Yulius Tandyanto:
Fesyen

Di sudut timur itu mentari beranjak malu. Sebetulnya, ia tak ingin mengusir malam. Toh, ia sadar bahwa sebagian orang tak menyukainya. “Ya, sudah pagi lagi,” gerutu seseorang. “Ah, mengapa sih malam cepat berlalu?” keluh yang lain. Ungkapan-ungkapan demikian juga tidak asing di bibir Damar.

Pagi itu Damar segera menyalakan mesin motornya. Ia berharap dapat tiba di kantor sebelum jalanan penuh sesak dengan besi-besi beroda. Sedikit saja ia kesiangan, mood buruk sudah siap merusak seluruh suasana hari itu. Pasalnya, di negeri ini, aturan lalu lintas telah bermetamorfosis menjadi hukum rimba: siapa kuat, ia menang.

Sialnya, Damar memang terlambat bangun hari itu. Bersama dengan segenap umat pekerja yang sedang bergegas, ia segera mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Lampu merah diterobosnya. Jalur berlawanan dilaluinya. Lajur Transjakarta digunakannya. Dan umpatan, “Anjing, Lu!” segera menyeruak dari mulutnya ketika pengendara motor lain menyalip dan menyenggolnya. Alhasil, Damar hilang keseimbangan dan terjatuh.

Pada momen itulah Damar baru teringat akan Ranu, anak lelaki yang diboncengnya. Ingatan Damar seolah menghidupkan kembali percakapannya yang lampau dengan Ranu:

“Ayah, mengapa jalan terus? ‘Kan lampunya masih merah.”
“Ah, nggak apa-apa. Yang penting kita hati-hati dan nggak ugal-ugalan.”
“Tapi, itu ‘kan melanggar aturan, Yah?”
“Aturan itu dibuat oleh manusia, Nak. Dan yang paling penting kita mengerti prinsip dari aturan itu. Jadi, nggak harus nurut gitu aja. Tuh, orang lain juga berbuat sama ‘kan?”
“Oh, begitu ya, Yah…,” ujar Ranu seraya merenung.

WULAN sedang asyik dengan ponsel pintarnya. Melalui gawai canggih itu, ia dapat membaca berita atau gosip-gosip terbaru, bercengkerama dengan kenalan baru via media sosial, bertransaksi daring, dan bermain gim untuk mengusir  bosan. Singkatnya, semua kebutuhannya seolah-olah dapat dipenuhi oleh piranti pintarnya itu. Namun ada semacam efek samping dari kehadiran posel pintar itu: Wulan tampak hangat dengan benda mati tersebut, tapi begitu dingin terhadap makhluk hidup di sekelilingnya.

Di dalam bus Transjakarta itu, Wulan seakan-akan tak menyadari seorang ibu tua yang menggendong cucunya sedang berdiri di hadapannya. Ia baru memerhatikan situasi di dalam bus ketika para penumpang lain berlomba-lomba melongok ke arah jendela untuk melihat kecelakaan yang mengakibatkan kemacetan. Wulan pun tak ingin ketinggalan. Dengan ponselnya, ia segera memfoto pemandangan kecelakaan yang telah terjadi: motor yang ringsek dan seorang anak laki-laki tergeletak di sana.

Foto itu pun segera diunggahnya ke media sosial. Lantas, berbagai komentar dari sahabat-sahabatnya silih berganti mengisi layar ponselnya. Mulai dari ungkapan keprihatinan hingga analisis mengenai kelalaian pemerintah mengelola transportasi publik. Tampaknya, di dalam dunia media sosial seseorang dianggap telah memberikan sumbangsih besar meski ia hanya sekadar memberikan analisis atau pertimbangan moralnya atas suatu fenomena.

Dan sekonyong-konyong banyak orang menjadi pengamat amatiran di media sosial. Analisis mereka selalu disertai dengan fakta-fakta meyakinkan dari berbagai pranala yang ditautkannya. Ironisnya, mereka pun adalah korban dari penggiringan opini yang disamarkan sebagai fakta. Tanpa sadar mereka menjadi agen untuk mempopulerkan wacana tertentu. Bahkan, mereka mungkin tak jauh berbeda dengan para penghasut, agitator, atau provokator. Istilah kerennya, clicking monkey.

Semakin apik pengemasannya, semakin efektif pula pengaruh komentar tersebut—termasuk bagi Wulan. Dan ia pun kembali larut dalam hiruk-pikuk media sosial. Ia kembali tak acuh terhadap kehadiran seorang ibu tua beserta cucunya yang sedang berdiri di hadapannya.

MUNGKIN, Damar adalah kita. Toh, mental korup telah mendarah daging dalam nadi kita. Bukankah kita sendiri yang mewariskannya dalam ingatan anak-cucu kita? Kompromi demi kompromi dibiarkan dan dibiasakan. Syahdan, korupsi telah menjadi fesyen kita!

Dan mungkin Wulan adalah Anda dan saya juga. Bibit narsisme dan hobi bergunjing telanjur tumbuh subur dalam keseharian kita. Bibir kita terlalu angkuh untuk sedikit belajar sopan-santun di hadapan kehidupan. Ibarat kerbau dicocok hidung, kita sangat mudah menjadi agitator-agitator yang mendendangkan nada-nada kebencian. Itulah fesyen kita!

Barangkali kita perlu celik dan mempertajam cita rasa fesyen kita. Dan siapa tahu Anda dan saya dapat sedikit merasa jijik dan mual terhadap fesyen murahan ini!

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *