Ir. Tadius Gunadi, MCS:
Memimpin dengan Keteladanan

“Indignation and compassion form a powerful combination.
They are indispensible to vision, and therefore to leadership.”
~John Stott~

WALAU Jakarta masih macet dan terjadi banjir di beberapa tempat, kali ini saya, dan juga saya yakin banyak warga ibukota, yang bersyukur Jakarta mempunyai Gubernur dan Wagub yang dinilai telah bekerja keras untuk kesejahteraan warganya. Mereka tidak hanya dinilai punya integritas yang tinggi, tetapi juga sosok pemimpin yang rela mengeluarkan uang pribadinya untuk kepentingan rakyat. Alangkah langkanya pemimpin seperti itu.

Di Alkitab, kita juga menemui seorang pemimpin yang juga sering disebut sebagai pemimpin besar di Israel, khususnya pada masa pendudukan raja Persia, yaitu Nehemia. Dia telah menjadi teladan bagi banyak orang yang mempelajari hidupnya, khususnya dalam hal beban atau kepeduliannya bagi bangsa dan negaranya.

Bayangkan saja, dia sudah hidup nyaman dengan pekerjaan dan posisi yang terhormat: tinggal di istana dan menjadi juru minuman raja Artahsasta di Susan. Sebagai orang sangat dekat dengan sang raja (sebagai juru minuman), Nehemia tentu mendapat gaji atau pemberian yang sangat besar. Namun demikian, pada waktu ia mendengar kondisi bangsa dan negara Israel yang dalam keadaan tercela, ia menjadi susah hati, dan bahkan tidak bisa tidur memikirkannya. Lalu ia mendoakan dan mulai memikirkan apa yang ia dapat lakukan. Ia sosok pemimpin yang tidak NATO (no action, talk only).

Ada banyak hal lain yang bisa kita teladani dari Nehemia, akan tetapi dalam tulisan ini, kita hanya akan mempelajari dari Nehemia pasal 5. Pada bagian ini, Nehemia sedang membangun tembok bersama-sama dengan rakyat Israel yang tersisa di Yerusalem. Mereka masih mengalami kondisi yang memprihatinkan, di bawah pendudukan bangsa asing dan tidak berdaya secara ekonomi sebagai akibat dari tidak terjaminnya keamanan oleh karena tembok kota yang tinggal reruntuhan. Dan seperti biasa, dalam kondisi seperti itu, selalu ada orang-orang culas yang memanfaatkan penderitaan sesamanya untuk memperkaya diri. Kenyataan inilah yang dihadapi warga Yerusalem pada waktu itu.

Perhatian Nehemia terhadap penderitaan sesamanya (ay. 1-13)
Hati Nehemia tertuju kepada bangsa dan negaranya, khususnya terhadap umat yang menderita karena diperas sesama mereka dengan bunga yang sangat tinggi. “Masing-masing kamu telah makan riba dari saudara-saudara kamu” (ay. 7). Terjemahan dalam Bahasa Inggris memakai kata “usury”, yang biasanya dipahami sebagai pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Karena mereka tidak mampu membayar hutang, maka ada yang merelakan tanah mereka diambil, bahkan anak laki-laki atau anak perempuan mereka dijadikan budak, baik di Israel, maupun di negeri-negeri tetangga.

“Maka sangat marahlah aku, ketika kudengar keluhan mereka.” (ay 6). Setelah berpikir masak-masak, maka Nehemia menggugat para pemuka (para bangsawan atau orang kaya) dan para penguasa (pejabat pemerintah). Lalu, ia mengadakan suatu pertemuan dan mengundang semua pemuka, penguasa, serta rakyat. Semacam sidang yang besar. Nehemia kemudian menyadarkan kesalahan para pemuka dan penguasa, serta mengajak mereka untuk menghapuskan semua hutang itu, dan mengembalikan tanah dan anak-anak yang telah jadi budak mereka. Ia sendiri dan saudara-saudaranya serta anak buahnya juga akan menghapus hutang orang (ay. 10). Bahkan, ia mengusahakan untuk menebus anak-anak sesama mereka yang telah dijual sebagai budak di negara tetangga. Ia menyadarkan mereka untuk takut akan Allah: “Tidaklah patut apa yang kamu lakukan itu! Bukankah kamu harus berlaku dengan takut akan Allah kita untuk menghindarkan diri dari cercaan bangsa-bangsa lain, musuh-musuh kita?” (ay. 9).

Sikap yang tidak mencari keuntungan diri (ay. 14-19)
Kita bisa lihat banyak kepala daerah di negara kita yang menjadi kaya raya, padahal mereka baru menjalani satu periode jabatan. Ironisnya, fasilitas publik seperti jalan, jembatan, maupun sekolah di daerah yang mereka pimpin mengalami kerusakan yang cukup parah akibat tak kunjung diperbaiki. Banyak rakyat mereka juga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Karakteristik mereka sangat bertolak belakang dengan Nehemia, seperti tertulis di ayat 14: “Pula sejak aku diangkat sebagai bupati di tanah Yehuda, yakni dari tahun kedua puluh sampai tahun ketiga puluh dua pemerintahan Artahsasta, jadi dua belas tahun lamanya, aku dan saudara-saudaraku tidak pernah mengambil pembagian yang menjadi hak bupati.”

Pejabat-pejabat kita menikmati fasilitas daerah atau negara untuk diri mereka dan saudara-saudara mereka, persis seperti orang-orang yang memimpin Yerusalem sebelum Nehemia. Pada waktu itu, para bupati atau gubernur sebelumnya mengambil pajak dari rakyat sebesar “empat puluh syikal perak sehari untuk bahan makanan dan anggur. Bahkan anak buah mereka merajalela atas rakyat.” Mereka sangat memberatkan beban rakyat.

Akan tetapi, Nehemia memilih sikap berbeda, “Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Allah” (ay. 15). Kita sangat butuh pemimpin yang takut akan Allah seperti Nehemia. Inilah sikap utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, di manapun dan kapanpun.

Dikatakan juga bahwa Nehemia dan semua anak buahnya memulai pekerjaan pembangunan tembok itu. Dan, dikisahkan juga bahwa mereka tidak mendapat ladang. Selain itu, Nehemia juga harus menyediakan makanan untuk lebih dari 150 orang tiap hari, “Yang disediakan sehari atas tanggunganku ialah: seekor lembu, enam ekor kambing domba yang terpilih dan beberapa ekor unggas, dan bermacam-macam anggur dengan berlimpah-limpah setiap sepuluh hari.” Betapa beratnya pengorbanan Nehemia untuk pembangunan tembok Yerusalem itu. Untuk diingat, jamuan makan itu tidak hanya untuk sehari atau seminggu, tetapi untuk 12 tahun. Kenapa Nehemia melakukan itu? Apakah ia tidak berhak menuntut pembagian yang menjadi hak bupati/gubernur? Tentu ia berhak. Namun demikian, ia menuliskan, “Namun, dengan semuanya itu, aku tidak menuntut pembagian yang menjadi hak bupati, karena pekerjaan itu sangat menekan (menjadi beban) rakyat.” (ay. 18). Sungguh indah memiliki pemimpin yang peduli akan kesusahan rakyat. Sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin kita yang tak memiliki empati terhadap rakyat mereka.

Negara kita sangat membutuhkan pemimpin seperti Nehemia, yang peduli dengan penderitaan orang yang dipimpinnya dan tidak mencari keuntungan dari mereka, tetapi justeru mengupayakan kesejahteraan mereka. Kita sangat berharap alumni PMK boleh diberkati Tuhan seperti Nehemia agar pada waktunya, mereka akan menjadi berkat bagi orang lain. Atau, kalaupun tidak diberkati dengan uang atau harta yang banyak, kita berharap alumni PMK bisa jadi pemimpin yang tidak membebani rakyat, yang tidak menggunakan uang rakyat untuk memperkaya diri dan hidup dalam kemewahan.

“The best example of leadership is leadership by example” – Jerry Mcclain

——-
*Penulis: Ir. Tadius Gunadi, MCS (Staf Alumni/Graduate Center Perkantas)
**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi 3 Tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *