Pdt. Yoel M. Indrasmoro:
Menjadi Taruk Bangsa

”Serigala akan tinggal bersama domba
dan macan tutul akan berbaring di samping kambing.”
(Yes. 11:6a)

Demikianlah nubuat sekaligus harapan Yesaya. Itu jugalah harapan sebagian besar masyarakat Indonesia: antarwarga negeri tak saling melenyapkan, namun memandang sebagai sesama.

Semua masalah bangsa ini jika ditelusuri, ujung-ujungnya adalah ketiadaan penghargaan terhadap manusia. Manusia, mengutip Thomas Hobbes, telah menjadi serigala terhadap sesamanya. Dengan kata lain, ada pengingkaran terhadap sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Dalam nubuatnya, Yesaya memperlihatkan adanya perubahan sikap. Yang kuat tidak meniadakan yang lemah. Kiasan yang digunakan unik, dan karena itulah menarik.

Serigala tetap serigala, tak pernah menjadi domba, namun perangainya berubah. Dia tak lagi menyantap domba. Serigala berubah tabiat, tak lagi karnivora. Kaum pemangsa menanggalkan kebiasaan memangsa dan hidup seperti mereka yang tadinya merupakan korban. Bukankah ini harapan sebagian besar masyarakat kita?

Kualitas Sang Pemimpin

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan pekerjaan rumah kita. Tentunya, segenap rakyat Indonesia berhak sekaligus berkewajiban menyelesaikan PR-nya. Tetapi, kunci perubahan terletak dalam diri pemimpin.

Bagaimanapun, perubahan logisnya dimulai dari kepala, sebagaimana anggapan bahwa pembusukan dimulai dari kepala. Karena itulah, perubahan Indonesia harus dimulai dari kepala.

Dan itulah visi Yesaya, yang menjadi nyata jika dan hanya jika seorang pemimpin tampil ke depan. Dia bukan sembarang orang. Inilah kualitas pribadinya: ”Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN….” (Yes. 11:2).

Sang Pemimpin tidak mengikuti kemauannya sendiri. Roh TUHAN menguasainya. Dia menaruh kehendaknya di bawah otoritas Allah. Dia hidup seturut kehendak Allah.

Dia berhikmat sekaligus penuh pengertian. Tak sekadar pintar, melainkan juga punya hati. Masalah terbesar para pemimpin kerap di sini: saking logisnya, acap menyingkirkan nurani. Lebih parah lagi: membodohkan orang lain.

Dia cakap dalam pengambilan keputusan sekaligus melaksanakannya. Banyak orang jago memutuskan, namun tak cakap dalam pelaksanaan. Keputusan akhirnya tinggal keputusan, tanpa realisasi.

Dia mengenal kehendak Allah dan takwa kepada-Nya. Dia tahu kehendak Allah dan menjadikannya sebagai kehendaknya sendiri. Dia menyerahkan dirinya terhisap, terlibat, dan aktif dalam menjalankan kehendak Allah. Dia berbeda dengan golongan pemimpin yang tahu hal baik, namun tidak mengupayakannya!

Selanjutnya, kesenangan sang Pemimpin ialah takut akan Tuhan. Bagi dia, ketaatan bukan paksaan. Menjadi taat merupakan pilihan dalam kehendak bebasnya. Dan, dia memilih untuk menjadi taat.

Dia juga tidak mengadili orang dengan sekilas pandang atau berdasarkan kata orang. Dalam pengambilan keputusan, pemimpin tersebut bertindak tegas terhadap dirinya sendiri. Dia tahu keterbatasannya. Dia tidak terjebak memuaskan nalurinya. Dia menahan diri dari prasangka. Semakin bijak orang, kadang malah tak mampu melihat masalah dengan jernih. Begitu percaya diri, hingga selalu merasa praduganya pasti benar.

Sang Pemimpin juga merasa perlu bertindak cover both side. Dia memerhatikan pertimbangan banyak pihak, termasuk juga pihak-pihak yang berseberangan dengan dirinya. Dia berdiri di atas kepentingan semua pihak.

Dia bertindak adil. Yang salah, dihukum; yang benar, dibela. Dia tidak bertindak berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi. Dasar tindakannya ialah kebenaran dan keadilan.

Digenapi dalam Yesus

Jemaat Kristen perdana percaya bahwa nubuat Yesaya itu digenapi dalam diri Yesus Kristus. Itu pulalah yang dicatat oleh penulis Injil Matius:

“Banyak orang mengikuti Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya. Ia dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia, supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: ’Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan; Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya, dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa. Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang. Dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap.”
(Mat. 12:15b-21)

Ada dua hal yang menarik disimak dari perikop tersebut:

Pertama, Yesus sebagai pemimpin adalah Pribadi yang memaklumkan hukum. Hukum di atas segalanya. Meski Yesus adalah Sang Pencipta Hukum, tetapi Dia tidak hidup di luar hukum.

Dan, inilah persoalan terbesar di Indonesia kini—ketidakpastian hukum. Meski dalam UUD jelas dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan, tetapi yang sering kali terjadi adalah yang berkuasa bertindak di atas hukum.

Kuasa di sini tentu tak terbatas hanya pada jabatan. Uang pun juga punya kuasanya. Bahkan, tukang parkir pun juga punya kuasa. Dan, memang kuasa cenderung korup.

Bahkan, dinyatakan pula oleh Matius, Yesus akan berupaya agar keadilan itu menang. Dengan kata lain, Yesus berupaya untuk mengusahakan keadilan dan kebenaran itu sendiri nyata.

Namun, menarik disimak pula, Yesus sendiri tidak berupaya untuk gembar-gembor. Perhatikan kembali catatan Matius tadi: “Ia tidak akan bertengkar atau berteriak, atau berpidato di jalan-jalan raya” (Mat 12:19, BIMK). Semua dilakukan dengan diam-diam.

Cara yang dipakai Yesus bukanlah dengan bertengkar, berteriak, dan berpidato di jalan-jalan. Meski yang diperjuangkan itu benar, namun Yesus tidak mengambil jalan bertengkar dan berteriak.

Mengapa? Sebab dalam pertengkaran selalu ada yang kalah dan menang. Pertengkaran akan menimbulkan dendam. Berbeda pendapat tentu boleh, bertengkar jangan! Masing-masing pihak yang berdialog akan bersama-sama mencari kebenaran tertinggi. Sedangkan dalam pertengkaran hanyalah siapa menang siapa kalah.

Tak sedikit orang yang mencampuradukkan antara berteriak dan vokal. Tak sedikit pula orang yang menyalahartikan vokal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa vokal berarti “berani mengemukakan pendapat.” Dan, bahayanya adalah salah kaprah mencampuradukkan vokal dengan kerasnya suara. Padahal arti dasar vokal adalah kejelasan dan kejernihan dalam bicara. Bahaya berteriak ialah, orang yang diajak bicara belum-belum sudah sakit hati.

Dan, itu tidak dilakukan oleh Yesus. Dia memang sering menyatakan pendapat yang berbeda, namun itu tidak dilakukan untuk mengalahkan pihak lain. Yang lebih bergaung, Yesus tidak hanya berkata-kata, tetapi bertindak. Tindakannya lebih dari sejuta kata. Dan perbuatan itu sering kali tanpa suara—tanpa iklan.

Itulah kekuatan suatu gerakan. Jika belum-belum sudah gembar-gembor, ya gampang ditumpas. Agaknya cukup beralasan ketika Yesus mengatakan kepada para murid agar mereka jangan bilang siapa-siapa. Mengapa? Agar tidak langsung ditumpas.

Lagi pula, tong kosong nyaring bunyinya. Jika yang diiklankan ternyata ternyata berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan harapan masyarakat, maka kepercayaan pun lenyap. Jika kepercayaan lenyap, maka kepemimpinan pun lenyap.

Menjadi Taruk

Demikianlah kualitas sang Pemimpin, yang menurut Yesaya dikiaskan bagai tunas yang keluar dari tunggul Isai dan taruk yang tumbuh dari pokok yang sama (Yes. 11:1, 10).

Tunas tumbuh ke atas, bersemi menjadi dahan kuat, dan akan menjadi pohon rindang dan berbuah. Taruk tumbuh ke bawah, menjadi akar yang menunjang pohon. Dengan demikian, pohon akan kekar. Itulah kiasan bagi pemimpin yang diharap-harapkan, yang berakar di kalangan masyarakat sekaligus menjadi tempat bernaung. Laju pertumbuhan baik tunas maupun taruk mesti sama. Jika tidak, tumbanglah pohonnya!

Gereja dipanggil juga untuk menjadi tunas dan taruk. Banyak orang senang menjadi tunas, yang kelihatan, terkenal, dan menjadi tempat bernaung. Pertanyaannya: maukah kita menjadi taruk, yang tidak terlihat ketika berkarya?

Menjadi taruk berarti terus bergerak, menerobos kerasnya lapisan bumi, mencari air dan hara. Menjadi taruk berarti pula menyuplai air dan hara bagi pertumbuhan tanaman. Menjadi taruk berarti rela tak terlihat seperti garam dalam masakan.

Berkait dengan Indonesia, menjadi taruk berarti menawarkan nilai-nilai kristiani bagi pertumbuhan bangsa. Reformasi, meski telah berselang 15 tahun, menjadi tak karuan begini karena banyak pemimpin melupakan nilai-nilai kehidupan. Banyak pemimpin yang lebih suka menjadi tunas, dan lupa menjadi taruk.

Setidaknya ada dua tokoh pergerakan yang sering terlupakan: Syahrir dan Tan Malaka. Berkait dengan pergerakan kemerdekaan, orang-orang dan juga buku-buku pelajaran sejarah lebih suka memusatkan diri pada dwitunggal Soekarno-Hatta. Baik Syahrir maupun Tan Malaka adalah dua tokoh yang dipersiapkan seandainya Dwitunggal tidak dapat menjalankan tugasnya memimpin negara. Dan, keduanya mati sebagai tahanan politik. Sejatinya mereka adalah orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai taruk bangsa. Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin kayak begini!

Merdeka!

 

——-

*penulis Pdt. Yoel M. Indrasmoromelayani jemaat di Gereja Kristen Jawa Rawamawngun,

** Diterbikan dalam majalah Dia edisi II tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *