Philip Ayus:
Memimpin Generasi Milenial

Ada sebuah anekdot mengenai dua awak kapal Australia yang sedang berlabuh di Inggris. Mereka masuk ke sebuah bar, minum-minum hingga mabuk, lalu berjalan pulang dengan sempoyongan. Di tengah pekatnya kabut malam itu, seorang perwira Angkatan Laut Inggris berpapasan dengan mereka.
Salah seorang dari mereka menegur sang perwira, “Hai, Kisanak, tahukah kamu kita ini sedang ada di mana?”
Sang perwira tersinggung, lalu mendekatkan wajahnya kepada si pelaut sambil berkata, “Kisanak? Kamu tidak tahu siapa aku?”
Pelaut yang satunya lagi menimpali, “Wah, betul-betul gawat, Kawan, kita tidak tahu di mana kita sekarang berada, dan orang ini bahkan tidak tahu siapa dirinya!”

Kisah menggelitik di atas bisa jadi mewakili era pascamodern yang kita hidupi saat ini. Di era industri, kita telah menghasilkan berbagai temuan serta produk teknologi yang mempermudah banyak sekali pekerjaan kita. Jika Anda pernah menonton film silat berlatar belakang kehidupan biara Shaolin, Anda pasti familiar dengan adegan para biksu yang melintasi ratusan anak tangga sembari memikul ember-ember berisi air. Meskipun adegan itu ingin menunjukkan kedigdayaan para biksu, namun seandainya mereka telah mengenal teknologi pompa air, pasti adegan itu tak perlu ada. Mungkin juga takkan ada adegan raja yang dikipasi oleh dayang-dayang di kanan dan kirinya, seandainya teknologi pengondisi udara seperti kipas angin listrik atau AC telah ditemukan di masa itu. Pada masa kini, tak dapat dipungkiri lagi bahwa segala penemuan pascarevolusi industri telah memberikan banyak kemudahan bagi kita dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kita, baik di rumah, ataupun di tempat kerja.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, segala kemudahan itu lalu berkembang ke arah yang mengkhawatirkan. Manusia tak lagi memakai teknologi untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan semata, melainkan “selangkah terlalu maju,” yakni untuk memuaskan keinginan-keinginannya—yang seringkali tak bersesuaian dengan kehendak Tuhan. Kemungkinan besar Anda takkan tahu siapa itu Dedi Yuliardi Ashadi, namun akan sangat familiar dengan Dorce Gamalama . Ya, keduanya adalah orang yang sama. Apakah keputusan yang diambil Dedi untuk menjadi Dorce salah? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medis memang memungkinkan seorang Dedi berubah menjadi Dorce, namun tak bisa memberitahu apakah hal itu benar atau salah. Secanggih apapun ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki, ia tak dapat memberitahu kita tentang moralitas, tentang benar atau salah.

Dorce bukan satu-satunya orang yang memanfaatkan teknologi “sulap kelamin” ini. Perkembangan terkini bahkan lebih memprihatinkan. Sebagai akibat langsung dari paham “terpenjara di dalam tubuh (berjenis kelamin) yang salah” dan “jadilah dirimu sendiri” yang pada umumnya dipakai sebagai tameng permakluman operasi ganti kelamin, kini orang tua pun “menyerah” pada desakan ahli kejiwaan yang mendiagnosa (baca: mendikte) jenis kelamin sesungguhnya dari anak-anak mereka. Tammy (dulu: Thomas) Lobel adalah salah satu di antara anak-anak yang telah menjalani operasi ganti kelamin—tanpa menunggu hingga dewasa dan benar-benar mampu mengambil atau tidak mengambil keputusan yang berdampak seumur hidup itu.

Di bidang lain, pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi diikuti oleh berkembangnya pula berbagai “fasilitas” dosa: pornografi, perjudian, pembajakan, dan sebagainya. Sebagaimana bir yang tadinya bermanfaat untuk menghangatkan badan namun dipakai oleh kedua pelaut dalam cerita di atas untuk memabukkan diri mereka, demikianlah zaman ini ditandai oleh satu ciri penting: kemabukan. Ya, kemabukan yang berujung pada krisis pengenalan akan diri dan kebenaran.

Selamat datang di era pascamodern. Dan sambutlah generasi milenial.

Generasi “aku aku aku”

Tentang generasi milenial, majalah TIME edisi Mei 2013 memberikan julukan yang menarik: Me Me Me Generation. Istilah “aku aku aku” tersebut dipakai untuk menunjukkan ciri khas generasi milenial yang lahir dan dibesarkan di era pascamodern yang mengembalikan segala kebenaran kepada diri sendiri, yakni memuja diri sendiri dan haus akan pengakuan. Foto selfie—hasil memotret diri sendiri—yang biasanya diunggah ke media sosial, menandai generasi narsis ini.

Salah satu hal baik yang bisa dipetik dari keberadaan internet dan khususnya media sosial adalah kesetaraan. Di dunia maya, tidak ada stratifikasi atau kasta. Semua setara sebagai sesama pengguna. Semua bebas mengekspresikan dirinya. Di negara kita, bahkan Presiden dan Ibu Negara pun cukup aktif menggunakan media sosial. Pak SBY menyapa masyarakat melalui akun Facebook dan Twitter, sementara ibu Ani Yudhoyono berbagi foto-foto yang kebanyakan merupakan hasil jepretannya sendiri melalui Instagram. Yang terakhir disebut bahkan lebih lugas dalam berinteraksi dengan para followernya. Pemilik akun Instagram @aniyudhoyono ini tak ragu menanggapi pertanyaan follower dengan ketus, tetapi juga tak canggung untuk meminta maaf beberapa waktu kemudian.

Namun di sisi lain, semangat kesetaraan ini juga menularkan ide relativisme kebenaran. Di dalam semangat pascamodern yang menolak penyeragaman ala era industri, generasi milenial menolak segala sesuatu yang bersifat indoktrinasi. Mereka tidak ingin didikte. Mereka ingin menentukan kebenaran mereka sendiri. Mereka ingin menilai lingkungan mereka dengan penalaran mereka sendiri, bukan dengan khotbah pendeta di mimbar atau perkataan orang tua di meja makan. Mereka mempertanyakan setiap nilai “tradisional” yang ada di sekeliling mereka dan ironisnya, mempercayakan penafsiran tentang apa yang benar dan seharusnya dilakukan bukan kepada Alkitab, melainkan kepada teman-teman sebaya. Bagi generasi milenial, pendapat teman sebaya terdengar lebih jelas dan lebih meyakinkan daripada khotbah pendeta di mimbar berpelantang.

Tentu saja, generasi milenial memiliki “sisi terang.” Dibesarkan di era komputer, generasi ini memiliki kreativitas visual yang tinggi. Berkat maraknya media sosial, generasi ini juga lebih terbuka menyatakan pemikirannya di depan publik. Kemampuan bersosialisasi mereka tinggi. Pergaulan dan kepedulian mereka juga lebih mendunia. Generasi ini banyak terlibat atau bahkan memulai gerakan-gerakan sosial-politik. Pengumpulan koin untuk Prita, revolusi Arab Spring, dan penggalangan-penggalangan dana untuk korban bencana alam barulah tiga dari banyak contoh gerakan sosial-politik yang diinisiasi generasi milenial lewat media sosial. Di alam demokrasi, generasi ini juga memiliki keleluasaan untuk mengkritisi tokoh-tokoh masyarakat. Sebagian bahkan disampaikan langsung kepada yang bersangkutan melalui akun-akun media sosial yang mereka miliki. Demikianlah generasi “aku aku aku” mewarnai era pascamodern ini.

Krisis kepemimpinan dan pemeliharaan Tuhan

Awal Oktober 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat operasi tangkap tangan paling spektakuler dalam sejarah Indonesia yang mengejutkan berbagai pihak. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, ditangkap ketika sedang melakukan transaksi terkait Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, dan Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Padahal, MK sebelumnya merupakan lembaga tinggi negara yang bersih dari kasus korupsi. Ternyata, di balik kewibawaan satu-satunya lembaga peradilan yang berhak memutus perkara-perkara terkait Undang-undang dan sengketa Pilkada ini, ada oknum (-oknum?) hakim yang mempermainkan putusan demi uang.

Masyarakat pun lantas bertanya-tanya, bagaimana dengan daerah lain yang juga terdapat sengketa Pilkada? Apakah pemimpin yang saat ini menjabat benar-benar memenangkan suara rakyat, ataukah sekedar memenangka suara hakim MK? Peristiwa ini makin menguatkan persepsi bahwa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang akut. Tak heran, kita dijuluki sebagai negeri auto-pilot, alias negeri yang berjalan sendiri, tanpa kepemimpinan yang mumpuni. Sesuatu hal yang takkan terjadi seandainya sang Presiden tak sibuk mengurus partai dan pencitraan pribadi, anggota dewan tak sibuk studi banding ke luar negeri, dan para hakim tak sibuk memperdagangkan keadilan demi mempertebal pundi-pundi.

Akan tetapi di tengah keterpurukan bangsa ini, Tuhan menunjukkan bahwa Dia takkan membiarkan orang saleh habis di negeri ini. Sama seperti ketika Dia memelihara tujuh ribu orang yang setia kepadaNya dan tak pernah sujud menyembah Baal di zaman nabi Elia, demikianlah Tuhan memelihara pemimpin-pemimpin yang jujur, adil, dan tegas, yang dinaikkanNya pada waktunya. Dua di antara mereka adalah Joko “Jokowi” Widodo dan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Pada hari Sabtu, 29 September 2012, KPU DKI Jakarta menetapkan pasangan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih periode 2012-2017, mengalahkan pasangan petahana Foke-Nara dengan selisih 7,6%. Setahun kemudian, duo pemimpin Ibukota ini makin banyak menuai pujian, dari dalam maupun luar negeri. Sang Gubernur, Joko Widodo—yang belum menyatakan niat untuk pencapresan—bahkan melejit namanya dalam berbagai survei calon presiden, jauh melewati capres-capres yang telah mendeklarasikan diri. Saat ini, nama Jokowi dan Ahok telah menjadi standar baru dari kepemimpinan yang dibutuhkan rakyat.

Duet pemimpin DKI ini seakan menjadi antitesis bagi kepemimpinan yang ada selama ini, sekalipun kita sudah 15 tahun memasuki era Reformasi. Baru kali ini kita melihat pemimpin yang masih saja “blusukan” meskipun telah memenangkan kursi jabatan yang nyaman. Tak seperti calon-calon pejabat lainnya, yang hanya datang pada waktu membutuhkan pencitraan, namun kemudian melupakan mereka begitu berhasil mendulang suara. Pastinya, baru kali ini masyarakat melihat pejabat yang benar-benar bekerja untuk mereka. Demi mereka.

Dampaknya? Salah satu penghuni rumah di bantaran sungai di Kampung Pulo pada waktu diwawancarai oleh reporter salah satu stasiun televisi swasta nasional mengenai apakah dia akan tetap bertahan tinggal di sana menjawab, “Kalau pak Jokowi suruh saya pindah, ya saya akan pindah.” Mereka yang tadinya “bandel” tiba-tiba berubah sikap dan siap untuk—meminjam istilah Jokowi—digeser. Sejak digubernuri oleh Jokowi, banyak perusahaan di DKI yang mengantre untuk memberikan sumbangsih bagi kemajuan kota melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Satu hal kecil, saat ini hampir tak ada orang pada waktu yang terjebak macet menyalahkan Sang Gubernur, karena mereka tahu, Jokowi dan Ahok sungguh-sungguh bekerja.

Kepemimpinan yang menggerakkan

Honesty is the best policy, demikian ungkap Benjamin Franklin, salah satu pendiri negeri Paman Sam. Di zaman yang dipenuhi oleh generasi milenial yang skeptis ini, tak ada cara lain untuk memenangkan kepercayaan orang-orang selain menjadi jujur, tulus, dan terbuka. Tentu saja, memenangkan kepercayaan masyarakat di simpang zaman ini bukanlah tujuan akhir kepemimpinan masa kini, melainkan untuk mendorong mereka terlibat di dalam upaya-upaya untuk memajukan kualitas hidup bersama, dan untuk memuliakan Tuhan di dalamnya. Memenangkan kepercayaan generasi milenial ini adalah langkah awal yang penting, karena dari situlah kerelaan untuk terlibat muncul. Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, rasul Paulus menuliskan bagaimana dia dan tim pelayanannya “tidak pernah bermulut manis” dan “tidak pernah memiliki maksud loba yang tersembunyi” . Kejujuran dan ketulusan merupakan core value dari pelayanan Paulus, yang masih relevan diterapkan hingga kini.

Namun demikian, kejujuran dan ketulusan pemimpin tak bisa serta-merta membuat generasi milenial ini berpartisipasi aktif dalam program-program yang digagas oleh pemimpin. Generasi yang terlanjur skeptis karena terlalu sering dan terlalu lama dikecewakan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang ingkar janji ini perlu diyakinkan kembali, bahwa pemimpin saat ini sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan mereka. Di balik narsisme yang menjangkiti generasi ini, tersembunyi kehausan yang besar akan perhatian dan kasih sayang. Paulus menuliskan betapa ia dan tim pelayanannya di Tesalonika telah “berlaku ramah… seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya,” dan juga “seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati… dan menguatkan hati… seorang demi seorang.”

Kesediaan sang pemimpin untuk menyingsingkan lengan baju dan mengerjakan apa yang telah diprogramkan merupakan langkah yang tak bisa dihindari jika ingin mendapatkan keikutsertaan sukarela dari orang-orang yang dipimpin. Tak bisa dipungkiri, action memang speaks louder than words. Retorika sehebat apapun takkan dapat membawa generasi yang skeptis ini bergerak dan melaju bersama pemimpinnya. Pemimpin yang bersedia mengorbankan dirinya bagi kemaslahatan bersama, ialah yang akan mendapatkan “imbalan” dari orang-orang yang dipimpinnya, berupa keikutsertaan aktif mereka di dalam program-program yang ditetapkan. Inilah yang terjadi pada jemaat Tesalonika. Kepada mereka, rasul Paulus menuliskan pujian, “Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya.”

Satu hal krusial yang tentunya tak boleh dilupakan adalah bahwa langkah pertama kepemimpinan selalu berasal dari diri sendiri. Rasul Paulus menuliskan alasan mereka rela bersusah payah bahkan menanggung aniaya demi pemberitaan Injil adalah kekuatan dan kasih karunia dari Allah sendiri. “…Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita,” demikian tulisnya. Para pemimpin di simpang zaman—bahkan di segala zaman—haruslah orang-orang yang telah terlebih dahulu dipimpin oleh Allah kepada kasih karunia-Nya. Hanya dengan begitulah, maka mereka dapat memimpin orang lain kepada kasih karunia yang sama, dan menghasilkan pemimpin-pemimpin baru, yang akan melanjutkan karya Allah di bumi ini. (ays)

 

Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *