Belakangan ini, kita menjumpai pertikaian, kerusuhan, bentrok dan perkelahian antarkelompok, antarormas, antarwarga, antarpelajar, antarsuku, antara aparat dengan masyarakat, bahkan antarlembaga pemerintah (POLRI dengan KPK, pemerintah dengan DPR). Kekerasan demi kekerasan menjadi hantu yang sangat menyeramkan bagi masyakarat yang berakibat kehidupan saat ini jauh dari cita-cita untuk hidup sentosa, adil, dan makmur.
Perjuangan mengedepankan “AKU” lebih besar daripada memperjuangkan “KITA”. Keinginan diri, kepuasan diri, nafsu diri menjadi awal dari perusakan terhadap eksistensi bangsa. Tak ada semangat untuk sama-sama memikul beban dan tanggung jawab demi tujuan bersama. Jauh dari cita-cita yang sudah diperjuangkan para pendiri bangsa ini. Bangsa ini dibangun dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan rakyat melalui kehidupan gotong-royong di kalangan masyarakat. Namun, bagaimana tujuan tersebut dapat terwujud, jika tidak ada semangat kerjasama?
Bangsa ini lahir oleh karena adanya satu kerinduan untuk kehidupan yang aman, tenteram, adil dan sejahtera. Kerinduan ini dapat terwujud jika seluruh rakyat bersama-sama memperjuangkannnya. Bangsa ini tidak dibentuk oleh satu golongan, satu kelompok, satu suku, juga bukan satu kepentingan, satu hasrat, atau satu kehendak, melainkan oleh banyak golongan, banyak kelompok, banyak suku, yang di dalamnya pasti banyak keinginan, banyak cita-cita, dan banyak ambisi.
Akan tetapi, oleh karena ulah beberapa orang demi kepentingan pribadi dan hawa nafsu duniawi, rakyat pun dikorbankan. Jikalau kita telaah, berbagai peristiwa kerusuhan di negeri ini adalah karena ada oknum (baca: orang, pribadi) yang ingin memetik keuntungan dari kejadian-kejadian tersebut, entah berupa kekuasaan, uang, atau jabatan.
Falsafah Jawa rukun agawe sentosa crah agawe bubrah seperti judul tulisan ini mengandung dua makna, yaitu bahwa kerukunan akan menjadikan kehidupan sentosa, dan bahwa perselisihan akan berakibat kehancuran. Falsafah ini sudah didengungkan sejak zaman masih berkuasanya kerajaan-kerajaan di nusantara. Nenek moyang kita paham, bahwa kedamaian, kebahagian, dan kesejahteraan baru akan terjadi jika ada kehidupan yang rukun.
Kerukunan terjadi ketika masing-masing individu dan kelompok hidup untuk mementingkan orang lain dan tidak merugikan orang lain. Apabila pemimpin mementingkan rakyatnya dan tidak mau merugikan mereka, maka rakyat pun tidak akan melakukan hal sebaliknya terhadap pemimpin mereka. Sang pemimpin akan dicintai dan ditaati oleh rakyatnya.
Tetapi, apa yang terjadi pada saat ini adalah rakyat menjadi korban manipulasi untuk kepentingan dan ambisi para penguasa. Rakyat diberikan janji-janji kosong demi meraih jabatan, sehingga hanya menjadi alat kekuasaan. Tidak heran, ketika sudah terpilih, rakyat tetap tidak berdaya, ditindas, dan menjadi korban kekuasaan.
Seorang pemimpin agama Kristen yang sangat tersohor di abad pertama yang bernama Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, agar mereka “tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.” Sebaliknya, ia meminta jemaat agar “dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Paulus menuliskan ini karena gereja di Filipi sedang berada dalam kondisi perselisihan antarjemaat. Perselisihan terjadi karena ada keinginan untuk mengedepankan kepentingan pribadi dengan mengambil manfaat dari kepentingan orang lain, yang berakibat kepentingan orang lain menjadi terabaikan. Hal ini menyebabkan adanya pertikaian dan bahkan kerusuhan.
Solusi yang sangat sederhana untuk penanganan sebuah konflik adalah masing-masing pihak berupaya untuk menempatkan kepentingan orang lain lebih utama. Kepentingan orang lain menjadi bagian dalam pemenuhan kepentingan pribadi. Pengertian ini seharusnya dimulai dari para pemimpin. Peran yang baik yang dimiliki oleh seorang pemimpin bukanlah dari jabatan yang diemban, tetapi dari karakter yang dimiliki dengan mematikan kepentingan pribadi dan selalu menempatkan kepentingan orang lain lebih utama. Jika hal ini dilakukan, maka kehidupan yang sejahtera niscaya akan terwujud.
———
*PC Perkantas DIY, Julio Kristano Andreaputra, bersama rekan-rekan Perkantas di Jogja sedang menjalankan sebuah program pelayanan, DNa (Disciple for the Nation), untuk menghasilkan murid-murid calon pemimpin bangsa.
**Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun