Benyamin F. Intan:
Gereja Media Pranata Pembauran Bangsa

Apapun yang terlintas dalam benak Anda, ketika membaca judul di atas? Judul yang kontroversial? Mungkin Anda akan bertanya, kog aneh, masa gereja diharapkan menjadi salah satu sarana atau sebagai media pranata pembauran bangsa. Bukankah dalam kenyataannya gereja justru ingin hadir sebagai gereja dengan corak etnik (suku) tertentu? Nama-nama seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Protestan Maluku (GPM) dan gereja-gereja sukul ain, sudah tidak asing bagi telinga kita. Dengan demikian, tidakkah itu berarti bahwa kehadiran gereja justru akan menghambat proses pembauran bangsa dan bukan sebaliknya berfungsi sebagai media pranata pembauran bangsa?

Kalau begitu, judul tulisan di atas tidak relevan dong, malah kontradiksi dengan kenyataan yang ada. Ya, Anda kritis sekali. Itu tidak salah, tapi juga tidak seratus persen betul. Mengapa? Oleh karena pembentukan gereja-gereja suku harus kita pandang sebagai ‘ketidaksatuan’ sementara. Mengapa? Karena mampu sebagai media pranata pembauran bangsa. Itu dapat kita buktikan melalui kerangka teologis dari kata-kata kunci pemersatu seperti Pengakuan Iman Rasuli. Maka keberadaan ‘ketidaksatuan’ sementara itu-dalam jangka waktu panjang- tidak dapat dipertahankan, tapi malahakan memberikan potensi besar pada gereja untuk berperan sebagai media pranata pembauran bangsa.

Kata “peran” menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan gereja tanpa kompromi. Gereja dihadapkan pada peluang dan kesempatan untuk memanfaatkannya. Itu berarti, kata “peran”akan membawa gereja pada posisi menantang dunia. Sedang kata pergumulan menunjukkan persoalan dan rintangan yang harus dihadapi. ltu berarti kata “pergumulan” akan membawa gereja pada posisi menjawatantangan dunia.

Kedua-duanya, “peran” dan “pergumulan”, menantang dunia dan menjawab tantangan dunia, meliputi apa yang seharusnya (what ouht) dan apa yang ada (what is), antara cita-cita dan realitas. Oleh sebab itu, kita membutuhkan langkah-langkah praktis untuk mendekatkan,bila tidak mungkin mempersatukan, antara keduanya.

Dengan demikian, “Peran dan Pergumulan Gereja sebagai Media pranata Pembauran Bangsa”, yang dimaksud adalah gereja yang konkrit, yaitu gereja-gereja di Indonesia dengan segala kemajemukan sukunya. Gereja-gereja yang ‘dipaksa’ ikut membentuk dan dibentuk oleh konteksnya. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kelemahan dan kekuatannya, keterbatasan dan juga potensi-potensinya, maka gereja diharapkan untuk “berperan” dan “bergumul” menjadi sarana atau media pranata pembauran bangsa.

Arti’Pembauran Bangsa’

Menarik, bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) membedakan istilah pembauran menjadi tiga pengertian. Pertama, pembauran yang berarti percampuran, unsur-unsur asli melebur dan kehilangan identitasnya. Misalnya,. “Ia membaurkan sesendok madu ke dalam segelas susu”. Kedua, unsur-unsurnya nyaris ke-hilangan identitas, tetapi masih nampak secara samar-samar. Misalnya, jangan berbaur dengan orang-orang yang bertabiat buruk. Ketiga, unsur-unsurnya tidak kehilangan identitas, tetapi mengalami suatu penggabungan yang erat. Misalnya, pembauran terjadi ketika ia menikah dengan gadis negeri keju itu. Lalu pengertian yang mana yang mempunyai arti pembauran bangsa?

Sejarah mencatat, bahwa sejak 1961, Pemerintah telah menjabarkan pengertian pembauran bangsa yang dituangkan dalam Piagam Asimilasi, sebagai berikut.

“Dengan asimilasi (pembauran, pen) dimaksudkan proses penyatuan golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan”penyataan-pernyataan kebudayaan yang, berbada-beda menjadi satu kebulatan sosialogis yang harmonis dan bermakna, yaitu dalam hal ini dinamakan bangsa (nation) lndonesia”.

Dengan demikian pembauran bangsa berarti mencita-citakan lahirnya suatu bangsa (nation) Indonesia sebagai satu kebulatan sosiologis yang harmonis dan bermakna, sebagai hasil proses penggabungan golongan-golongan masyarakat lndonesia yang majemuk. Oleh sebab itu, harus kita ingat bahwa yang krusial dalam pembauran bangsa bukan semata-mata dihilangkannya identitas unsur-unsur yang dibaurkan, melainkan disatupadukannya semua unsur dalam satu aspirasi dan perjuangan yang sama, yang hanya rnencita-citakan suatu bangsa Indonesia yang satu padu.

Rasul Paulus yang dikenal sebagai ‘rasul pembauran’, dalam I Korintus 9:19-22, mernberikan definisi yang tepat sekali mengenal istilah pembauran.

Sesungguhnya aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkah orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat. supaya aku daapt memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak  hidup di bawah hukum taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus. supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bahwa hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku sedapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka.

Jelas sekali, bahwa Paulus berupaya berbaur dengan mereka. Paulus rela menyesuaikan diri dengan golongan tertentu, agar dapat berkomunikasi sebaik mungkin dengan mereka. Paulus ingin membina hubungan persahabatan yang baik sekaligus menghindari adanya miss communication antara mereka. Mengapa Paulus mau melakukan hal itu? Paulus rela melakukan, bukan demi pembauran itu sendiri. Ia melakukannya dengan tujuan yang sangat mulia, yaitu. “… supaya aku dapat menyelamatkan mereka” (ayat 22). Itu berarti bahwa pembauran yang Paulus lakukan, bukan untuk kepentingan pribadinya, melainkan untuk kepentingan  banyak orang. Patut kita catat di sini bahwa ketika melakukan pembauran, Paulus tidak kehilangan identitasnya, bahwa ia tetap ‘memiliki identitasnya sebagai orang Kristen Yahudi, “… aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun I aku tidak hidup di luar hukum Allah”.

Masalah’Pembauran Bangsa’

Pada dasarnya, masalah ‘pembauran bangsa’ dapat kita tinjau dari segi etnis dan sosiologis.

Dari segi etnis, meliputi perbedaan suku, agama, ras dan golongan (SARA). Istilah SA-RA sangat disegani di republik ini. Istilah ini cukup angker, bayangan yang muncul ketika membaca atau mendengar istilah ini, ialah: mobil dibakar, rumah hancur, toko musnah, massa mengamuk ganas, nyawa terancam bahkan melayang secara mengerikan. Buat sebagian masyarakat, istilah ini berarti teror.

Dari segi sosiologis, meliputi aspek yang halus dan tidak kelihatan seperti SARA. Aspek : itu adalah sikap tidak peduli/saling tidak mempedulikan. Sikap ini muncul terutama akibat kesenjangan sosial dalam bidang ekonomi, yaitu terjadinya celah pemisah antar si kaya dan si miskin. Si kaya akan semakin kaya dan si miskin akan semakin miskin. Bila dibiarkan, kesenjangan sosial akan berkembang menjadi gejolak sosial yang selanjutnya bermuara pada pergolakan sosial. Kalau itu terjadi, patut dicatat sebagai titik awal bencana nasional.

Kedua segi (etnis dan sosiologis) di atas, berawal dari sikap perseteruan, yakni keinginan untuk membangun telmbok-tembok pemisah dalam hubungan manusia. Hubungan mereka seolah-olah didasari pada apa untungnya bagi saya. Relasi terputus, kini manusia hidup dalam tembok-tembok penjara buatannya.

Realita di atas mengingatkan kita pada peristiwa Babel, awal mula terpecah-belahnya manusia oleh bahasa dan ras. Ketika itu hubungan manusia menjadi kacau-balau dan berantakan takan. Situasi ini sangat kontrakdiktif dengan kisah awal penciptaan manusia. Manusia dicipakan tanpa mengenal ras tertentu. Tidak ada rasa etnosentrisme. Hal serupa, juga terjadi sewaktu Allah memilih dan membentuk Israel. lsrael bukan ras tertentu yang unggul. Israel ada, demi bangsa-bangsa di seluruh bumi (Kej 28:3). Oleh sebab itu, di dalam silsilah Tuhan Yesus, tercatat beberapa nama dari bangsa non- Israel (Mat 1:1-16).

Awal kisah penciptaan menjadi saksi, bahwa sejak semula tak ada diskriminasi etnis, semua manusia sama di hadapan Allah. Mereka adalah ‘debu tanah’. Tapi kemudian, semuanya itu berantakan dalam peristiwa Babel, saat manusia mau menjadi sama seperti Allah. Ironisnya, peristiwa itu berlangsung sekian lama sampai kemudian Kristus datang (mati, bangkit dan naik ke surga), lalu Roh Kudus dicurahkan, yang dikenal sebagai peristiwa Pentakosta (KPR 2). Melalui pencurahan Roh Kudus, manusia yagn tadinya hancur berantakan, kini dipersatukan kembali. Manusia menjadi utuh dalam satu Roh. Bahasa dan ras bukan lagi merupakan penghalang bagi hubungan manusia (J. Verkuyl, Etika Kristen, Ras, Bangsa Gereja dan negara, 1982, hal. 35).

Sejak saat itu, bagi anak Tuhan tak ada lagi pembatas atau penghalang ras, bahasa, dan sebagainya. Kristus menerima segala macam manusia (Mat 28:19-20) serta mempersatukan mereka dalam diri-Nya. Rasul Paulus menyatakan hal itu dengan gamblang dalam Efesus 2:13-74.

Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus, kamu, yang dahulu “jauh’, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan.

Dengan demikian, Kristus tidak hanya menyelamatkan bangsa tertentu atau ras tertentu. Kehadiran-Nya memberi damai sejahtera bagi semua orang. Karya penyelamatan-Nya memberi perdamaian antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia. Persatuan pun terjadi. Pembauran pun terwujud. Sebab Dia, Sang Mesias itu, telah merubuhkan tembok-tembok pemisah, yang berakar pada ‘perseteruan’.

Peran dan Pergumulan Gereja

Sejarah gereja dalam periode tertua menunjuk pada kenyataan bahwa semua jemaat setempat dan ikatan-ikatan gereja sedaerah, memiliki susunan yang intenasial (J. Verkuyl, Runtuhkan Tembok Pemisah, 1974, hal. 95). Itu berarti bahwa jemaat-jemaat di Yerusalem, Antiokhia, Efesus, Filipi, Korintus dan di kota-kota lain, memiliki jemaat dengan mantra (dimensi) multirasial. Kenyataan demikian tidak bisa kita pungkiri. Malahan patut kita catat bahwa salah satu kenyataan yang paling menyolok dari kehidupan gereja-gereja kuno itu ialah bahwa jemaat-jemaatnya menyatukan berbagai ras (J. Verkuyl, Runtuh …., loc.cit.).

Rupanya, gereja purba yang telah ikut membentuk dan dibentuk oleh konteksnya, menyadari bahwa ia adalah gereja yang konkrit, yang terdiri dari manusia-manusia yang konkrit pula, dengan berbagai macam bahasa dan ras. Kesadaran itu akan mengusik “tidurnya”, ia menjadi sadar dan “terpanggil” untuk menyatukan jemaatnya yang multirasial itu. Oleh sebab itu, gereja di Indonesia harus banyak bercermin dari gereja purba, bila ia ingin hadir sebagai media pranata pembauran bangsa.

Gereja harus sadar dimana ia berada, bagaimana ia berhubungan dan berinteraksi dengan sesama gereja, agama lain, kebudayaan, masyarakat dan pemerintah.

