berhening rasa, berhening kata) karena merindukan Tuhan yang menjadi sumber kegembiraan. Di dalam hal ini, manusia beriman akan berhadapan dengan panggilan kehidupan yang menentukan pilihan. Paulus beraktivitas sebagai rasul bagi kaum non-Yahudi. Aktivitas Paulus melayani Tuhan di antara kaum non-Yahudi semakin memperteguh spiritualitasnya, sehingga dia berani berkata bahwa, “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
Manusia yang belum berjumpa dengan Sang Sabda dan belum mengambil keputusan untuk mengabdikan hidupnya bagi Allah dalam tindakan/aktivitas di antara dan bagi sesama akan bertemu dengan aktivitas yang tanpa makna, sehingga terasa membosankan dan melelahkan. Aktivitas yang dilakukannya akan menuntut pondasi kehidupan yang tepat.
Tanpa pondasi yang tepat, maka aktivitas tersebut terasa berat/membebani diri dan mempermiskin jiwa serta menguras spiritualitas. Kondisi seperti ini dapat menjurus kepada penyimpangan kehidupan, seperti mencari puji-pujian yang sia-sia, pencarian figur-figur hebat yang diidolakan, menyembah berhala seperti korupsi, penyimpangan seksual, banyak bicara tanpa makna, kesepian yang sengaja dihindari, ketakutan mengakui dosa dan kelemahan, berusaha secara keras untuk mempertahankan nama baik, iri hati, penyebar fitnah. Itu semua merupakan bukti bahwa segala aktivitasnya belum mendapatkan pondasi yang tepat dan bermartabat.
Aktivitas-aktivitas yang mendapatkan pondasi yang tepat akan membuahkan ketekunan, kesetiaan, kerendahan hati, kesukacitaan untuk memperdalam keahlian dan keterampilan agar lebih dapat mengabdikan diri kepada sesama, jiwa yang tersenyum dan siap menghadapi tantangan, berani menghadapi kesepian dan mempersembahkan kesepian itu kepada Tuhan, kesediaan untuk minta ampun kepada Tuhan dan sesama, serta berani menghindari pujian manusia.
Aktivitas yang bersumber dari pondasi yang tepat bukan merupakan suatu komitmen saja, tetapi lebih tepat merupakan kesadaran untuk mempersembahkan yang terindah dan termulia dari milik kita kepada Tuhan dan menjalaninya dengan hati yang mengabdi dan mengasihi Tuhan dan sesama. Hasilnya, Roh Kudus akan mendampingi dan menguduskan kita di dalam aktivitas dan pekerjaan serta perdamaian dengan kehidupan kita yang lama.
Bagaimanakah kita memahami Indonesia sebagai suatu negeri yang penuh aktivitas dan penuh dengan kesibukan, penuh dengan pidato, penuh dengan khotbah, penuh dengan doa-doa, penuh dengan pengucapan ayat-ayat suci, penuh dengan agama dan aktivitasnya? Pemahaman terhadap Indonesia sebagai suatu negara seperti itu mendorong bentuk spiritualitas yang tidak hanya berorientasi secara individual, tetapi juga melahirkan spiritualitas yang mendorong terbentuknya komunitas beriman yang tidak tertutup dan siap sedia untuk berkerja sama dengan orang-orang atau komunitas-komunitas yang berkehendak baik dan menegakkan martabat manusia.
——-
*Dituliskan oleh Gunarto, Ungaran dosen pada STT Abdiel,
**Diterbikan dalam majalah Dia edisi I tahun 2012