Anastasia Nancy Waas:
Partisipasi Orang Kristen dalam Pilkada Serentak 2018

Terkait politik, biasanya ada dua sikap ekstrem dari orang Kristen. Yang pertama adalah sikap acuh tak acuh. Sikap ini biasanya muncul karena melihat kondisi politik nasional hingga daerah dimana kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme begitu kuat. “Siapa juga yang ingin mencelupkan diri dalam lubang politik yang kotor? Daripada repot menjaga integritas dalam dunia politik yang munafik, mensejahterakan bangsa melalui bidang lain itu lebih baik.” Pemikiran seperti ini sering menjadi pembenaran ketidakpedulian terhadap politik.

Sementara itu, ada sebagian orang Kristen yang berada pada ekstrem lainnya. Mereka aktif terlibat dalam dunia politik, namun menjadi kompromis dan hanyut terbawa arus politik yang bobrok. Segala macam cara dilakukan demi memperjuangkan kepentingan diri atau kelompok. Alasan “Sudah terlanjur buruk” atau “Politik ya begini” mewarnai pemikiran orang-orang ini.

Sebagaimana dikutip oleh Pdt. Yerry Tawalujan, Peter Merkl, ahli ilmu politik dari Jerman, mengatakan “politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mulia untuk mencapai tatanan yang baik dan berkeadilan”. Politik sebenarnya mulia dan luhur. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Namun, Merkl menambahkan sisi terburuk politik yang dapat dipakai sebagai alat pencapaian ambisi pribadi untuk mendapat kuasa, tahta, dan harta[1]. Pemikiran inilah yang terbukti dalam diri para pejabat dan politisi yang melakukan tindakan korupsi.

 

Orang Kristen dalam Euforia Pilkada 2018

Pandangan yang buruk tentang politik menghasilkan orang Kristen yang enggan terlibat dalam dunia politik. Jangankan masuk untuk meneranginya, untuk mengenal calon-calon kepala dan wakil kepala daerah secara objektif pun enggan. Apalagi ditambah dengan politisasi isu SARA yang memanas. Salah satu contoh terakhir adalah pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017, yang dapat terjadi di daerah-daerah lainnya, mengingat adanya pernyataan dari politikus tertentu yang akan mengulang strategi Pilkada DKI.

Theofransus Litaay (2018) mengutip pernyataan Pdt. Dr. Nico Gara terkait partisipasi politik gereja mengatakan, bahwa gereja tidak boleh terjebak pada salah satu titik ekstrem, baik acuh tak acuh ataupun menjadi serupa dengan partai politik. Dia menambahkan, gereja mesti memberdayakan jemaat untuk berpartisipasi dalam politik demi keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama.[2] Sebagai contoh, pemimpin gereja harus membukakan pentingnya keterlibatan jemaat dalam kesejahteraan bangsa. Jemaat bisa menjadi pemilih yang aktif atau bahkan bisa mencalonkan diri menjadi orang yang dipilih jika memang punya beban dan kapasitas.

Pandangan yang benar terhadap politik dapat mendorong orang Kristen untuk tidak berdiam diri menghadapi Pilkada serentak yang akan segera dimulai 27 Juni mendatang. Ada beberapa alasan mengapa orang Kristen harus terlibat aktif.

Pertama, keterlibatan seluruh orang Kristen dapat mengurangi presentasi pemiliih yang enggan menggunakan hak suaranya atau golput. Tahun 2014, partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif mencapai 75,11%.[3] Tahun ini, angka tersebut diharapkan meningkat. Menurut website resmi Kemendagri, KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada tahun 2018 ini sebesar 77,5%. Kemendagri sendiri telah melakukan langkah-langkah untuk terus meningkatkan partisipasi pemilih. Salah satunya, Pemerintah Daerah diminta menetapkan hari libur pada saat pemungutan suara berlangsung supaya pemilih tidak golput. Jadi, semua masyarakat yang memiliki hak pilih, termasuk orang Kristen, seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk berpartisipasi.

Kedua, orang Kristen harus ikut berperan dan menjadi teladan terwujudnya Pilkada yang damai dan bersih. Salah satu praktik buruk dalam Pilkada adalah kampanye hitam. Politisasi isu SARA, penyebaran berita bohong atau hoaks, dan praktik politik uang atau suap adalah model-model kampanye yang sangat berbahaya. Orang Kristen tidak boleh termakan oleh praktik-praktik semacam ini. Orang Kristen harus menjadi teladan dengan memilih pasangan calon yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan demi pemerintahan yang bersih juga nantinya.

Alasan terakhir dan terutama mengapa orang Kristen harus terlibat dalam Pilkada 2018 adalah karena itulah kehendak Tuhan. Tuhan berfirman dalam Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Dalam kisah ini, bangsa Israel diperintahkan untuk tidak acuh tak acuh terhadap kota tempat mereka dibuang (Babel), juga tidak berkompromi dengan kebobrokan kota, melainkan terjun untuk mensejahterakannya. Pesan ini jelas tidak mendukung kepasifan umat Tuhan dalam bernegara, melainkan mendorong mereka untuk menjadi warga negara yang aktif memikirkan kesejahteraan bangsanya.

Pilkada serentak 27 Juni 2018 mendatang akan diselenggarakan di 171 daerah (17 Provinsi, 115 Kabupaten dan 39 Kota). Mari orang percaya yang tinggal di Provinsi Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan juga di kabupaten ataupun kota lainnya yang akan menyelenggarakan Pilkada, berpartisipasilah dan gunakan hak suara anda untuk Indonesia yang Sejahtera!

 

________________

[1] www.suaraKristen.com

[2] http://www.suaraKristen.com/2018/03/04/gereja-menyambut-Pilkada-2018/

[3] https://news.detik.com/berita/2578828/dibanding-tahun-2009-angka-golput-pemilu-2014-lebih-rendah

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *