Ada gerbong kereta api listrik (KRL) khusus perempuan di Jakarta. Dan, ada pula ruangan khusus perempuan bagi penumpang bus Transjakarta. Mengapa? Boleh jadi karena begitu banyak laporan mengenai kasus pelecehan seksual terhadap perempuan saat mereka berada dalam KRL atau bus tersebut.
Maka, dikondisikanlah suatu area khusus perempuan. Dan dari pengondisian itu, terbentuklah dua kelompok, golongan, kategori, atau kelas di dalam KRL atau pun di Transjakarta tersebut, yaitu: perempuan dan nonperempuan.
Dalam situasi yang lain, pengondisian tidaklah didasarkan pada jenis kelamin. Tapi, pada status ekonomi si pengguna jasa transportasi. Kalau Anda seorang yang kaya raya, Anda dapat menikmati kemewahan layanan kelas eksekutif. Sebaliknya, apabila Anda seorang yang miskin, barangkali kelas ekonomi pas untuk Anda. Dan apabila Anda tidak kaya atau pun tidak miskin, Anda bisa naik kereta api atau bus di kelas bisnis. Kali ini, masyarakat dikelaskan dalam tiga kategori: kaya, miskin, dan di antaranya.
Sepintas lalu, tampaknya pembagian kelas-kelas masyarakat ke dalam kategori ini dan itu dipandang sebagai hal yang wajar. Tapi, apakah memang sudah sewajarnya demikian? Untuk menambah kerumitan diskusi kita, apakah kita perlu menambahkan kategori waria sebagai alternatif jawaban di samping laki-laki atau perempuan, sebagaimana yang tertera dalam KTP? Barangkali, kita perlu sedikit mengenal apa yang disebut dengan “kelas” sebelum mengurai persoalan perkelasan.
Sebagai percobaan pertama, barangkali konsep “kelas” dapat dipahami sebagai penggolongan berdasarkan kodratnya. Itu sebabnya, kita cenderung mengategorikan jenis kelamin menjadi dua: laki-laki dan perempuan. Dan umumnya pengategorian ini dilandaskan pada teks-teks suci: “Karena Tuhan menciptakannya demikian.” Karena itu, siapa saja yang mendaku memiliki jenis kelamin di luar dua kategori tersebut dianggap bidah, bahkan menghina Tuhan.
Sayangnya, kenyataan tidak sesederhana pengelasan yang kita lakukan—meskipun berdasarkan teks-teks suci. Mungkin kita terperangah ketika di tengah-tengah kita hadir manusia-manusia “hermafrodit”, seperti: Ryalu (India), Krittapak Duangchai (Thailand), atau pun Risman Saeful Hidayat (Indonesia). Apakah fenomena tersebut memperlihatkan “cacatnya” teks-teks suci sehingga tak layak diyakini? Atau, justru sebaliknya, jangan-jangan kecacatan itu lebih tepat ditujukan pada pemahaman si penafsir teks-teks suci tersebut?
Mari kita lanjutkan dengan percobaan kedua untuk memahami konsepsi “kelas”. Barangkali konsep tentang “kelas” diperlukan untuk mengelaskan orang-orang berdasarkan status dan peranannya sehingga kehidupan bermasyarakat lebih mudah ditata. Melalui negara, masyarakat dikelaskan berdasarkan agama, ekonomi, pendidikan, atau mungkin juga orientasi seksual tertentu suatu saat nanti.
Sayangnya, negara kerap melakukan penindasan demi alasan stabilitas. Atas nama kelas “mayoritas”, negara mengorbankan mereka yang terpinggirkan. Misalnya, polemik tentang Papua atau LGBT. Mungkin karena alasan penindasan itulah, Karl Marx (1818-1883) mengkritik sistem masyarakat kapitalis. Bagi Marx, sistem masyarakat kapitalis justru melanggengkan penindasan oleh mereka yang berkuasa (pemodal) atas mereka yang tak berkuasa (buruh).
Akibatnya, orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin semakin miskin. Jika Anda tak percaya, Anda dapat mempelajari koefisien gini Indonesia yang terbaru. Sekurang-kurangnya keterangan worldbank.org per Desember 2015 menunjukkan bahwa ketimpangan semakin meluas di Indonesia. Rasanya, inspirasi dan kritik Marx masih cukup relevan bagi kita saat ini.
Dengan demikian, pengelasan sebagai sebuah mekanisme negara untuk menata masyarakatnya juga memuat diskriminasi-diskriminasi tertentu. Kalau begitu, apakah menghapuskan sistem kelas dalam masyarakat merupakan jalan keluar terbaik? Rasanya juga tak segampang itu.
Barangkali konsepsi “kelas” memang perlu dipertanyakan ulang secara terus-menerus. Tujuannya, agar pengelompokan, pengategorian, penggolongan, atau apa pun itu memiliki efek menindas seminimal mungkin. Jadi, kelas tidak bersifat mutlak seperti pengategorian jenis kelamin yang umumnya kita yakini: kalau tidak laki-laki, ya perempuan. Pasalnya, ada anomali-anomali yang luput dari kategori tersebut. Dan kelas juga tidak hanya bersifat fungsional sebagaimana dipraktikkan oleh negara. Pasalnya, di balik kelas-kelas tersebut terdapat manusia-manusia yang tidak dapat ditindas demi kepentingan orang banyak.
Maka, mempertanyakan konsepsi “kelas” secara berulang-ulang menghantarkan kita pada percobaan ketiga: mungkin saja yang namanya “kelas” itu bersifat lentur. Maksudnya, sistem kelas boleh saja didasarkan pada teks-teks suci dan bersifat fungsional, tetapi tidak berarti menihilkan kekhasan manusia—sebagai subyek yang dikelaskan.
Dalam terang itulah, memahami sistem kelas secara lentur berarti juga mempersoalkan kembali dogma, prasangka, dan iman kita secara lebih jujur, terbuka, dan rendah hati. Dengan demikian, proses diskusi tentang berbagai macam persoalan perkelasan boleh jadi melahirkan pencerahan, meskipun tidak selalu menghasilkan penyelesaian. Barangkali, dalam kelenturan itulah kita juga bisa menengarai pokok-pokok persoalan toleransi gender yang sedang ramai dibicarakan. Misalnya, kita dapat menemukan perbedaan mendasar antara keragaman gender yang dihayati oleh masyarakat Bugis (kaum bissu) dan keragaman gender sebagai produk industri budaya (kapitalisme)—meskipun keduanya sama-sama mengusung tema LGBT.
Ah, kiranya racikan kopi pahit kelas warung Lesehan ini dapat Anda seruput sembari Anda timbang-timbang sendiri rasanya. Monggo!