Sekitar 28 abad yang lalu, sebuah kerajaan sedang menikmati kemenangan besar dari rangkaian peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekelilingnya. Hari itu, para tentara pulang dari medan pertempuran. Tentu, ada yang bersedih karena kehilangan rekan atau keluarga di medan laga, namun secara umum, semua rakyat bersuka cita menyambut pulangnya para tentara yang dengan gemilang mengalahkan musuh mereka; dan lebih daripada itu, membuktikan kebesaran Tuhan di antara bangsa-bangsa.
Namun seperti biasa, ada orang-orang yang kebablasan dalam menyambut kesuksesan. Sebagian wanita dari bangsa itu menyambut raja dan para pahlawan dengan tari-tarian dan nyanyian-nyanyian kemenangan. Nyanyian kemenangan yang kemudian membawa perpecahan dan malapetaka. “Saul membunuh beribu-ribu orang,” begitu mereka menyanjung raja mereka, “sedangkan Daud berpuluh-puluh ribu,” sorak mereka bagi panglima muda pembunuh raksasa yang sedang moncer karirnya. Sejenak mereka melupakan, bahwa Tuhanlah yang memberi kemenangan.
Ah, mungkin memang begitulah sifat dasar manusia, yang menilai prestasi hanya dari apa yang dapat dideteksi oleh panca indera. Meski mungkin apa yang mereka nyanyikan itu fakta dan dapat dipertanggungjawabkan secara statistik validitasnya, namun ada yang melampaui realita: Sang Pengada. Mereka lupa, bahwa segala pernak-pernik urusan di dunia haruslah bermuara pada kemuliaan-Nya.
“… jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah,” begitu pesan seorang intelektual Kristen kepada jemaat di sebuah kota besar dengan segala kesibukannya. Allah dimuliakan bahkan di dalam hal-hal yang tampaknya “biasa-biasa saja”, sama seperti pengalaman seorang nabi yang justru mendapati Allah di dalam sepoi angin.
Perpecahan dan malapetaka di bangsa itu takkan pula terjadi seandainya raja mengingat Sang Raja yang berkuasa meninggikan maupun melengserkan. Yang terjadi adalah, raja ini kemudian sibuk dengan narasi politiknya sendiri. Si Daud mulai dilihat sebagai ancaman dan harus dibinasakan, agar tahtanya aman hingga tujuh turunan. Percobaan-percobaan pembunuhan terhadap panglima yang setia itu pun dilakukan. Begitulah penggila kekuasaan, semua cara yang berpotensi memenuhi hasratnya ia benarkan. Moralitas dan etika tak dihiraukan.
Sejak insiden nyanyian kemenangan hari itu, Saul menjadi “pendengki yang berdedikasi” terhadap Daud. Kedengkian tampaknya memang terasa nikmat bagi hati yang dengan Allah tak bergaul erat. Seseorang tidak dapat mengasihi Allah sekaligus membenci saudaranya. Saul mendengki karena ia hanya memikirkan diri sendiri. Ia mulai khawatir dan mencari hal-hal yang dicari oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.
Padahal, bukan si Daud yang menggubah nyanyian kemenangan itu. Di kemudian hari, terbukti bahwa ia bukan tipe orang yang memburu tahta, yakni ketika ia sebenarnya memiliki kesempatan-kesempatan untuk membalas dendam dengan membunuh raja, namun tak diambilnya karena percaya bahwa sekalipun ia telah diurapi sebagai raja beberapa tahun sebelumnya, posisi terhormat itu merupakan pemberian Allah—bukan hak yang sudah sepatutnya ia dapatkan.
Apa yang dialami oleh raja negeri itu dapat pula dialami oleh para pemimpin pada masa kini. “Nyanyian kemenangan” dari orang-orang yang terdengar lebih menghargai prestasi “anak kemarin sore” dapat memicu kedengkian serupa ketika Allah tak diingat sebagaimana adanya Dia: sumber dan muara segala kemuliaan di dunia. Maka, apabila hati menjadi panas dan muka menjadi muram ketika mendengarkan “nyanyian kemenangan”, itu tandanya dosa sudah mengintip di depan pintu. Dosa yang sangat menggoda, namun kita harus berkuasa atasnya. Insiden nyanyian kemenangan itu dapat terjadi kepada siapa saja. Waspadalah!