Alkisah, di sebuah negeri, menetaplah bangsa kambing. Tapi, kambing-kambing ini bukanlah kambing pada umumnya. Laiknya sebuah peradaban, kambing-kambing ini memiliki sistem pemerintahan, sistem pekerjaan, bahkan dewan keagamaannya sendiri. Untuk saat ini, kita tak perlu memusingkan dari mana asal-muasal peradaban kambing ini. Kita cukuplah terkesima dengan kemajuan peradaban mutakhir bangsa kambing ini.
Sebagaimana peradaban yang maju, penggolongan kambing ke dalam kelas-kelas merupakan hal yang tak terhindarkan. Sekurang-kurangnya terdapat tiga kelas di negeri tersebut: kambing kelas elite, kambing kelas jelata, dan kambing kelas agamis. Kambing kelas elite bertugas mengelola kesejahteraan seluruh bangsa kambing—termasuk menahan serangan dari musuh bebuyutannya: sang raja hutan. Lalu, kambing kelas jelata bertugas mencukupi kebutuhan pokok bangsa kambing: mulai dari pangan, sandang, papan, hingga teknologi. Dan sudah barang tentu kambing kelas agamis bertugas membina spiritualitas seluruh kambing.
Namun, entah mengapa kambing-kambing kelas agamis senantiasa merasa harkat dirinya adalah yang paling murni dari dua kelas lainnya. Ah, mungkin karena mereka mengimani bahwa harkat pekerjaannya sangat mulia, yakni menuntun jiwa-jiwa kambing pada surga kambing yang abadi. Tampaknya, sudah menjadi pengetahuan umum bagi bangsa kambing di negeri itu bahwa surga kambing adalah satu-satunya alasan yang menopang peradaban kambing agar tidak musnah. Tanpa surga kambing, tujuan hidup para kambing menjadi absurd.
Begitu pentingnya kehidupan agama bagi bangsa kambing, sampai-sampai dewan agamanya mengeluarkan fatwa terbaru. Isinya mengenai seruan untuk menghormati kambing-kambing yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Sontak saja situasi menjadi heboh. Pasalnya, berdasarkan Hagiohirkus—kitab suci bangsa kambing—hanya terdapat dua alat kelamin yang diakui: jantan dan betina. Dan satu-satunya fungsi alat kelamin adalah membangun peradaban bangsa kambing. Di luar itu, hanya ada kemabukan sebagaimana diajarkan dan dihayati oleh para satir—makhluk setengah kambing, setengah manusia—yang dicap sesat. Karena itu, kambing dianggap normal hanya dan hanya jika orientasinya bersifat heteroseksual. Titik.
Kendati demikian, kesalehan bangsa kambing ini rasanya tidak akan pernah dipahami oleh sang raja hutan. Pasalnya, sang raja hutan malah merasa diperlakukan sangat baik oleh para kambing. Meski raut kengerian terpancar dari wajah para kambing, sebuah mantra, “Wahai, raja hutan, kami mengampunimu,” menjadi kunci utama untuk memaklumi segala tindak-tanduk sang raja hutan. Padahal, sejak ribuan tahun yang lalu, sang raja hutan telah berlaku sesuka hati terhadap para kambing, khususnya mereka yang masih anak-anak. Sang raja hutan mengincar, meneror, menerkam, dan menyantap dengan penuh sukacita daging anak-anak kambing yang tambun dan empuk. Ia tak pernah ambil pusing dengan segala perilaku saleh para kambing selama perutnya kenyang.
Barangkali para kambing elite sadar bahwa bangsa kambing tidak mungkin dapat menandingi kedigdayaan sang raja hutan. Walhasil, kengerian yang mencekam, malapetaka, kemarahan, kecut hati, dan cucuran air mata merasuk ke dalam batin bangsa kambing. Biarpun begitu, berkat kegeniusan para kambing elite, bangsa kambing mampu mengolah kegalauan batinnya menjadi kesalehan tingkat tinggi. Melalui politik pengampunan, bangsa kambing membaptis harkat dirinya lebih tinggi dari sang raja hutan. Pasalnya, bukankah lebih mulia mengampuni daripada membalaskan kejahatan?
Itulah hikayat bangsa kambing di negeri itu. Kegeniusan para elite kambing telah menghalau mimpi buruk yang telah menghantui peradaban bangsa kambing selama ratusan tahun. Kini, bangsa kambing dapat tidur lebih nyenyak. Toh, ada kambing-kambing di puncak-puncak tertinggi negeri yang menolak tidur dan senantiasa terjaga. Mereka adalah para kambing hitam. Justru mungkin merekalah para pewaris roh yang tercabik-cabik dan tersalibkan. Dan, boleh jadi merekalah yang menginspirasikan kesalehan yang paling langka: kejujuran.
Demikianlah kisah bangsa kambing di suatu negeri: mereka yang saleh dan berharkat lebih tinggi. Ah, siapa bertelinga hendaklah ia tertawa paling keras. Siapa sangka iman yang paling kuat memanjakan dirinya dalam skeptisisme—yang paling elegan?