Itu berarti gereja di Indonesia harus menjadigereja dari bangsa Indonesia. Ia harus diterima sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia. Bersama dengan masyarakat, ia harus melihat dengan jelas dan menyeluruh prioritas yang sedang dan akan diperjuangkan, digumulkan bangsa Indonesia. Ia harus peka dan serius menanggapi persoalan-persoalan yang selama ini dianggap bukan persoalan gereja, seperti: kemiskinan, lingkungan hidup, pembebasan tanah, kependudukan, serta kebijakan-kebijakan politis yang berkaitan erat dengan tema ‘pembauran bangsa’.

Pada satu pihak, sebagai kenyataan azasi,gereja di Indonesia telah memiliki ‘kata-kata kunci pemersatu’, seperti: Pengakuan lman Rasuli, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Persekutuan Injili Indonesia, dan beberapa lainnya. Masalahnya di sini, bagaimana mengkaitkan ‘kenyataan azasi itu dengan kesatuan dan persatuan bangsa?

Pada pihak lain, gereja di lndonesia masih hidup dalam pola pengembangan bercorak suku tertentu. Harapan kita semoga dengan kenyataan itu, justru akan memperkaya gereja diIndonesia untuk menemukan cara-cara yang bersifat persuasif, kontruktif, dan edukatif, dalam menciptakan komitmen nasional ‘pembauran bangsa’.

Segala kekayaan gereja, baik itu ‘kata-kata kunci pemersatu’ maupun kemajemukan latar belakang suku, harus diselaraskan dengan sistem penataan pergaulan hidup gerejawi yang benar-benar mampu menyandang sifat ke-lndonesia-an. Dengan demikian, pola dan pengembangan sistem penataan pergaulan hidup gerejawi, tidak lagi bercorak suku dan ras tertentu. melainkan semakin mengalami proses glasnost terhadap dimensi integrasial dan fungsional. Konsekuensinya, gereja di Indonesia secara kolektif maupun sendiri, tidak boleh lagi bersifat stereotif negatif, melainkan sebaliknya bersikap aktif, positif, kreatif dan realistis. Terhadap unsur-unsur sosial dan kedaerahan. Semuanya itu dilakukan untuk memperluas serta memperbesar visi dan misi gereja untuk menghadirkan Kerajaan Allah (Wah 21). Sekaligus mewujudkan pernbauran bangsa.

Penutup

Rasul Paulus, dalam Fil 2:5-8, menggambarkan Sang Mesias sebagai contoh yang sempurna.

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama,menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengsongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan -taat sampai mati, bahkan sarnpai mati di kayu salib.

Meskipun Kristus Allah, namun karena cinta kasih-Nya pada manusi a, Ia rela meninggalkan tahta sorga mengosongkan diri .., mengambil rupa seorang hamba…, dan menjadi sama dengan manusia.

Karya Kristus adalah ‘pembauran’ yang sempurna: karena pertama, pembauran yang dilakukan Kristus, dimulai dari status yang lebih tinggi ke status yang lebih rendah. Ordonya dari atas ke bawah. Dari yang termulia kepada yang terhina. Itu berarti, ada pengorbanan, ada harga yang harus dibayar. Kedua, pembauran yang dilakukan Kristus, tidak menghilangkan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Ia tidak pernah mengingkari diri-Nya. Ketiga, pembauran yang dilakukan Kristus, bukan demi pembauran, melainkan dengan satu tujuan yang sangat mulia … menyelamatkan umat manusia. Bagi Kristus, pembauran bukan tujuan, tetapi alat sarana. Keempat, pembauran yang dilakukan Kristus, tidak mengenal batas wilayah, kebudayaan, kesukuan, sosial, dan batas lainnya. Injil Kerajaan Allah diberitakan pada semua orang, semua tempat dan semua bangsa.

Kini… Kristus mempercayakan, memampukan, menyertai, serta menugaskan kita untuk memberitakan dan berbuat hal yang sama seperti yang telah Kristus buat bagi kita. Tugas itu ditujukan kepada sesama kita, bangsa kita tak peduli mereka dari agama, suku, ras dan golongan, yang manapun. Bagaimana jawab kita? Soli Deo Gloria.**

 

*Dituliskan oleh Benyamin F. Intan, dosen Fakulras Teknik UniversitasKristen Petra, Surabaya dan Dewan Pimpinan DaerahPersatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPD )

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *