Philip Ayus:
Antara Moria dan Golgota

Cinta adalah salah satu hal yang tak terjelaskan dalam teori evolusi. Dalam alam pikir evolusionistik, semua makhluk akan berupaya untuk menjaga eksistensi dengan caranya masing-masing, dan hanya mereka yang paling dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan lah yang akan bertahan. Apabila Anda melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, salah satu petunjuk keselamatan dari kru pesawat adalah agar orang tua terlebih dahulu memanfaatkan oksigen agar dapat menolong anak-anak mereka. Ini merupakan implementasi praktis dari pemikiran evolusionistik, yakni bahwa mereka yang memiliki kesempatan lebih besar untuk menyelamatkan diri haruslah diutamakan (agar dapat menolong yang lain).

Dasar dari pedoman keselamatan penerbangan di atas tentu bukan cinta, melainkan perhitungan persentase probabilitas kelangsungan hidup dan sederet penghitungan lainnya. Meskipun mengutamakan keselamatan orang tua dibandingkan anak-anak dapat dimengerti secara logis, namun pada kenyataannya, cinta dapat membuat orang tua mengambil langkah yang bertolak belakang. Lima tahun lalu di Kanada, misalnya, dua ayah dan seorang ibu berusia tiga puluhan dari dua keluarga mengambil risiko untuk menolong anak-anak mereka yang hampir tenggelam ketika bermain di sungai. Kedua anak tersebut dilaporkan selamat, sementara ketiga orang dewasa tadi justru tenggelam dan meninggal[i]. Tindakan ketiga orang tua tersebut tentu tidak dapat dimengerti oleh pemikiran evolusionistik, dimana akan lebih baik jika kedua anak tersebut dibiarkan tenggelam, karena orang tua mereka dapat “mengulangi proses reproduksi” dan melanjutkan keturunan.

Dalam pengalaman pribadi, setiap kali putri saya jatuh sakit—apalagi ketika sakitnya mengkhawatirkan, saya selalu berandai-andai bahwa sakit yang diderita buah hati saya tersebut dapat dialihkan ke tubuh saya, sehingga saya dapat menggantikannya menanggung rasa sakitnya. Bagi orang tua, tidak ada yang lebih berharga dibandingkan anak-anak mereka. Memang, ada sebagian orang tua yang menomorduakan anak-anak mereka, menganggap anak-anak sebagai gangguan, dan bahkan menelantarkan darah daging mereka sendiri. Akan tetapi, pada umumnya, orang tua mengasihi anak-anak lebih daripada mengasihi diri mereka sendiri. Mereka bahkan menghargai hidup anak-anak melebihi hidup mereka sendiri!

Sebagai seorang ayah yang baru medapatkan anak pada usia yang sangat lanjut (100 tahun!), Abraham bin Terah pasti sangat terkejut ketika TUHAN memerintahkannya untuk membunuh dan mempersembahkan Ishak sebagai korban. Andai berada pada posisi Abraham, respon pertama saya pasti menolak, lalu menawarkan diri saya sebagai pengganti Ishak. Barangkali, Abraham pun memberikan respon demikian—walau tak dicatat dalam Taurat. Namun, di dalam pergumulan batinnya, Abraham ternyata taat:

Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.[ii]

TUHAN tidak haus darah
Dalam tradisi kebudayaan di sekitar tempat tinggal Abraham, menyerahkan—atau lebih tepatnya, membunuh—anak sebagai persembahan bagi dewa yang disembah merupakan praktik yang jamak dilakukan. Pada zaman raja Yosia, salah satu “reformasi spiritual” yang dilakukannya adalah menghancurkan dapur api di lembah Ben-Hinom, dimana orang Israel yang menyembah dewa Molokh biasa membakar anak-anak mereka sebagai persembahan (lih. 2 Raj. 23:10).

Akan tetapi, benarkah TUHAN menginginkan nyawa Ishak? Jawabannya terdapat dalam kisah selanjutnya. Pada waktu tangan Abraham sudah siap untuk membunuh anaknya itu, Malaikat TUHAN berseru dari langit dan memerintahkannya untuk membiarkan Ishak hidup. Adalah menarik untuk disimak, bahwa yang berseru kepada Abraham bukanlah “malaikat biasa”, melainkan Malaikat (Kalm) TUHAN (dengan huruf “m” kapital), yang dalam alam pemikiran Yahudi merupakan perwujudan dari Sang Mesias. Kita juga perlu memberikan perhatian pada apa yang disampaikan oleh Malaikat TUHAN setelahnya:

“Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.”[iii]

Ketaatan Abraham yang rela memberikan “hartanya” yang paling berharga, yakni anaknya sendiri tersebut didasarkan oleh imannya, bahwa Allah yang telah berjanji akan menjadikannya berkat bagi bangsa-bangsa melalui keturunannya, yang sanggup menjadikan Sara mengandung di usia senja, akan menepati janji-Nya, dan menghidupkan Ishak kembali.[iv] Ketaatannya bukanlah ketaatan buta yang tidak didasari oleh janji Allah.

TUHAN juga bukan sesembahan yang “haus darah.” Firman-Nya kepada bangsa Israel melalui nabi Yeremia sangat gamblang menunjukkan hal ini:

Mereka mendirikan bukit-bukit pengorbanan untuk Baal di Lembah Ben-Hinom, untuk mempersembahkan anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan mereka kepada Molokh sebagai korban dalam api, sekalipun Aku tidak pernah memerintahkannya kepada mereka dan sekalipun hal itu tidak pernah timbul dalam hati-Ku, yakni hal melakukan kejijikan ini, sehingga Yehuda tergelincir ke dalam dosa.[v]

Mencabut hidup orang lain, termasuk anak-anak sendiri, merupakan kekejian di hadapan TUHAN—(semulia) apapun alasannya. Oleh karenanya, sudah selayaknya umat-Nya berpihak kepada kehidupan. Menentang hukuman mati dan praktik aborsi merupakan sikap yang diharapkan dari setiap orang yang menyembahNya.

TUHAN, Sang Sumber Kehidupan
Sebaliknya, TUHAN adalah Sang Sumber Kehidupan. Bertolak belakang dari ilah-ilah yang lain, Malaikat TUHAN yang pada waktu itu menyediakan seekor domba jantan sebagai pengganti Ishak, yang melihat iman Abraham yang tak segan-segan menyerahkan anaknya yang tunggal, rela menyerahkan Diri-Nya sebagai kurban tebusan bagi manusia, sehingga mereka yang tadinya mati oleh karena dosa, sekarang dapat hidup oleh darah-Nya: darah Anak Domba Allah.

Malam itu, di depan Nikodemus, Sang Mesias itu pastilah mengatakan sabda-Nya yang paling banyak dihafalkan di seluruh dunia dengan mengingat kembali, bagaimana lebih dari dua ribu tahun sebelumnya, Dia menjumpai iman yang penuh ketaatan di dalam diri Abraham yang tak segan-segan menyerahkan anaknya yang tunggal kepada TUHAN:

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.[vi]

Ketika Bapa mengutus Anak-Nya, itu artinya Dia memberikan tebusan yang paling berharga bagiNya, sebagaimana hidup anak jauh lebih berharga bagi orang tuanya daripada hidup mereka sendiri. Apabila Bapa telah memberikan apa yang paling berharga bagiNya untuk menebus kita, akankah kita tetap menahan diri untuk tidak memberikan bagian hidup kita yang terbaik—segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan—kepadaNya?

 

Sumber:
[i] http://montreal.ctvnews.ca/three-parents-drown-trying-to-save-boys-from-river-1.702515
[ii] Kejadian 22:2-3
[iii] Kejadian 22:12
[iv] Ibrani 11:17-19
[v] Yeremia 32:35
[vi] Yohanes 3:16

_____________________________________________________
*Penulis adalah Staf Media Perkantas

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *