Drs. Wilson Nadeak:
Menulis Sebagai Profesi

Drs. Wilson Nadeak, penulis yang sudah menulis di hampir seluruh surat Indonesia dan menerbitkan beberapa buku, yang antara lain buku ‘Bagaimana Menulis Artikel Kristiani yang Sukses’ dan ‘Menikah Itu Gampang’. Dilahirkan 53 tuhun lalu (5 Des. 1942) di porsea, Tapanuli Utara. Topik tulisan yang diminatinya antara lain masalah sosial, agama, kebudayaan dan keluarga. 

 Bapak dari dua putera dan puteri ini merupakan pemimpin penerbitan Advent selama 23 tahun, pemimpin Penerbit Bina Cipta dan wakil Direktur penerbit Eresco, Bandung. Sekarang, selain menulis, bapak yang bergereja di Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh ini juga menjadi dosen Fakultas Sastra Universitas padjajaran sejak 1989.

Apa pendapat bapak yang bermotto ‘hidup untuk melayani, bukan untuk dilayani’ mengenai profesi menulis? Apa ukuran keberhasilan seorang penulis? Kendala apa yang dihadapi seorang yang ingin menulis. Bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kristiani dalam tulisan sekuler. Melalui wawancara tertulis. Wilson Nadreak menjawab permasalahan di atas.

Belakangan ini dunia penerbitan semakin semarak. penerbitan surat kabar, majatah dan buku secara kualitatif dari segi fisik semakin canggih. Untuk mengantisipasi kemajuan ini diperlukan penulis yang menjadikan dunia tulis menulis sebagai profesi. Apa pendapat anda tentang profesi penulis ini?

Profesi? Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu Zain, kata profesi (latin) berarti: pekerjaan yang daripadanya didapat nafkah untuk hidup; pekerjaan yang dikuasai karena pendidikan keahlian,. Dari pengertian ini kita dapat memahami bahwa profesi selaku penulis menuntut seseorang belajar mencari nafkah dari manulis. Dunia tulis-menulis  digelutinya bukan sekedar hobi, bukan sekedar pengisi wakru senggang, melainkan sebagai suatu bidang pekerjaan yang memberi penghasilan. Penulis dapat mencukupi nafkahnya dari tulisannya yang diterbitkan melalui media cetak. Oleh karena itu, orang yang mengandalkan diri pada kemampuan menulis sebagai sumber nafkah, ia harus menguasai sesuatu bidang, memiliki keahlian berdasarkan pendidikan. Kata pendidikan di sini tentulah mengandung makna yang formal maupun informal. Seseorang penulis harus memiliki ilmu yang akan ditulis atau disampaikan kemudian mendidik atau memperoleh pendidikan di bidang tulis menulis (kebanyakan pendidikan informal).

Jadi orang yang menjadikan dunia tulis-menulis sebagai profesi harus belajar seumur hidup. Belajar mengamati, meneliti (investigasi), membuat survai dan sebagainya agar terus menerus memiliki stamina dan mampu mengantisipasi sesuatu yang dituangkan dalam tulisan. Dengan demikian penulisan itu menjadi profesional di bidang tertentu yang dipilihnya.

Bila dilihat dari segu kuantitas, kualitas dan jenis tulisan, apa ukuran keberhasilan seorang penulis?

Dari segi kuantitas, seorang penulis harus terus menulis, barulah ia dapat disebut penulis profesional. Kalau ia hanya menulis satu-dua artikel, puisi, cerpen, esai, atau barangkali kotbahnya disebarkan lewat media massa, ia belum dapat disebut penulis. ‘Tulisan harus  banyak, sehingga memungkinkan ia mendapat imbalan yang menunjang hidupnya.

Dari segi kuantitas, seorang penulis harus mampu mempertahankan mutu tulisan, dapat dipertanggungjawabkan dari segi keahliannya! Itu sebabnya saat ini setiap penulis menuliskan bidang yang digeluti dan catatan keahliannya dengan mencantumkan informasi di  khir tulisan ‘penulis adalah pengamat masalah ekonomi, budaya, politik dan sebagainya’. Informasi ini mengacu pada sejumlah keahlian yang terdapat di benak penulis, yang menjadi bahan pertimbangan mutu. Misalnya ada orang yang menulis tentang angkasa luar, padahal ia tidak memiliki ilmu atau keahlian di bidang ini, bagaimana rulisan itu bisa meyakinkan pembacanya? Agak sulit bagi seorang penulis menulis sesuatu di bidang yang kurang dipahaminya. Tentu saja ia tidak akan berhasil membuat tulisan yang demikian karena ia sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang angkasa luar. Ia tidak memiliki motivasi yang cukup dan kuat untuk menuliskannya dengan berhasil.

Tentang jenis tulisan. Seorang penulis yang profesional harus memiliki gaya tersendiri. Melalui latihan yang terus-menerus ia akan menemukan diri sendiri, menemukan cara menulis yang khas. Inilah yang disebut gaya. Gaya menyangkut kemahiran mengungkapkan gagasan dengan alat bahasa, pilihan kata dan cara memandang sesuatu masalah. Seorang meniru seorang penulis yang dikaguminya., gaya sendiri, dapat melepaskan diri dari bayang-bayang orang yang dikaguminya.

Dapat dikatakan, seorang penulis yang berhasil ialah penulis yang terus menerus menulis dan karangannya dibaca orang karena ada ‘sesuatu’ di dalamnya. Penulis itu mampu menyajikan gagasannya dalam bentuk yang pas untuk itu, misalnya gagasan yang cocok diungkapkan untuk artikel, yang cocok untuk esai, ya ditulis dalam bentuk esai, pas untuk puisi ditulis dalam bentuk puisi, begitu seterusnya! Tetapi apakah seorang penulis harus mampi dalam segala bidang? Tentu saja ada yang begitu, tetapi kebanyakan tidak. Karena itu, seseorang harus berusaha menemukan bentuk yang pas bagi dirinya. Penulis yang profesional tidak harus menjadi pengarang kreatif. Kadang-kadang harus dibedakan antara pengarang dan penulis.

Nah, keberhasilan dapat diukur dari segi-segi yang telah disebutkan di atas.

Adakah bakat menjadi pertimbangan utama?

Bagi seorang penulis profesional, pada mulanya adalah kegigihan yang dijadikan pecut justru menjadi alat keberhasilan. Kalau kita ingin menulis, jangan takut gagal, jangan takut dicemooh, jangan putus asa karena naskah berulang-ulang dikembalikan. Itu bukan berarti kita tidak berbakat menulis. Seperti kata pepatah ‘ala bisa karna biasa’, begitu pula dalam dunia kepenulisan. Kalahkan racun kegagalan yang menyengat itu dengan kegigihan. Kata orang, bakat itu hanya 5%, selebihnya adalah usaha dan kegigihan kita!

Mengapa generasi muda kini kurang berminat berprofesi sebagai penulis?

Benarkah? Minat sih pasti banyak. Cuma yang tahan uji hanya sedikit. Apalagi yang memiliki stamina, amat kurang. Ikwal kurang berminat ini masih harus diteliti lebih lanjut Generasi muda sekrang memiliki kecenderungan ingin cepat-cepat memperoleh sesuatu dan  menikmatinya. Maunya yang gampang-gampang saja. Ingin menjadi pengusaha, maunya langsung menjadi konglomerat, mau menjadi penulis ya inginnya jadi penulis tenar dalam seketika, atau mendapat uang yang banyak.

Lihatlah contoh kursus tulis menulis.  Pada pertemuan pertama banyak yang datang, pada pertemuan kedua mulai berkurang dan sebagainya. Mengapa? Karena dunia kepenulisan menuntut kemandirian, motivasi yang kuat dan dedikasi yang tinggo. Tentu saja dedikasi ini harus dibalut ilmu yang tinggi. Tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga gagasan yang menarik, visi yang tajam dan naluri yang peka, diasah dari waktu ke waktu. Itulah keadaannya, kalau mau disebut kendala. Sebenarnya letaknya ada pada kemauan! Kemauan yang tangguh dan tahan uji. Dalam dunia tulis menulis sikap main-main dan sok hebat dari mudah terlihat, pembaca kita dewasa ini amat kritis dan selektif.

Selain ingin memperoleh ombalan, apakah ada tujuann lain?

Honorarium penting. Semua orang tahu itu. Tetapi seorang penulis profesional tidak meletakkan uang pada posisi segala-galanya. Uang adalah soal kedua. Yang pertama ialah gagasan atau ide yang hendak disampaikan. Seorang pengarang yang baik akan merasa puas apabila tulisannya diterbitkan. Ada perasaan puas tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan materi. Berarti buah pikirannya dihargai. Itulah tujuan yang sebenarnya.

Bagaimana beda penulis yang mencari keuntungan dengan penulis yang mementingkan tujuan tertentu?

 Sebenarnya kedua-duanya tidak harus dibeda-bedakan. Semua penulis ingin beroleh untung dari tulisannya, baik materi maupun batiniah. Penulis yang mengejar keuntungan melulu umumnya akan cepat mati mati inspirasi, karena memaksa-maksakan diri. Setiap kali menulis, yang terbayang adalah lembaran uang, uang saja. Akhirnya daya bayangnya hilang dan stamina kepenulisan merosot.

Sedangkan penulis yang memiliki ide dan gagasan segar selalu termotivasi oleh sesuatu yang menarik dan perlu disampaikan kepada khalayak. Mungkin sebagai penyambung nurani rakyat, yang ingin ada perbaikan hidup. Barangkali, dalam pengertian yang lebih mudah ditangkap, ucapan yang dikatakan Yesus Kristus bahwa kita ‘tidak hidup dari roti saja’. Orang yang mengikuti Yesus hanya karena roti saja, setelah ia lapar dan tidak diberi makan, ia segera menghilang. Kira-kira begitulah!

Bagaimana merangsang penulis muda? Kendala apa yang dihadapi mereka?

Tentu dengan memotivasi mereka, bukan dengan memberikan ‘narkotika’. Maksud saya dengan kata narkotika ialah impian-impian yang muluk-muluk, misalnya bahwa dengan menulis kita cepat kaya, terkenal dan sebagainya. Motivasilah mereka supaya menjadi pemikir, ajaklah mereka membaca buku yang bermutu, ajarlah mereka bagaimana berpikir kreatif atau ilmiah populer. Dengan latihan yang terus menerus keterampilan akan dikuasai. Sayangnyam terlalu banyak penulis muda yang mati putik karena motivasi yang kurang kuat. Memang diperlukan dorongan yang kuat dari dalam diri sendiri.

Dewasa ini banyak media masa yang amat memerlukan tulisan, bukankah ini merupakan lahan yang untuk melarikan diri dalam dunia penulisan? Kendala paling menonjolkan ialah kurangnya daya baca. Sebelum seseorang menjadi penulis, ia harus lebih dahulu menjadi pembaca yang tekun. Membaca buku sebanyak-banyaknya. Jadi pecandu bukulah! Sangat diperlukan budaya membaca yang tinggi sebelum menjadi penulis andal!

Kita banyak ide dan gagasan, tapi sulit merealisasikannya dalam bentuk tulisan. Mengapa?

Nah, ini soal inti. Ide dan gagasan harus diikuti dengan metode observasi, investigasi dan survai yang telah kita katakan tadi. Bila membaca sebuah tulisan lalu medapat ide baru, segera tuliskan ide itu, susun kerangkanya, baca buku atau tulisan yang berkaitan dengan itu dan olah dengan gagasan Anda sendiri. Ada tesis lalu Anda memiliki antitesis, garaplah itu. Anda toh tidak selalu mengekor pada pendapat orang lain, Anda memiliki pendapat sendiri. Nah, argumentasinya Anda cukuplah didukung oleh pengamatan dan penelitian Anda.

Proses penulisan sesuatu adalah sebuah proses berpikir pula sehingga argumentasinya yang logis akan mengalir dengan lancar. Proses ini tidak tercipta dalam sekali tulis saja. Daya nalar dan argumentasinya harus seiring, jelas, bening dan jernih, sederhana dan mudah dipahami.

Sedangkan bila menulis naskah yang faktual (berdasarkan fakta) dilakukan melalui penulisan ulang, koreksi dan penulisan kembali. Simtematika tulisan harus dikuasai dengan baik.

 

Bagaimana kiat Anda mengatasi kendala dalam dunia penulisan?

Kadang-kadang saya lupa cara menulis yang baik. Pada saat seperti ini, saya mencari buku cara menulis yang baik. Buku teknik mengarang, teknik menulis, dari waktu ke waktu saya beli, baca dan pelajari, untuk mencari cara yang lebih segar dan aktual. Dalam menulis (sudah kurang lebih 36 tahun), saya belajar menulis dari penulis dunia dan penulis lokal, sekaligus menimba inspirasi dari pergaulan hidup. Selain itu, saya juga belajar membaca buku dari pelbagai disiplin ilmu, mulai dari buku tentang psikologi, sejarah, politik, kebudayaan, agama, tentang bahasa, sogiologi, manajemen dan sebagainya. Tanpa itu, saya tidak mungkin menulis terus-menerus. Bagi saya, ilmu pengetahuan itu amat penting. Berdialog dengan tokoh-tokoh dunia melalui buku-buku mereka amat penting.

Bagaimana memasukkan nilai-nilai kristiani dalam tulis-menulis sekuler?

Nah, disini pokok kelemahan penulis kristiani. Seharusnya kita tidak perlu ‘memasukkan nilai-nilai kristiani’ kedalam tulisan sekunder, dunia tulis menulis amat netral. Seorang penulis Kristen harus menghayati filsafat kehidupannya, haruslah ia menulis. Melalui penghayatan yang intens, pertemuannya dengan Kristus yang telah menjelma menjadi manusia dan menjadi juruselamatnya, itulah yang diungkapkannya melalui tulisannya. Dalam dunia penulisan kreatif, seorang pengarang dari Afrika, yang menulis buku berjudul Ratapan Tanah Air (BPK Gunung Mulia, Jakarta), menulis sesuatu yang amat mengesankan tanpa menyebut-nyebut teologia kristiani. Penulisnya menghayati kehidupan rohani kristiani lewat tokoh-tokohnya dalam lenggang keseharian yang kristiani. Begitu pula dalam bentuk tulisan essai/artikel, penulis kristiani  sebaiknya menulis hal-hal yang positif dari sudut pandang kristiani tanpa menyebut-nyebut istilah kristiani. Untuk menyacapai kebenaran yang hakiki tidak harus membawa-bawa kamus kristiani, bukan? Dengan membaca tulisan itu, orang mampu melihat apa yang tersirat dari yang tersurat. Terlalu banyak tulisan yang diterbitkan penerbit Kristen yang berbau preachy alias mengkhotbahi. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat membedakan fisik/ruang lingkup ‘mimbar gereja’ dengan ‘mimbar publik’ yang pluralistik,

Sejak kecil saya sudah menulis. Kurang lebih 10 tahun menulis di surat-surat kabar dan majalah, tetapi tidak pernah mendapat imbalan satu sen pun. Tetapi ko,t saya tidak jera-jera. Itulah sebabnya, pada mulanya saya tidak pernah berharap memperoleh uang atau penghasilan dari dunia penulisan. Saya menulis karena motivasi menulis saja. Ecekeceknya, menulis untuk menulislah! Lalu saya beranggapan bidang ini bukanlah sumber penghasilan. Saya bekerja di bidang penerbitan puluhan tahun lalu mendapat gaji setiap bulan sebagai karyawan sekaligus saya terus menulis sebagai editor dan pengarang, dua dunia yang sebenarnya berbeda, tapi bisa juga saling mengisi. Kadang-kadang menulis karena tugas harus menulis – sebagai editor yang kekurangan bahan untuk diterbitkan dan juga kadang-kadang menerjemahkan karena kebutuhan yang amat mendesak itu.

Oleh karena itu, di Indonesia, menulis sebagai penulis tok yang mengandalkan hidup matinya dari bidang itu, r:rsanya belum memungkinkan. Tapi jika Anda berani dan mampu menulis 10 tulisan yang dimuat setiap bulan di pelbagai surat kabar, maka penghasilan Anda berkisar Rp. 800 ribu per bulan. Lumayan, bukan?

Prospek penulisan di Indonesia pada masa mendatang, bagaimana Pak?

 

Tentu cerah! Biar penerbitan yang satu mati, yang lain akan muncul dan Anda tidak kekurangan lahan. Sebagai orang Kristen kita harus senantiasa optimis, apalagi ada motivasi yang kuat untuk menyampaikan ‘kabar baik’ untuk semua fuangsa. Bukankah itu lebih mengesankan daripada uang atau materi?

Saran Bapak bagi pembaca?

Cobalah menulis! Dengan menulis terus Anda pasti akan menjadi penulis. Kalau penulis  majiner memang banyak. Kalau hanya senang pengetahuan tentang penulisan, itu belum berarti apa-apa. Tapi jangan lupa, langkah awal penulisan ialah membaca dengan tekun. Hanya orang yang keranjingan membaca yang mampu menulis, tetapi itu bukan berarti yang banyak membaca otomatis menjadi penulis. Melatih diri, percaya diri, memiliki motivasi tinggi, justru itulah yang sangat berperan dan menentukan.

Dengan membicarakan soal kepenulisan saja, seseorang tidak akan menjadi penulis. Umumnya penulis bekerja dengan diam-diam. Kalau ia banyak gembar-gembor, daya tulisnya akan berkurang, karena sebagian imajinasinya telah buyar dalam rasa puas secara lisan.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *