Fokus:
Pelayanan  Kaum Pinggiran  

Bak gaung bersambut, temyata  masalah  pengentasan kemiskinan yang dicanangkan pemerintah telah lama digarap secara serius  oleh  beberapa  gereja,  khususnya  di  Surabaya.  Kali  ini“DIA”   mewawancarai   pendeta   Gereja   Jemaat   Kristen   Injili (GJKI),  Gereja  Baptis  Indonesia  (GBI),  dan  Yayasan  Mojopahit (Mojokerto) yang langsung terjun dalam pelayanan  ini. Dengan prinsip  “bukan  orang  sehat yang  memerlukan  tabib,  tapi  orang sakit”, maka para hamba Tuhan ini secara langsung bukan saja mengentas mereka yang tuna secara materi, tapi juga  tuna susila. Berikut  ini hasil  liputan reporter  “DIA”  di Malang,  Basuki,  di lokalisasi Tandes, Surabaya dan Mojokerto.

Tandes konon merupakan daerah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, sekaligus lahan yang potensial untuk menyebar benih firman Tuhan. Tidak kurang 2.000 wanita tuna susila(WTS)  mangkal di tempat ini. “Mereka  adalah jiwa-jiwa yang haus akan jamahan kasih Tuhan,” demikian ujar Pdt. S. Hadi Suwarno dan  Gereja Jemaat Kristen Injili (GJKI), yanggerejanya berlokasi  di kompleks  ini.

Pendeta S. Hadi Suwãrno, Pdt. Herman dan Pdtm. DJamin di tempat terpisah menceritakan motivasi melayani karena berlatar belakang ABRI dan non Kristen. Sebagai umat tebusan, mereka rindu melayani  orang yang sering disisihkan masyarakat itu. Di lain pihak, kaum pinggiran selain miskin dalam banyak hal, mereka juga perlu pembinaan secara berkesi­ nambungan. Tutur mereka di tempat terpisah.

Pak Hadi, demikian panggilan akrabnya, melayani di kompleks itu sudah bertahun-tahun. Pendeta yang sangat ramah dan diterimamasyarakat dengan baik ini, melayani bersama isteri dan Pdtm. Agus Supriadi, anaknya. “Pelayanan kami memang tidak melulu kepada para WTS, juga kepada para  pemulung, bakul dan juga kuli  bangunan.  Pokoknya  mereka yang termasuk kaum pinggiran lah,” papar Pak Hadi.

Strategi penginjilan yang diterapkan Pak Hadi tidak muluk-muluk. Model pendekatan pribadi menurutnya, cara yang jitu untuk men­ dekati mereka. “Setiap kali ada waktu, saya musti menyempatkan din berjalan-jalan pada malam han. Maklumlah di siang han, khusus­ nya para pemulung dan kuli bangunan itu sibuk bekerja. Jadi waktu santai mereka ya malam han. Pada waktu malam inilah di gubuk-gubuk mereka, saya mengadakan dialog dan hati ke hati. Bila mereka mulai tertarik, otomatis kun­ jungan saya intensifkan, Eman kan kalau hilang lagi,” kilahnya.

Isteri  Pak  Hadi wanita sederhana melayani disini sejak tahun 1973, tahu betul yang tekun bahu membahu dalam penginjilan ini, tenyata sering “operasi” pada  siang hari, “Namanya saja kupu-kupu malam, kalau malam kerja. Jadi saya menjumpai mereka siang hari,” tuturnya. Para tuna susila itu biasanya tidak mau ke gereja. Mereka lebih baik dikunjungi. Kalaupun ada yang ke gereja presentasenya sangat kecil.

Pelayanan  kepada  para WTS kata Bu Hadi, memang   membutuhkan keuletan tersendiri plus peka terhadap pergumulan mereka secara pribadi. “Yang terjun ke dunia pelacur itu tidak melulu orang yang kesulitan ekonomi lho! Banyak juga anak kalangan berada. Mereka biasanya nekat terjun ke lembah hitam karna putus asa atas perkawinannya, kurang perhatian dari orangtua dan akibat pergaulan bebas lain. Yang paling membuat hati saya terenyuh tidak sedikit anak-anak orang Kristen yang turut terseret dalam kehidupan malam disini,” ungkapnya.

 

Masalah sarana

Pendeta Herman dari Gereja Baptis Indonesia (GBI) yang juga melayani di lokasi ini mengatakan, mengajak para WTS untuk bertobat itu tidak suliy. Yang sulit katanya, ialah bagaimana membekali mereka dengan sarana yang ada. Sehingga mereka dapat menjadi manusia yang dapat diterima masyarakat.

Sulitnya mengentas kehidupan masyarakat pinggiran ke taraf yang lebih layak, juga dikeluhkan Pdtm. Djamin. Pak Djamni, demikian ia biasa dipanggil, sekarang ini melayani dikompleks hunian beragam tuna (netra.  susila,  karya) milik Yayasan Mojopahit yang terletak  di Mojokerto. “Melayani ditempat ini harus sabar.  Saya  yang melayani disini sejak tahun 1973, tahu betul karakteristik mereka. Walaupun sudah menjadi Kristen tidak jarang mereka itu masih suka kumpul kebo dan mengikuti okultisme. Karena itu semakin mereka cepat dipndahkan dari lingkungan lamanya akan semakin lebih baik,” ujarnya.

Kata Pak Djamin hambatan yang paling utama mengajak balik ke masyarakat normal adalah mereka yang tidak empunyai ketrampilan dan juga mentalitas baik. Karena itu pendeta yang juga anggota ABRI ini mengharapkan, para penginjil yang ingin membantu atau terjun langsung di lingkungan pelayanan seperti ini, hendaknya memiliki ketrampilan praktis selain tentunya cakap dalam teologia. “Syarat ini penting sekali. Sebab orang dilayani ini bukan saja miskin secara rohani, juga miskin dalam urusan perut,”

Para pendeta yang melayani di lokasi Tandes ini pun tidak dapat ‘menggantungkan’ hidupnya dari pelayanan. Mereka melayani sambil bekerja sehingga biaya kebutuhan hidupnya tercukupi. “Jika pendeta disini tidak bekerja di tempat lain, hidup mereka akan sangat menyedihkan,” tutur Pak Djamin. Bila mengandalkan persembahan jemaat, setiap minggu jemaat yang hadir kebaktian berkisar 15 orang. Tiap jemaat memberikan sebesar Rp 25,00. Itu pun tidak semua dapat memberikan persembahan. Dapat dibayangkan  kemiskinan jemaat dan perkembangannya.

Jalan Keluar

Petumbuhan kuantitas yang Cukup bagus,memang harus dibarengi dengan kualitas. Dalam rangka mencapai hal itu, selain mengaktifkan mereka ikut pemahaman Alkitab, Pak Hadi juga mengupayakan kenaikan tarap hidup ekonomi jemaatnya lewat kerja sama dengan Departemen Transmigrasi. “Sementara inilah jalan keluar terbaik. Daripada mereka tidak punya peng­ harapan di sini kan lebih baik ikut transmi­ grasi,” ungkapnya. Warga yang ikut trasmigrasi pun tidak dilepas begitu saja oleh Pak Hadi. Hingga sekarang dia tetap memonitor. Ia tahu benar keadaan orang Tandes yang transmigrasi. Ia tahu apakah mereka berhasil, masih hidup, bahkan meninggal gara-gara terserang malaria.

Transmigrasi yang ditawarkan Pak Hadi me­ mang bukan selalu pilihan menarik bagi kaum pinggiran  yang  dilayaninya.  Bagi  Bu  Parmi (60) misalnya. Karena usianya yang terlalu tua, ia menolak  ikut transmigrasi. “Saya di Surabaya   ini ikut orang. Pokoknya dapat makan hari ini saja lumayan  Mas. Saya sudah tidak mikirik hari  depan,” ujarnya memelas.

Cara yang ditempuh Pak Djamin lain lagi. Anggota di gerejanya disediakan persewaan rumah murah oleh Yayasan Mojopahit. Kemudian dengan ketrampilan yang ada, mereka mencoba untuk berkembang. “Jadi pekerjaan mereka bervariasi. Ada yang tukang buat sandal dan ban  bekas,buat sumbu kompor, ada yang ngamen, buat topeng dan aneka mainan anak-anak dan kardus,” jelasnya. Ketika “DIA bertanya, apakah  ada wanga gerejanya yang masih praktek prostitusi, dengan jujur Pak Djamin menjawab ada.

Pendeta yang kotbah­-kotbahnya sangat lugas ini menjelaskan, sebenarnya dia sering menegur mereka,baik  secara pribadi maupun dalam  kebaktian  Minggu. Tapi ia melihat kendala. “Kita tidak hanya dituntut dapat berkotbah dan menasehati. Ditempat  pelayanan   seperti  ini kita  pun  dituntut untuk   dapat   memberikan   jalan   keluar,”   tuturnya mengakhiri wawancara. (Basuki)

 

 

**Majalah DIA, Edisi 1/1994

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *