Suatu hari dalam perjalanan pulang dari kantor, saya melihat seorang pengendara sepeda motor yang tidak menyadari bahwa penyangga, alias “standar samping” kendaraannya belum terlipat dengan benar sehingga dapat berisiko bagi keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain. Saya pun menambah laju kendaraan dan mengarahkannya hingga cukup dekat dengan orang tersebut untuk bisa memperingatkannya.
“Standarnya (belum terlipat), Mas!” Teriak saya. Orang itu tampaknya menangkap peringatan saya dan dengan kaki kirinya membetulkan posisi standar samping sepeda motornya sambil terus melaju tanpa menoleh sedikitpun, apalagi mengucap terima kasih. Tentu saja ucapan terima kasih merupakan sikap yang baik, namun yang paling penting dalam kondisi tersebut adalah bahwa ia menghiraukan teriakan saya dan membetulkan letak penyangga sepeda motornya itu.
Mengapa saya merepotkan diri mendekati orang itu dan memberikan “teriakan peringatan” bahwa standar samping kendaraannya belum terlipat sempurna? Pertama, seperti yang telah saya sampaikan, keselamatan diri dan pengguna jalan lain sudah semestinya menjadi prioritas utama dalam berkendara. Saya bisa saja bersikap acuh tak acuh, namun itu sama saja saya, yang notabene memiliki informasi mengenai kondisi yang dapat menimbulkan kecelakaan, secara langsung maupun tidak, menyetujui atau mendukung kecelakaan yang mungkin timbul.
Informasi yang saya miliki mengenai risiko bahaya kecelakaan, yakni penyangga samping sepeda motor yang belum terlipat sempurna, sekaligus juga menjadi tanggung jawab saya sebagai makhluk berpikir dan bermoral untuk menghilangkan atau meminimalkan risiko tersebut, dan cara yang paling ideal pada waktu itu adalah berteriak untuk mengingatkan si pemilik kendaraan. Dengan demikian, maka ia maupun pengguna jalan yang lain terhindar dari risiko kecelakaan akibat penyangga samping sepeda motor yang belum terlipat.
Dalam praktik keseharian kita, ada kalanya kita perlu “berteriak” untuk memberikan peringatan kepada orang lain akan adanya bahaya. Kita memberikan peringatan, karena kita memiliki informasi yang sahih mengenai sebuah situasi atau kondisi yang membahayakan keselamatan orang lain. Bentuk “teriakan” ini bisa berbagai macam. Ia bisa berupa teguran dalam percakapan dengan keluarga, teman, kolega, bawahan, atau atasan, apabila kita mendapati ada hal-hal yang “tidak beres.” Atau, berupa peringatan melalui pesan di grup Whatsapp bahwa artikel yang sedang banyak dibagikan dan diperbincangkan sesungguhnya adalah hoaks alias palsu. Ia juga bisa berupa status update di media sosial kita, seperti Facebook, Twitter, atau Instagram, yang mengingatkan followers serta khalayak mengenai pentingnya mengecek kebenaran suatu berita sebelum menyebarluaskannya. Dan berbagai bentuk lainnya.
Memang, bagi banyak orang, teriakan merupakan gangguan. Polusi suara, istilahnya. Orang-orang bisa terganggu apabila setiap waktu dan sepanjang hari kita meneriakkan pesan-pesan yang sama, atau pesan-pesan yang tidak relevan bagi publik. Oleh karenanya, kita juga perlu memilih dan memilah, pesan apakah yang relevan untuk kita teriakkan, dan kapan serta bagaimana cara yang tepat untuk meneriakkannya. Dengan demikian, teriakan kita menjadi sebuah teriakan yang perlu, bahkan penting.
Berikutnya, saya berteriak karena saya sendiri pernah beberapa kali berada dalam posisi seperti pengendara sepeda motor tersebut. Suatu kali setelah mengisi bahan bakar di SPBU, rupanya saya lupa melipat standar samping sepeda motor saya. Syukurlah ada yang melihatnya dan memberikan teriakan peringatan, sehingga saya terhindar dari risiko kecelakaan. Bisa dibilang, saya “berhutang” kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu membantu saya terhindar dari risiko kecelakaan, dan satu cara yang mungkin adalah saya juga menjadi orang yang peduli dan mau mengingatkan pengendara sepeda motor yang lain apabila standar samping kendaraannya belum terlipat sempurna.
Fakta bahwa saya pernah tertolong oleh teriakan peringatan menambahkan alasan bagi saya untuk tidak menjadi pengguna jalan yang acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Tentu saya juga berharap, bahwa pengendara sepeda motor yang saya ingatkan untuk membetulkan posisi penyangga samping kendaraannya itu juga kelak melakukan hal serupa kepada pengendara sepeda motor yang lain, atau setidaknya, ia menjadi pengendara yang lebih berhati-hati dan memastikan bahwa sepeda motor yang akan dinaikinya telah betul-betul aman untuk dikendarai.
Akan tetapi, respon dari pengendara sepeda motor tersebut jelas di luar kendali saya dan tidak seharusnya memengaruhi sikap saya ketika di kesempatan lain mendapati pengendara sepeda motor yang penyangga samping kendaraannya juga belum terlipat sempurna.
Meneriakkan peringatan yang sahih dan relevan menjadi kewajiban moral saya secara pribadi dan juga kewajiban sosial saya sebagai bagian dari masyarakat.
Dan, melampaui kedua hal di atas, ia merupakan kewajiban spiritual saya sebagai terang dan garam di dunia ini. Mengakui identitas sebagai terang dan garam dunia bukan berarti meninggikan diri, melainkan merupakan bentuk penerimaan diri sebagai murid dari Sang Terang Dunia, sekaligus juga sebagai komitmen, bahwa saya harus terus-menerus menjaga diri agar senantiasa “menyala” dan “asin”.
Saya harus senantiasa mengasah dan membekali diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan, sehingga saya dapat meneriakkan peringatan yang sahih dan relevan. Seperti terang yang selalu sahih dan garam yang senantiasa relevan. Peringatan itu haruslah yang bisa saya pertanggung jawabkan, bukan peringatan yang saya sendiri tidak tahu kebenarannya, sehingga saya harus membela diri dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan tidak bertanggung jawab seperti, “Saya hanya meneruskan,” “Yang penting ada hikmah yang dapat kita petik,” dan sebagainya.