Fokus:
Bangun Pemuda Pemuda!

Kaum muda adalah pembuat sejarah. Peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Indonesia Merdeka (1945), Orde Baru dan Tritura, serta Malari adalah bukti nyata di Indonesia Peran yang mereka bawakan merupakan bukti kepedulian dan nasionalisme mereka. Keterlibatan mereka tidak dapat dihapus dari sejarah pendirian bangsa Indonesia.

Hasil itu tidak datang dengan sendirinya. Mulai dari organisasi kecil yang bersifat kedaerahan, atau keagamaan mereka galang-menggalong dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya organisasi pergerakan pada pra dan pasca kemerdekaan. Terlepas dari ‘berbau’ kedaerahan, atau keagamaan, tujuan akhir mereka adalah merdeka, berdaulat dan berbangsa satu, Indonesia.

Bagaimana dengan sekarang? Apakah ada perbedaan antara pemuda/mahasiswa dulu dan sekarang? Bagaimana pula dengan mahasiswa Kristen sekarang?

Bul Penyami, MBA (Pembantu Rektor III Universitas Pelita Harapan); Dr. Iman Santoso (Direktur Lembaga Informasi dan Komunikasi Kristen); dan Rinaldi Bungaran Sinaga, SE (alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia jurusan Studi Pembangunan) mencoba menjawab masalah di atas.

Pemuda Dulu dan Sekarang

“Pemuda (juga baca termasuk: mahasiswa) sekarang memang kelewat senang. Dulu kami hidup dalam kondisidan situasi berjuang. Menjadi mahasiswa bagi kami adalah status yang luar biasa. Kami memiliki kebanggaan tersendiri. Beda dengan sekarang. Walaupun memiliki kebanggaan, tapi berbeda,” ujar Bul Penyami sambil mengenang masa mudanya. Apakah itu terjadi karena perubahan zaman?

Zaman menurut Iman Santoso, sangat besar ‘saham’nya terhadap kegigihan dan daya juang pemuda dalam suatu masa dan generasi. Namun, ia mengingatkan, “Seharusnya tentangan yang sama, tidak harus mengakibatkan respon yang uniform. Pemuda dengan ilmu pengetahuan dan rohaninya harus dapat membaca tanda-tanda zaman.”

Pendapat Iman di atas didukung Bul Penyami. Ia menguatkan pendapatnya dengan menganalogikan kehidupan pemuda Indonesia sekarang dengan hasil penelitian terhadap pemuda Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Dikatakannya, manakala ekonomi Amerika berada dalam kondisi baik, penghasilan orangtuanya tingi, dan generasi mudanya yang tampak pada generasi muda Indonesia sekarang. Timbul baby boomers (kalangan eksekutif muda) yang menginginkan segala sesuatu serba gampang, tanpa harus membanting ‘tulang’. Ketika situasi berubah, ekonomi Amerika ‘goncang’. Mereka hanya menuntut, tanpa berbuat. Keguncangan tersebut menyadarkan mereka. Hasilnya dapat terlihat sekarang!

Apakah pemuda/mahasiswa Indonesia akan seperti mereka? Walahualamlah….

Apa komenar pemuda tentang pendapat diatas?

Mahasiswa dulu dan sekarang menurut Rinaldi, hakekatnya sama, Yaitu sama-sama mencoba menimba ilmu Pada jenjang Pendidikan tinggi. Begitu juga kepeduliaan mereka, secara kuantitas sama. Sama dalam arti, Pemuda/mahasiswa yang concern terhadap masalah sosial dan Politik dapat dihitung. Dulu, justru mahasiswa, ketika ada moment yang tepat, membuat sejarah. Peristiwa Malari dan Tritura, misalnya. Dalam hal ini Bul Penyami sependapat dengan Rinaldi’

Seperti yang dinyatakan oleh Bul Penyami, Rinaldi yang peranakan Cina ini juga sependapat bahwa secara intelektual IQ pemuda/mahasiswa sekarang relatif lebih baik, mungkin pengaruh gizi dan perkembangan ilmu pengetahuan.  Namun, Rinaldi juga mengaku bahwa perbedaannya tetap ada. Secara positif mahasiswa dulu berjuang dengan memanggul senjata untuk menegakkan pemerintahan. Sekarang mahasiswa/pemuda berjuang untuk mengisi pembangunan agar tercapai masyarakat adil dan makmur.

Namun ketika nara sumber sepakat bahwa terdapat perbedaan yang seharusnya tidak terjadi. Pertama, dalam hal berani menyatakan kebenaran. Mahasiswa/pemuda pra angkatan 66, generasi 74 – dalam pristiwa Malari turun ke jalan mengungkapkan kebenaran demi kepentingan masyarakat. Mahasiswa sekarang, kurang berani. Kalau pun ada dapat dihitung dengan jari.

Rinardi yang ketika mahasiswa menjadi Pemimpin Redaksi dari Buletin Sola Gratia dan staf ahli ketua Snat Fakultas Ekonomi, melihat kenyataan tersebut adalah akibat pengkotak-kotakkan serta kurangnya kebebasan dalam mengungkapkan kebenaran. Mahasiswa antar Universitas, bahkan fakultas tidak merasa terikat. Mereka lebih suka mengejar dan menyelesaikan Sistem Kredit Semesternya (SKS). Akibatnya, timbul persaingan dan sifat induvidualis. Selain itu, bila mahasiswa hendak melakukan kegiatan harus melapor, minta persetujuan. “Sudah sulit berkomunikasi, sistemnya pun lebih dipersulit lagi. Dibolehin tidak. Kalau setuju, silahkan….. bila ada moment nasional, pemuda dan mahasiswa pasti bergerak. Walaupun sedikit jumlahnya, pemuda masih punya concern kok,” kata Naga, panggilan akrab Rinaldi di kampus. Menurutnya, hal ini mengakibatkan pemuda/mahasiswa kurang berminat terhadap yang ‘berbau’ politik.

Hampir sependapat dengan Rinaldi, Iman Santoso mengungkapkan bahwa pemuda tidak dapat disalahkan. Menurutnya, kalaupun ada keberanian, wadahnya tidak tersedia, karena adanya larangan mahasiswa berpolitik praktis, termasuk mengungkapkan kebenaran. Kalaupun mau berbuat, melalui apa? Itu kesulitannya. “Itu kan dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas juga. Kita perlu memahami Pemerintah,” papar mantan staf Perkantas ini. namun, bila tingkat pendidikan, ekonomi, serta pemahaman demokrasinya lebih baik, maka pemuda.mahasiswa (juga masyarakat) Indonesia akan semakin berani menyuarakan kebenaran.

Kedua, sikap (attitude). Pemuda/mahasiswa sekarang cenderung santai dan hura-hura. Mau hidup enak tanpa bekerja keras dan berjuang,  ingin cepat sukses dan “ngetop” Zone kenyamanan dan kemudahan telah melanda pemuda/mahasiswa Indonesia. Akibatnya, menurut Bul Penyamin, banyak pemuda/mahasiswa menyalahkan keadaan, tanpa mampu berbuat. Kaum muda, pasca angkatan, ’66, lahir dan hidup dalam keamanan dan kondisi ekonomi yang stabil. Itu, mereka pikir akan berlangsung terus. Dengan belajar dan bekerja sedikit, akan medapat kedudukan ‘basah’. Kenyataannya lain. Kompetisi semakin hebat. Ekonomi semakin sulit. Disadari atau tidak, namun tidak ada tindakan mengubahnya. “Zone kemudahan: saya berhak, saya berhal tanpa bertindak dan berjuang inilah yang sekarang sedang melanda generasi muda Indonesia. Kemudahan dianggapnya warisan orangtua,” tegas bapak yang beasal dari kota keci; Poso –Sulawesi Tengah ini. ia menyarankan, “Kita harus belajar dari pengalaman Amerika.”

Sementara itu Iman Santoso melihat keapatisa pemuda/mahasiswa sekarang –selain yang diungkapkan Bul Penyami di atas – juga karena ketidakmampuan mengekspresikan diri. Menurutnya, keapatisan mereka tidak dapat disalahkan. Orangtua pun turut punya andil dalam hal tersebut.

Ketiga, sistem komunikasi yang berbeda. Mahasiswa dulu berani menyuarakan kebenaran. Bubarkan PKI, Turun Harga Bawang dan Retool Kabinet Dwikora adalah hasil Tritura (Trituntutan Rakyat) yang diprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Sedangkan mahasiswa sekarang ‘tampaknya’ sudah apatis. Apapun yang terjadi di depan  mata, kalau tidak menynggung dirinya, takkan di ‘sentuh’. Untuk hal ini, Rinaldi memberi ‘catatan khusus’ kepada orangtua. Ia menceritakan pengalamannya ketika bertanya pada seorang dosen yang sekaligus pejabat pemerintah tentang kebijakan ekonomi yang secara praktek berbeda dengan teori. Akhirnya pemuda kalah, karena jika berargumentasi tentang teori dan praktek lapangan, angkata tua lebih tahu. Akibatnya, generasi muda ‘malas’ bersuara.

Keberadaan yang diungkapkan Rinaldi di atas, diakui Bul Penyami, memang ada. Mungkin benar yang dikatakan generasi muda sekarang bahwa sistemlah yang membuat mereka demikian. Namun, mereka tidak bisa menyalahkan orangtua 100%. Sistem komunikasi yang di wariskan Yunani kuno adalah pola berpikir kristis, analistis Socreates, Plato, dan Aristoteles. Dalam komunikasi tersebut harus dibuktikan yang benar dan salah. Manusia tidak menyadari bahwa pola pikir itu menghasilkan gap, yang kuat pasti menang. Bagaimana hasilnya jika sistem itu digunakan dalam memecahkan masalah orangtua dengan anak, pemerintah dengan masyarakat, agama dan sebagaimnya? Demokrasi dan tindakan pemogokan menurut Bul Penyami adalah hasilnya. “Saya tidak mengatakan mana yang benar. Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa itu proses yang harus terjadi. Mari kita learn us to way outnya.” Ujar mantan staf senior Huffco (VICO Indonesia) ini.

Keempat,wawasan kebangsaan. Mahasiswa/pemuda dulu tidak kasat mata terhadap pristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dalam mneyatakan ‘kemerderkaan atau mati’ atau ‘gayangan Malaysia’ bukanlah sekedar kata-kata ‘manis’ mereka, tapi karena jiwa nasionalisnya. Juga bukan hanya sekedar mengobarkan semangat juang. Bagaimana dengan sekarang? Rinaldi Sinaga tidak bisa memungkiri kurangnya kepedulian mahasiswa/pemuda terhadap masalah kemasyarakatan, dalam pristiwa demi pristiwa yang berlangsung. Kasus Kedungombo, buruh dilecehkan, merajalelanya korupsi, pelanggaran hak Azazi Manusia (HAM), jurang si miskin dan si kaya semakin lebar, atau terjadinya pemogokan awak kendaraan baru-baru ini adalah contohnya. Hal-hal tersebut tidak membuat mahasiswa/pemuda ‘bergerak’.

Jangankan bergerak. “mahasiswa/pemuda sekarang banyak yang kurang memiliki wawasan kebangsaan,” ungkap Rinaldi. Itu dibuktikan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Economica UI ini dengan melakukan penelitian ‘sejauhmana mahasiswa Indonesia memiliki wawasan kebangsaaan’. Hasilnya, dari sempel mahasiswa diambil 60% kurang memiliki wawasan kebangsaan. Padahal setiap masuk perguruan tinggi dilakukan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). “Dosen UI saja pada kaget,” ungkapnya lagi.

Dalam hal lain, setelah menjadi alumni ternyata mahasiswa kurang berminat menjadi pegawai negri (Baca dalam: Nasionalisme Vs Kedaerahan,Mandala Manurung). Padahal bila disana, sangat sangat memungkinkan untuk berperan dalam konsep dan kebijakan.

Iman Santoso melihat ini sebagai akibat dari berbagai faktor. Globalisasi misalnya, sangat mempengaruhi paham setiap manusia, terlebih para mahasiswa/pemuda. Paham nasionalisme bergeser pada masa transisi ini. Namun, ia juga menyayangkan kalau di zaman informasi dan teknologi ini, terjadi masalah primordial dan etnis. Padahal, menurutnya, kita bangsa Indonesia sudah mengikrarkan diri pada konsensus 49 tahun.

Bagaimana dengan pemuda/mahasiswa Kristen?

 

Nasionalisme Kristen

Dari sejarah perjuangan bangsa, keterlibatan umat Kristen di Indonesia sudah ada sejak pra kemerdekaan, misalnya Partai Politik Kaum Kristen (PARKI) yang dikoordinir Dr. Jasmaen Saragih Melanchton Siregar, Doran Damanik, A.M.S. Siahaan dan Turman Siahaan yang berdiri tahu 1912 di Medan. Kemudian Tahun 1947 bergabung dengan Parkindo. Sementara pemuda Kristen yang berlatar belakang Batak, Nias dan Kalimantan yang ada di Batavia (Jakarta sekarang) bergabung dalam organisasi nasional seperti Jong Sumatranen Bond, Orang Ambong bergabung ke Jong Ambon Bond dan sebagainya.

Lain lagi dengan Amir Sjarifuddin. Setelah kembali dari Leiden dan menjadi pengikut Kristus, ia mendorong umat Kristen terlibat.dalam pergerakan nasional. Kemudian ia bersama-sama  Rufinus Tobing mendirikan Gerakan Persatoean Kaoem Keristm (GPKK). Rufinus Tobing dalam kesaksiannya mengungkapkan bahwa Renungan Natal Amir Sjarifuddin, memang sungguh menggugah perasaan nasionalisme para pendengar, dan oleh renungannya itu Amir ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Kempetai. Dari GPKK inilah ‘benih’ keterlibatan umat Kristen dalam politik(baca: pemerintahan) Indonesia disemaikan. Kala itu organisasi ini berpusat di Jalan Kramat No. 65 – Jakarta. Di sinilah pusat kegiatan dan pertemuan pemuda Kristen Protestan dan Katolik. Di tempat ini pula para pemuka Kristen membahas dan menyepakati ketidaksetujuan terhadap dicantumkannya pasal 6 rancangan UUD, yang menyatakan bahwa presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam.

M. Abednego dalam Buku Suatu Partisipasi menulis, dinyalakan oleh hadirin, bahwa walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan seorang (orang) Indonesia yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam UUD, sebab itu apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Siapa saja harus dianggap dapat memangku jabatan presiden, tidak tergantung dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan bangsa kepada kebahagiaan yang dicita-citakan. Pernyataan tersebut adalah karya besar bagi pendirian negara RI yang terdiri dari berbagai agama. Dengan itu pula, maka piagama Jakarta tidak menjadi pembukaan dan UUD Indonesia.

Kramat 65 juga menjadi tempat para pemudalrnahasiswa membicarakan Maklumat Pemerintah, 3 Nopember 1945 yang memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk membentuk partai politik. Pendirian partai politik ini, dalam umat Kristen mengalami prokontra. Dari 25 orang yang belum berpengalaman dalam berorganisasi kemudian mendirikan Partij Keristen Nasional (PKN) dengan ketua Dr. W.Z. Johannes. PKN inilah yang memprotes dengan keras penyerbuan Inggris atas kota Surabaya, 10 Nopember 1945. Pada kongresnya yang pertama (6-7 Desember 45), PKN berganti nama menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Orang-orang yang duduk di Parkindo ini adalah mahasiswa/pemuda yang dibina dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Johannes Leimena, B. Probowinoto, A. M. Tambunan, Victor Maton-dang, Sabam Sirait, Pontas Nasution diantaranya adalah keluaran GMKI. Bagaimana pemuda/mahasiswa Kristen sekarang?

Di zaman manapun, manurut Bul Penyami, orang Kristen sama dengan orang lain. Masyarakat dalam Zone kemudahan dan kenyamanan. “Orang Kristen tidak ada bedanya dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kalau pun ada perbedaan, itu dari sisi cara melihat maslaah, bukan pengalaman,” tegasnya.

“Orang Kristen Indonesia selalu menganggap dirinya istimewa, bahkan terlalu istimewa,” ungkap Bul Penyamin yang juga anggota komisi Departemen Partisipasi Pembangunan (Deparpem) Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)

Sementara Rinaldi mengungkapkan hal lain. Cukup banyak mahasiswa Kristen yang peduli dan ingin terlibat dalam pembangunan negara.  Namun faktor kepedulian itu sering dikalahkan faktor lain. Membantu orangtua dan adik-adik misalnya. Selain itu, memang ada umat Kristen yang berkonsep ‘kalau sudah melakukan tugas sebaik-baiknya sudah cukup’. Hal ini terjadi karena pertam4aorang Kristen ‘suka’ menghindari konfrontasi, akibatnya hanya menerima apa adanya. Timbul dalam pikirannya lebih  baik melakukan yang terbaik, tanpa berusaha mengungkapkan kebenaran. Sedangkan yang kedua, sekarang ini orang umumnya lebih memprioritaskan pada kehidupan nyaman. Orientasinya bagaimana supaya aku jadi ‘jutawan’. Sementara Bul Penyami dan Iman Santoso sependapat bahwa antara kebutuhan hidup manusia, yaitu fisik, mental, sosial dan spiritual saling berkaitan. Itu dapat diumpamakan lingkaran-lingkaran yang saling beririsan. Irisan keempat kebutuhan itu memperlihatkan bahwa setiap kebutuhan tidak dapaf dipisah-pisahkan. Kebutuhan fisik, mental, sosial tidak bisa dilepaskan dengan kebutuhan spiritual. Sebaiknya, kebutuhan spritual tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan lainnya. Titik temu keempat kebutuhan akan membuat kemanusiannya sempurna.

Iman Santoso yang sudah lama memikirkan  keterlibatanan umat Kristen di Indonesia merambahkan, pemuda/mahasiswa Kristen hendaknya melihat bahwa ia berada dalam konteks pengutusan Tuhan, yang dipanggil keluar dari dunia berdosa, diselamatkan, dikuduskan untuk diutus kembali ke dunia. Oleh karena itu, lembaga pelayanan kerohanian harus menekankan hal ini. ketika masih menjadi staf Perkantas, 80-an, ia sudah mengusulkan supaya program pembinaan mahasiswa, khususnya dalam buku Memulai Hidup Baru ditambahkan topik pembinaan asperk masyarakat. Bila sampai sekarang belum ada, sangat disayangkan. “Itu harus ditambah supaya tali antara jasmani dan rohani menyambung dan mata mahasiswa/pemuda ‘melek’, “ ujarnya. Apalagi menurutnya masa sekarang jiwa nasionalisme sangat di perlukan. Ia mengingatkan bahwa mengasihi Than dengan segenap hati, jiwa dan akal budi tidak dapat dilepaskan dari mengasihi sesama manusia, termasuk suku dan bangsa yang ada, seperti diri sendiri.

Ketiga nara sumber memang sepakat bahwa siapa pun yang ada di negara Indonesia, termasuk umat (pemuda/mahasiswa) Kristen, harus memiliki jiwa nasionalis. Kalau pemuda/mahasiswa tahun 45 sebagai ujung tombak berdirinya negara Indonesia, angkatan 66 sebagai pendobrak, Ialu angkatan sJka.ang sebasai angkatan apa…. ? PR bagi pemuda! (06)

 

**Majalah DIA, Edisi 4/1992

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *