Di sebuah negeri pada suatu masa, seorang pejabat tinggi di sana sangat dikenal karena kinerjanya yang tanpa cela. Oknum-oknum culas yang hendak menjatuhkannya pun mengakui, bahwa mencari-cari kesalahan yang akan menjatuhkannya akan seperti mencari rumput di tumpukan jerami. Sangat sulit, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Alhasil, karena kualitasnya mumpuni dan integritasnya tak diragukan lagi, tak ada lagi yang bisa digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkannya. Mereka telah begitu rupa menyelidiki pekerjaannya, namun tak membuahkan hasil apa-apa. Tidak ada lagi celah untuk mencegah pejabat tinggi itu untuk berkuasa.
Kecuali satu hal: agamanya.
Selain dikenal bersih, transparan, dan profesional, ia juga adalah seorang yang saleh dan taat dalam beragama. Semua orang tahu itu. Lawan-lawannya juga.
Dalam waktu yang tak begitu lama, dengan berbagai persekongkolan mereka, manusia-manusia jahat itu berhasil menyingkirkan Sang Pejabat Tinggi dengan memanfaatkan isu agama. Sebuah isu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecakapan dalam menjalankan pemerintahan. Mereka memanfaatkan celah dalam hukum di negeri mereka yang rentan digunakan untuk memberangus siapapun yang dianggap menista agama.
Dalam masyarakat yang beragam penduduknya, hukum atau kebijakan atau politik atas dasar agama sudah pasti menguntungkan pemeluk agama mayoritas.
Namun demikian, ada satu hal penting yang mereka lupakan. Mereka abai, bahwa Allah memegang kendali utuh akan sejarah. Wahai!
Hanya sekejap saja Allah membiarkan mereka bertempik-sorak dan bersukaria, merayakan hasil kejahatan mereka. Sebelum tawa mereka terhenti, Yang Mahatinggi melakukan intervensi ilahi. Penjara yang tadinya merupakan tempat paling menakutkan, dibuatNya tak lagi menyeramkan—meski pasti kurang nyaman. Dan, atas pemeliharaan ilahi, seluruh dunia akhirnya mengetahui, bahwa Sang Pejabat Tinggi hanyalah korban konspirasi. Korban persekongkolan manusia-manusia bertopeng kesucian.
Dalam lubuk hati-Nya, Allah mengasihi bangsa-bangsa. Lagipula, bukankah mereka semua ciptaan-Nya? Bahkan bangsa yang telah memperlakukan bangsa pilihan-Nya secara semena-mena sekalipun masih juga dikasihiNya—sampai-sampai mengutus hamba-Nya untuk memberitakan pertobatan di tengah-tengah mereka. Kasih ilahi ini pun sempat tak masuk akal bagi Sang Nabi, hingga melalui “insiden pohon jarak,” Ia bersabda:
“Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”
kondisi terburuk sekalipun tak pernah lepas dari pemeliharaan ilahi
Sepanjang sejarah manusia, Allah memakai orang-orang yang akan menghadirkan kerajaan-Nya melalui perbuatan maupun perkataan, di dalam pemerintahan maupun di jalan-jalan, dengan ikhlas maupun setengah terpaksa. Pemeliharaan-Nya nyata dan sempurna, sekalipun jalan yang dilalui tampaknya penuh mara bahaya.
Namun itulah rute ilahi: jalannya hampir selalu sepi. Karena barangkali, pertobatan sejati tak bisa muncul melalui hegemoni. Sama seperti cinta, yang tak mungkin murni apabila terpaksa.
Demikianlah sepenggal kisah mengenai seorang pejabat tinggi dan seorang nabi. Yang satu memasyhurkan nama dan kuasa-Nya di antara bangsa-bangsa setelah melewati jalan derita, sedangkan yang satu lagi melintasi jalanan kota dan mempertobatkan sebuah bangsa yang telah jauh menyimpang dari padaNya.
Daniel dan Yunus, itulah nama mereka.