Pancasila, Bukan Chauvinisme
Setelah mengalami pergumulan yang cukup panjang dan berat, akhirnya nasionalisme Indonesia mencapai kematangannya dalam wujud Nasionalisme Pancasila. Memperhatikan buah pikiran pendiri Negara, nasionalisme Pancasila mengandung beberapa arti:
Pertama, nasionlisme Pancasila bukanlah chauvinisme. Chauvinisme adalah pandangan nasionalisme yang sempit dan agresif. Paham ini amat membahayakan perdamaian dunia, seperti yang diperbuat Jerman dalam Perang Dunia II. Nasionalisme Indonesia bukanlah chauvinisme, sebab Mukadimah UUD 45 menunjukkan misi nasionalisme Indonesia adalah perdamaian abadi. Kalaupun nasionalisme kita tumbuh melalui perjuangan dan peran kemerdekaan, tidak berarti bangsa Indonesia agresif. Perjuangan kita adalah ekspresi jiwa antikolonial, karna kita percaya bahwa perdamaian tidak mungkin tanpa kemerdekaan.
Kedua, nasionalisme Pancasila bukanlah nasionalisme etnis-Agama. Perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan kolektif. Persamaan sikap, persepsi dan cita-cita kehidupan amat dibutuhkan. Secara umum, kita sering mengkaitkan dengan ideologi. Bangsa kita, menyadari hal tersebut dan memilih Pancasila sebagai ideology bangsa. Ideology Pancasila bukanlah upaya penyatuan budaya dan agama, melainkan penyatuan pendangan tentang masa depan kemanusiaan, terutama dalam ruang histori Indonesia. Dengan demikian nasionalisme kita tidak berfondasikan etnis-agama, melainkan visi dan komitmen kemanusiaan.
Ketiga, nasionalisme Pancasila adalah Kemanusiaan Yang Bertuhankan. Dikatakan nesionalisme kemanusiaan, karena didalamnya kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik dijunjung tinggi. Kehidupan yang lebih baik bukan sekedar lebih kenyang dan kaya dari sebelum merdeka, tapi lebih beradab bila seseorang dapat merealisasikan dirinya. Karena seseorang dapat merealisasikan dirinya, karena seorang manusia memang layak untuk itu. Nasionalis humanis kita berfondasikan Ketuhanan Yang Masa Esa, yang meyakini bahwa tidak mungkin manusia dijaga harkatnya, bila Tuhan tidak merupakan prioritas pertama dalam kehidupan bernegara-berbangsa.
Fanatisme Kedaerahan
Harus diakui bahwa keaderahan adalah pernyataan hidup yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini tidak hanya sekedar berarti 27 propinsi berbeda, tapi juga adat istiadat, pengalaman hidup dan 700 diaken bahasa. Wajar bila daerah cenderung membuat kita tertutup dan subyektif yang kadang-kadang dipertajam lagi dengan perbedaan agama. Sikap di atas, dalam kehidupan sehari-hari muncul dalam fanatisme kedaerahan. Fanatisme ini, terwujud dalam banyak bentuk, pada berbagai tingkat kehidupan. Dalam skala kecil dan spontan, fanatisme kedaerahan teramati di setiap perbandingan olahraga. Fanatisme ini biasanya lebih disebabkan oleh perasaan sayang, kerinduan akan kampung halaman ataupun keterlibatan emosional sesaat. Tetapi fanatisme ini, wajar-wajar saja bahkan dapat dipakai untuk memacu semangat berprestasi melalui perjuangan-persaingan yang sportif.
Fanatisme mulai berbahaya bila diterapakan secara berlebihan dalam hidup berbangsa. Misalnya, tuntutan untuk mendapat porsi terbesar dan didahulukan dalam pembangunan karena merasa bahwa suku daerahnyalah yang paling berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Merasa bahwa hanya orang-orang yang berasal dari suku – dearahnya saja yang mampu, berhak memimpin bangsa ini. Sikap-sikap ini akan cepat menimbulkan rasa iri dan tindakan agresif, bila melihat kemajuan orang kelompok yang berasal dari daerah lain, apalagi secara jumlah kecil.
Fanatisme kedaerahan akan lebih berbahaya lagi bila telah menjelma menjadi nepotisme dan klik dalam kehidupan bisnis, politik dan pemerintahan. Dalam pemerintahan misalnya, seorang pemimpin pemerintahan yang berasal dari daerah A, cenderung hanya mengangkat staff yang berasal dari daerahnya. Sementara proyek-proyek-pembangunan seharusnya diatur rata, kenyataannya cenderung disalurkan ke daerah kelahiran beliau. Demikian juga dalam bisnis, kesempatan dan informasi tentang usaha atau pekerjaan, dijaga agar tidak bocor ke kelompok suku daerah lain. Semua dilakukan dengan pertimbangan picik dan subjectif, terutama rasa takut yang terlalu besar dan tidak beralasan. Sangat sulit berharap banyak dari system sepert itu. Kebocoran dana pembangunan, korupsi, kolusi –monopoli-inefisiensi, keterlambatan dan ketidak-imbangan pelayanan birokasi, ketidakadilan dan pelecahan hukum, dapat disebabkan oleh fanatisme tadi.
Rekayasa dan Manipulasi
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam kedaerahan terkandung resiko perpecahan. Tetapi hanya terjadi bila fanatisme kedaerahan berubah menjadi chavinisme. Menjadi fokus perenungan kita: apa penyebab ‘lahirnya’ chauvinisme? Apakah chauvinisme kedaerahan berakar pada ajaran suku atau agama? Rasanya tidak mungkin. Tidak satupun suku atau agama di Indonesia, mengajarkan kejelekan dan kejahatan. Fakta sejarah juga menunjukkan hal itu! Bangsa kita, selama lebih dari 1000 tahun telah bergaul dengan budaya bangsa lain. Keanekaragaman budaya- kedaerahan Indonesua, merupakan hasil pergaulan tersebut.
Satu kemungkinan yang perlu lebih dipertimbangkan berkaitan dengan chauvinisme kedaerahan adalah: rekayasa kelompok tak bertanggungjawab. Mereka memanipulasi persatuan-solidaritas demi kepentingan pribadi. Memanipulasi fanatisme adalah hal yang biasa dilakukan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan otoriter. Fanatisme yang dimanipulasi tidak selalu harus kedaerahan-ras seperti yang dilakukan Hitler, bisa juga kelas-ekonomi seperti yang dilakukan kaum Marxis-Komunis, bahkan solidaritas agama yang banyak menimbulkan gerakan fundamentalis. Kelompok ini tidak pernah puas atau percaya kepada orang-kelompok lain. Mereka belum siap hidup bersama. Di Indonesia kelompok-kelompok ini tidak pernah berhasil mencapai ambisinya, gagalnya Permesta , PRRI, DII-TII maupun PKI adalah bukti konkrit.
Kedaerahan suku di Indonesia tidak berakar pada ajaran etnis-agama. Upaya rekayasa yang pernah terjadi di Indonesia belum pernah berhasil. Melihat bukti ini dapatlah dikatakan bahwa kedaerahan bukanlah ancaman terbesar terhadap nasionalisme kita. Kalaupun terjadi gejolak, kemungkinan besar disebabkanpenderitaan dan kekecewaan terhadap kondisi sosial-ekonomi yang ada. Itu dapat diatasi dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi., melalui pembangunan.
SDM Rendah
Bila rakyat semakin merasakan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan, maka segala sesuatu yang bersifat destruktif sulit mendapat tempat. Tetapi pembangunan hanya mungkin berhasil, bila memperhatikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ketidakpedulian terhadap kualitas SDM, berarti membiarkan Indonesia dalam ancaman besar. Sebab bahaya terbesar dari rendahnya kualitas SDM adalah sifat egoisme pribadi atau kelompok. Egoisme ini berakarpada ketidakmampuan dan ketidakinginan menghargai dan mementingkan orang lain. Akibatnya tindakan satu golongan, selalu akan menimbulkan curiga dan kekuatiran golongan lain serta mendorong tindakan pembalasan. Akibatnya kesulitan dan perpecahan timbul.
Rendahnya kualitas SDM menyebabkan kualitas aparat juga rendah. Data Biro Pusat Statistik tahun 1989 (BPS) menunjukkan dari sekitar 4 juta pegawai negeri, 3,3 juta (83,3 %) diantaranya hanya berpendidikan menengah ke bawah. Jumlah doktor hanya sekitar 200 orang. Ironis sekali, bukan?. Sebab tugas birokrasi dalam kehidupan modern, amal menuntut kualitas aparat yang tinggi. Seharusnya, agar birokrasi mampu mengelola pembangunan,proporsi pegawai negeri didominasi oleh orang yang berpendidikan tinggi. Melihat kenyataan ini, wajar bila kesan tentang aparat negara, bernada sumbang: sok kuasa, sikap ABS (asal bapak senang), tidak punya wawasan, lamban, nepotis, selalu salah omong, salah mengambil keputusan dan …tidak mau mengaku salah. Namun kondisi ini tidak hanya di birokrasi pemerintah. Dunia bisnis, dunia kampus bahkan kalangan Kristen menghadapi masalah yang sama.
Kualitas SDM tidak diukur dari usia, asal suku dan agama, tctapi dari produktivitas, moral, mental dan etika. Antara keempat unsur tersebut ada saling keterkaitan yang amat erat.
Produktivitas adalah tolok ukur ekonomi dan kualitas SDM. Secara makro diukur dengan pendapatan perkapita. Bila kita setuju dengan ukuran ini, rnaka dengan jiwa besar. Harus diakui bahwa kualitas SDM lndonesia masih sangat rendah. Tahun 1990 pendapatan perkapita penduduk lndonesia 570 dollar Amerika. Delapan kali lipat dari pcndapatan perkapita tahun 1969. Tetapi nilai itu hanya 1/45 pendapatan perkapita Jepang.’tingkat produktivitas penduduk Jepang adalah 45 kali tingkat produktivitas penduduk lndonesia.
Rendahnya tingkat produktivitas berkaitan dengan rendahnya tingkat pcndidikan dan kesehatan. Di akhir Pelita V. proporsi pcnduduk Indonesia yang buta huruf masih mencapai angka 15%. Sementara proporsi penduduk berusia 5 tahun ke atas dan tidak sekolah lagi mencapai angka 52.4 %. Rendahnya kualitas SDM mempengaruhi kualitas angkatan kerja. Dari sekitar 80 juta angkatan kerja, ternyata hampir 80% (60 juta) berpendidikan SD ke bawah. Sedangkan berpendidikan tinggi di bawah 2 %. Tingkat kesehatan penduduk juga rendah. Tahun 1993 rasio dokter dan penduduk di Indonesia masih sekitar l:8000. Artinya setiap dokter di Indonesia harus melayani 8000 penduduk. 2$DA Dengan rasio seperti itu sulit mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Bandingkan dengan Malaysia ketika tahun 1984 telah mencapai angka 1:1930, apalagi Jepang rasionya hanya l:660.
Rendahnya produktivitas juga berkaitan dengan kualitas mental, moral dan etika. Pengertian mental diwujudkan dalam sikap tanggungjawab, semangat juang yang tinggi dan mampu bekerja sama. Moral dan etika lebih menunjukkan kualitas sosial suatu bangsa. Kualitas tersebut nampak dalam sikap mendahulukan kepentingan bersama, komitmen menegakkan demokrasi, hukum dan hak azasi manusia. Dari ukuran ini kualitas SDM Indonesia juga masih rendah. Tidak mengherankan bila surat kabar dan siaran berita dipenuhi berita-berita korupsi, kejahatan, penindasan, penipuan dan penyalahgunaan jabatan.
Rohaniwan Bukan Alat
Kita perihatin dengan kenyataan di atas. Namun, lebih memprihatinkan lagi karena hal itu berlarut-larut. Bila para pemuka suku-agama berorientasi pada masalah peningkatan kualitas SDM, maka seharusnya masalah itu cepat teratasi. Sebab dengan akhlak dan pengetahuan yang dimiliki, mereka mempunyai kemampuan membina manusia. Apalagi, di Indonesia fungsi dan posisi mereka amat sentral dan strategis. Kehadiran mereka justru sangat diharapkan.
Bila mau melihat pemuka agama berperan dalam meningkatkan kualitas SDM, maka kita harus melihat keragaman kedaerahan-agama sebagai asset nasional, bukan perpecahan. Karenanya. pihak elit politik dan pemerintah harus bersikap tulus dan berwawasan luas dalam memperlakukan para pemuka suku agama. Jangan memanfaatkan mereka untuk keperluan politis semata. Sehingga tidak menimbulkan rasa iri-curiga dari agama lain. Beri kepercayaan dan kebebasan rohaniwan dalam membina urnat.
Umat Kristen Mampu Berperan
Kendala terbesar dalam nasionalisme Pancasila adalah perjuangan mencapai kualitas SDM yang tinggi. karena di dalamnya terkandung masalah etnis dan agama. Peningkatan kualitas SDM mencakup aspek ekonorni (produktivitas) dan non ekonomi (mental, Moral dan etika). Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan investasi besar-besaran di bidang pendidikan dan kesehatan. Pendidikan sosial dan agama amat dibutuhkan, agar SDM tidak hanya makin cerdas dan sehat, tetapi juga semakin bermoral-etika dan mempunyai wawasan kebangsaan. Umat Kristen sebagai bagian integral bangsa, amat diharapkan partisipasi. Apalagi kita memiliki asset yang bermanfaat bagi pembangunan yaitu: lembaga pendidikan-pelayanan, gereja dan kaum intelektual.
Lembaga Pendidikan dan Pelayanan Kristen:
Sekolah, universitas dan rumah sakit poliklinik, merupakan lembaga utama dan terdepan dalam proses pembentukan SDM. Melalui lembaga-lembaga ini, orang Kristen turut meletakkan fondasi SDM yaitu intelektualitas, Kesehatan dan gizi, tanpa membedakan suku dan agama. Pembentukan SDM yang berkualitas secara lebih khusus bagi umat Kristen dilakukan lewat lembaga pelayanan Kristen, seperti persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas), Lembaga Pelayanan Mahasiswa lndonesia (LPMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Navigator, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan lain-lain. Memang tujuan utama dari lembaga pelayanan pada umumnya adalah penginjilan. Tetapi harus diingat, pertobatan murupakan langkah awal pekerjaan ‘raksasa’ pengembalian citra dan kualitas manusia. Tetapi, pertobatan tanpa pembinaan, justru menjadi bumerang. Adalah lebih baik, bila lembaga-lembaga tersebut juga memperhatikan peningkatan kualitas ketimbang jumlah. Peningkatan kualitas mencakup aspek doktrin, dan wawasan. Doktrin membuat orang Kristen semakin dewasa. Karakter semakin membuat orang Kristen dihormati. Wawasan membuat kita lebih bersikap arif, strategis dan bertindak.
Gereja:
Sekalipun secara jumlah, orang Kristen dan gereja di Indonesia minoritas, namun tidak dapat dilecehkan. Sebab hampir seluruh etnis Indonesia, terlepas dari kualitasnya, ada yang menganut agama Kristen. Bila gereja memberikan pelayanan secara benar dan kontekstual pada mereka, berarti gereja melakukan dua hal: meredam fanatisme-kedaerahan dan meningkatkan kualitas SDM. Dua hal ini, sangat dibutuhkan negara kita.
Kaum Intelektual:
Nasib suatu bangsa amat ditentukan pengabdian kaum intelektualnya. Bila kaum intelektual menyalahgunakan kesan kemampuan dan kekuasaannya maka pepecahan akan timbul. Di Indonesia gejala penyalahgunakan oleh kaum intelektual sudah mulai mancul. Salah satunya adalah almamaterisme dan tawuran, dimana mereka cenderung mengumpulkan diri secara eksklusif. Almamaterisme misalnya di bidang pekerjaan. Bila direkturnya alumnus universitas X, kadang, hampir seluruh stafnya berasal dari universitas tersebut. Almamaterisme, terkadang lebih sempit dan subyektif. Sebab di dalamnya biasanya juga terkandung fanatisme etnis dan agama adalah tugas kaum inlelektual Kristen, untuk meng-erem gejala buruk ini. Tugas itu dilakukan bukan dengan menghimbau, melainkan tindakan konkrit. Misalnya para pemimpin – politikus Kristen memberi teladan, dengan cara rekrutmen kader berdasarkan potensi, prestasi dan kebutuhan negara. Para sarjana alumni berani dan mau bekerja sama dengan suku dan umat beragama lain, sebab banyak pekerjaan yang amat efekif untuk dilakukan bersama-sama. Di bidang sosial misalnya, pengentasan kemiskinan – kebodohan dan pembinaan generasi muda. Di bidang ilmu pengetahuan pemanfaatan dan alih teknologi.
Dengan apa yang dimilikinya, umat Kristen Indonesia sebenarnya mampu memberi banyak kepada bangsa, yang sedang membangun ini. Selama ini, kita telah turut berpartisipasi terutama lewat perjuangan kemerdekaan, pendidikan dan kesehatan. Sebenarnya, kita mampu memberi lebih lagi, bila pelayanan diberikan lebih bersifat menyeluruh dan kontekstual. Bahkan banyak pelayanan akan semakin efektif bila dilakukan bersama umat beragama lain. Dengan demikian kehadiran umat Kristen di Indonesia lebih dirasakan sebagai rahmat ketimbang.ancaman! **
Dituliskan oleh Mandala Manurung alumnus Fak. Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan sekarang dosen di Akademi Keuangan-Perbankan Lembaga Pendidikan lndonesia (AKPLPI) – Jakarta.