Daniel Puspo Wardojo:
Menjadi Ayah yang Berhati Bapa

Ketika akan menikah, ada keraguan dalam diri saya. Apakah saya bisa menjadi suami dan ayah yang baik bagi anak-anak saya kelak? Kecemasan itu wajar karena saya sendiri tidak memiliki figur seorang ayah yang “hadir” selama hidup saya. Ketika saya masih di dalam kandungan ibu saya, ayah saya pergi meninggalkan kami dan pergi ke kota lain.

Sejak itu, dia tidak pernah kembali ke rumah kami. Dia menikah dan memiliki anak-anak lagi. Kadang-kadang, dia datang berkunjung menemui kami. Namun, pertemuan kami bisa dihitung dengan jari. Boleh dikatakan ayah saya tidak melakukan peran dan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah.

Dampak ketidakhadiran sosok ayah

Ketidakhadiran ayah dalam hidup saya itu mengakibatkan dampak yang tidak sedikit. Karena ayah tidak pernah memberi uang kepada kami, maka terpaksa ibu harus bekerja dengan cara berjualan makanan dari pagi hingga malam hari ke kota lain. Ketika kecil saya dititipkan ke rumah nenek. Hingga suatu saat ibu dapat mengontrak satu rumah kecil.

Seiring waktu, usia saya pun bertambah. Di masa remaja itulah hidup saya makin parah. Tidak ada yang mendidik dan mengarahkan hidup saya. Pendidikan agama yang benar tidak pernah diajarkan kepada saya, kecuali di sekolah. Bahkan, saat itu saya tidak percaya akan keberadaan Allah.

Saya mengalami perasaan kesepian yang parah. Kalau sudah di musim penghujan, perasaan sepi itu makin menekan saya. Rasanya ingin teriak dan “meledak”. Saya juga terlibat dalam berbagai kejahatan bersama salah satu gank yang saya ikuti. Hidup dalam kekerasan. Kalau tiap malam minggu saya bisa mabuk-mabukan sampai dinihari bersama teman-teman saya itu. Ketika pulang saya ketok pintu rumah dan ibu yang membukakan pintu, lalu dia tanya dengan bahasa Jawa “kowe mendhem yo?” (kamu mabuk ya?). Sampai sekarang, kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinga saya.

Dimampukan menjadi ayah oleh anugerah

Pengalaman hidup seperti itu dan ketiadaan teladan seorang suami dan ayah yang baik dalam hidup saya membuat saya tidak cukup memiliki keberanian melangkah dalam pernikahan. Namun karena anugerah dan kasih Tuhan, akhirnya saya memberanikan diri untuk melangkah.

Dan bukan kebetulan pula akhirnya Tuhan mengaruniakan tiga orang anak laki-laki semuanya. Jadi saya berpikir “Tidak punya ayah, dipercaya untuk mendidik para calon ayah” bagaimana bisa? Namun saya bersyukur karena dengan pertolongan Tuhan saya bisa belajar menjadi suami dan ayah dari anak-anak hingga saat ini.

Itu diawali dengan keputusan saya ketika bertobat dan menerima Kristus secara pribadi, tepatnya tanggal 19 Desember 1983 (saat saya naik kelas 3 SMA). Sejak saat itu, hidup saya berubah. Saya memiliki status yang baru yaitu menjadi anak Allah. Itu artinya Allah menjadi Bapa saya (Yohanes 1:12). Itu pertama kali saya merasakan dan menyadari memiliki Bapa yang sejati. Di kala ayah saya meninggalkan saya, Tuhan menyambut saya (Mazmur 27:10).

Sejak saat itu pula saya membangun persekutuan pribadi dengan Bapa saya itu melalui doa dan firman. Melalui itu saya menikmati kasih dan penerimaan, pemeliharaan, perlindungan (rasa aman), dan pimpinan dalam tiap keputusan. Apa yang tidak saya dapatkan dari seorang ayah jasmani saya, dipenuhi oleh Bapa segala bapa itu. Ini menjadi dasar saya yang kokoh dalam menjalani peran dan tanggung jawab saya sebagai seorang ayah. Saya belajar dari Bapa bagaimana seharusnya menjadi seorang ayah yang baik.

Menjadi ayah bukan sekadar urusan materi

Dari pengalaman hidup saya ini saya memahami bahwa seorang laki-laki bisa menjadi seorang ayah biologis bagi anak-anaknya, tapi belum tentu bisa memiliki hati seorang bapa. Peran seorang ayah bagi anak-anaknya sangat penting. Memang menjadi ayah merupakan tanggung jawab yang menakutkan tapi juga paling dibutuhkan. Apalagi pada zaman ini, dimana teknologi informasi sedemikian pesat kemajuannya. Anak-anak seakan-akan sedang diperebutkan hidupnya antara orangtua atau media sosial.

Seorang ayah tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan materi, tapi juga kebutuhan-kebutuhan yang lain juga. Kadang dalam budaya tertentu, pengasuhan dan didikan anak-anak semata-mata menjadi tanggung jawab ibu. Padahal tidaklah demikian. Orangtua anak tersebut bukan hanya ibu tapi juga ayah. Itu artinya ayah dan ibu harus bekerja sama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.

Ada ayah-ayah yang meninggalkan anak-anak mereka secara fisik entah karena perceraian dengan ibu mereka, bekerja di luar kota/negeri yang jarang pulang atau meninggal, namun ada juga ayah-ayah yang secara fisik senantiasa hadir di rumah bersama anak-anak, tapi hatinya berada di tempat yang sangat jauh. Hal ini akan menimbulkan banyak masalah bagi anak-anaknya misalnya memberontak, harga diri rendah, rentan terhadap pengaruh lingkungan yang buruk, persoalan emosi yang buruk, kesepian, kesulitan dalam membuat keputusan, sulit untuk percaya pada Tuhan dan sebagainya.

Menjadi ayah yang berhati bapa

Hal pertama yang harus dilakukan adalah kesadaran bahwa seorang ayah tetaplah manusia berdosa, memiliki segala keterbatasan dan bisa jadi juga memiliki pengalaman relasi yang buruk dengan ayah-ayah mereka sebelumnya. Maka seorang ayah akan dimampukan memiliki hati bapa apabila terhubung senantiasa dengan Sang Bapa yang sejati melalui firman Tuhan dan doa pribadi. Sekaligus seorang ayah juga dapat membicarakan persoalan apapun terkait dengan anak-anak mereka dengan Sang Pemilik hidup anak-anak itu. “Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5).

Selain itu, seorang ayah harus dapat menerima anak-anak mereka apapun keberadaan mereka. Kasih dan penerimaan tak bersyarat. Tidak membanding-bandingkan mereka dengan orang lain. Seorang ayah belajar menerima kegagalan anak-anak mereka dan tidak menuntut di luar kemampuan mereka. Memberi kesempatan mereka belajar dari kegagalan mereka. Apabila mereka tidak merasakan penerimaan yang tak bersyarat ini maka anak-anak akan merasa tidak aman, sulit terbuka hidupnya, takut gagal karena takut mengecewakan ayahnya dan sebagainya.

Sebagaimana Allah Bapa melakukan hal ini pada Yesus (Markus 1:11). Allah Bapa menyatakan Yesus dikasihi dan Bapa berkenan padaNya di saat Yesus belum melakukan pelayanan apapun bahkan belum mati di atas kayu salib tapi Allah sudah mengasihi dan berkenan padaNya. Tentu hal ini tidak mudah, kadang seorang ayah bisa gagal dan berbuat salah, kalau terjadi demikian maka dengan berbesar hati seorang ayah mau untuk minta maaf kepada mereka. Hal ini tidaklah menurunkan wibawa seorang ayah, namun justru memberi ruang anak untuk makin berani berbicara dan dekat ayah mereka karena ayah mereka juga bisa gagal dan ada ruang penerimaan terus menerus bagi mereka.

Mengekspresikan kasih secara terbuka

Hal lain, kebutuhan anak-anak adalah merasakan pelukan, belaian dan ciuman dari ayah mereka. Sampai umur berapapun tidak pernah ada kata usai bagi anak-anak untuk bisa menerima sentuhan fisik dari ayah mereka. Sebelumnya, saya berjuang keras melakukan hal ini karena saya tidak pernah mengalami pelukan, belaian dan ciuman dari ayah saya. Saya ingat ketika ayah mertua saya kalau ketemu saya selalu memeluk dan mencium saya. Hal itu terasa aneh dan asing bagi saya tapi lama-lama saya belajar menerapkan ini pada anak-anak saya. Setiap akan berangkat sekolah, pulang dari sekolah atau bepergian dan menjelang tidur saya akan memeluk dan mencium mereka sampai saat ini. Bahkan anak saya yang bungsu (anak berkebutuhan khusus) senantiasa saya peluk, cium dan saya bisiki kata-kata yang membesarkan hatinya sekaligus doa-doa saya baginya.

Ada satu siswa yang dulunya biasa saja penampilannya ketika dilayani di suatu pelayanan tapi ketika mahasiswa mulai menampakkan keanehan. Dia mulai tertarik dengan teman prianya dan terjalin hubungan sesama jenis, alias gay. Ketika dalam konseling, dia menceritakan bagaimana hubungan dengan ayahnya sebelumnya. Dia tidak pernah mengalami sentuhan fisik dari ayahnya namun justru selalu dituntut untuk hidup seperti yang diinginkan ayahnya.

Selanjutnya seorang ayah perlu menunjukkan rasa cinta pada ibu dari anak-anaknya. Dengan menyatakan hal tersebut maka itu akan membuat anak-anaknya akan merasa aman karena melihat orangtua mereka rukun dan saling mengasihi. Orangtua mereka bersepakat untuk mengasuh dan mendidik mereka dengan baik. Rasa cinta ini perlu ditunjukkan kepada anak-anak, misalnya ayah dan ibu bergandengan tangan bila berjalan, ayah tidak berlaku kasar pada ibu mereka, ayah dan ibu berkomunikasi dengan harmonis dan sebagainya.

Menjadi teladan dalam integritas

Selain itu, seorang ayah juga harus berjuang menunjukkan keteladanan hidup yang mentaati firman Tuhan. Meskipun kadangkala bisa gagal, tapi terus berusaha untuk taat. Misalnya ayah yang rajin membaca Alkitab dan berdoa, beribadah dan sebagainya. Selain itu bagaimana menerapkan hidup yang berintegritas juga penting dilakukan. Hal ini akan membuat anak-anak juga akan belajar hidup untuk taat pada firman Tuhan.

Ketika anak saya yang sulung dan yang nomor dua secara usia sudah memenuhi syarat untuk mengendarai motor, maka saya meminta mereka untuk mencari SIM C lebih dulu dan mengikuti semua prosedurnya dengan benar. Ketika ujian praktek, beberapa kali gagal dan tidak lulus dan harus mengulang lagi minggu depan sampai beberapa kali.

Saya memberi semangat kepada mereka untuk melewati proses ini sampai lulus. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak mau menyuap polisi dan apabila mereka tidak mempunyai SIM C itu, maka mereka tidak akan saya izinkan naik motor. Namun setelah beberapa kali ujian akhirnya mereka dinyatakan lulus dan layak mendapat SIM C. Semakin baik hubungan ayah dengan anak-anaknya akan membuat anak-anak akan mampu bertahan menghadapi pengaruh buruk lingkungan dan belajar mentaati firman Tuhan.


*Penulis adalah Staf Perkantas Purwokerto

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 pemikiran di “Menjadi Ayah yang Berhati Bapa”