Menarik sekali pernyataan Paus Yohanes Paulus II yang dimuat Majalah FORUM Keadilan edisi l8 November 1996 dan beberapa media cetak lainnya tentang diterimanya teori evolusi asal-usul manusia berdasarkan penafsiran dari kitab Kejadian. Paus menyatakan bahwa tubuh manusia berasal dari materi yang sebelumnya hidup, namun jiwanya tetap diciptakan Tuhan. Pernyataan Paus ini akhirnya memang menimbulkan pro dan kontra. Beberapa teolog tidak dapat menerima hal tersebut. Sementara itu, kubu fundamentalis Kristen dianggap terlalu mengharfiahkan penafsiran di kitab Kejadian.
Sejarah memang telah mencatat adanya pergolakan yang besar antara ilmuwan dan tokoh gama. Pergolakan pertama muncul ketika Vatikan tidak setuju dengan teori Nicolas Copernicus yang mengoreksi anggapan kalangan agama bahwa bumi adalah pusat semesta (geosentris), tetapi kenyataannya matahari adalah pusat semesta (heliosentris). Dan akhirnya Galileo Galilei yang membenarkan teori ini dari hasil penyelidikannya, terlalu cepat dijatuhi hukuman mati oleh Vatikan pada tahun 1663.
Pergolakan berikut, munculnya teori evolusi yang dipelopori oleh Charles Darwin (1809-1882). Teori ini menyerang penganut teori penciptaan bumi dan segala isinya beradasarkan Kejadian pasal 1. Tak pelak, teori Darwin ini dihujani kritikan baik dari kalangan teolog maupun kalangan ilmuwan. Kritikan para teolog dilatarbelakangi beberapa hal, pertama, teori evolusi pada hakekatnya menyangkal adanya pencipta yang menjadikan bumi dan segala isinya (atheis evolution). Para evolusionis (penganut teori evolusi) mengajarkan bahwa bumi dan segala isinya terjadi dengan sendirinya.
Kedua, teori ini telah melawan penafsiran kitab suci yang mengganggap bahwa bumi dan segala isinya diciptakan secara langsung, seperti yang tertulis dalam kitab Kejadian, Ketiga, teori ini membuat sifat unik manusia sebagai mahkluk ciptaan menjadi tereduksi (berkurang). Kaum evolusionis menganggap, manusia hanyalah hasil evolusi semata.
Sementara kritikan dari kalangan ilmuwan adalah menganggap bahwa teori ini tidak ilmiah, karena tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai karya ilmiah. Bahkan mereka mengganggap teori ini hanya merupakan dalil filsafat.
Dalam bukunya The Origin of Species Darwin tidak konsisten dengan hasil temuannya. Ia terlalu banyak menggunakan kata-kata yang bersifat pengandaian seperti, jikalau, coba kita bayangkan, untuk menjelaskan teorinya. Dari fakta-fakta paleontologi (ilmu tentang fosil tumbuhan dan binatang) pada fosil-fosil yang ditemukan, sama sekali tidak menunjukkan adanya bentuk fosil peralihan yang menghubungkan fosil makhluk tingkat rendah ke tingkat tinggi. Dr. A.S. Romer dari Universitas Harvard menyatakan, “Mata rantai di tempat-tempat yang sangat kita inginkan tidak ada dan kemungkinan besar mata rantai tersebut akan tetap hilang. ”
Masih banyak keberatan-keberatan yang diajukan para ilmuwan berkaitan dengan keilmiahan teori ini dari berbagai sisi. Misalnya pada sifat spekulatifnya. Profesor Willian Thorpe dari Departemen Ilmu Hewan di Universitas Cambrigde pernah mengatakan kepada sesama ilmuwan, “Semua spekulasi dan diskusi yang diterbitkan selama sepuluh sampai lima belas tahun terakhir yang menjelaskan asal mula kehidupan ternyata terlalu bodoh dan tidak berbobot. Malahan masalahnya kelihatan tetap sama sulitnya untuk diatasi seperti: yang sudah-sudah.” Kesulitan yang sama dikemukakan oleh almarhum Prof. Louis Aggassiz, seorang pakar paleontologi di Universitas Harvard. Ia mengatakan bahwa “ Tidak ada satu fakta ilmiah pun yang menunjukkan bahwa dalam proses reproduksi dan pembiakan yang wajar, ada mahkluk yang menyimpang dari kodrat alaminya, atau ada satu jenis yang pernah berubah menjadi jenis yang lain.” Sangat berbeda dengan yang diajarkan kaum evolusionis. Mereka percaya terhadap peralihan species dalam proses evolusi
Ilmiahkah atau Suatu Agama?
Jika evolusionis menganggap hasil penyelidikan mereka benar-benar ilmiah, seharusnya alasan yang dikemukakan bersifat ilmiah pula. Yakni menetapkan apa yang terjadi. Berdasarkan pengamatan tersebut dibuat teori tentang apa yang mungkin benar, lalu teori tersebut diuji melalui pengamatan lebih lanjut dan dengan berbagai percobaan. Dan pada akhirnya teori tersebut harus terbukti benar.
Tetapi dari hasil penyelidikan ilmiah belum dapat diamati bahwa kehidupan muncul dengan sendirinya seperti yang diajarkan para evolusionis. Di abad ke-19 Louis Pasteur dan ilmuwan lainnya membuktikan bahwa hanya yang hidup dapat menghasilkan sesuatu yang hidup. Tidak ada yang dapat membuktikan bahwa kehidupan muncul dengan sendirinya. Dan memang, tidak ada manusia yang mengamati peristiwa seperti yang dikatakan para penganut doktrin /teori evolusi. Karenanya, teori ini tidak pernah diteguhkan. Oleh hasil pengamatan. Disamping itu, berbagai percobaan di laboratorium pun tidak mampu membuktikan kebenaran teori ini. Sudah pasti ramalanramalan yang diajukan pada teori ini tidak dapat dibenarkan karena sulit diterapkan dalam metode ilmiah. Apakah keberadaan teori evolusi yang demikian harus diterima dan disanjung-sanjung sebagai suatu fakta?
Kalau demikian apakah dasar dari teori evolusi? Sampai sekarang tidak satu pun disiplin ilmu yang memberikan data yang mendukung teori evolusi. Arthur N. Field seorang wartawan dari Selandia Baru mengatakan seperti yang dikutip Prof. H. Enoch, M.A., dalam bukunya Evolution or Creation. “Dasar evolusi sama sekali tidak ada selain kepercayaan semata-mata, yakni keyakinan terhadap hal-hal yang tidak faktual, seperti: percaya akan fosil-fosil yang tidak dapat diperlihatkan, percaya pada bukti-bukti embriologis yang tidak ada, dan percaya pada eksperimen-eksperimen pembiakan yang tidak pernah berhasil. Semua kepercayaan tersebut tidak pernah didukung oleh fakta.”
Tetapi yang mengherankan, posisi teori yang chaos (kacau-balau) seperti ini justru dianut oleh banyak kalangan intelektual. Mulai dari pelajar sampai orang yang berpengaruh seperti Karl Marx. Bukankah kalangan intelektualah yang harus meneliti dan kemudian mengambil kesimpulan yang objektif sebelum mengambil sikap? Benarlah kalau Prof. W.R. Thompson, F.R.S., direktur dari Commonwealth Institute of Biological Control-ia pernah menulis pendahuluan pada Oiginal of Species edisi tahun 1963- mengatakan, “Bagi sebagian besar di antara mereka konsep ini merupakan objek pengabdian (agama) yang sungguh-sungguh, karena mereka menganggapnya sebagai interpretasi tertinggi. ”
Menuju Evolusi Teistik
Diterimanya teori evolusi dalam lingkungan kekuasaan agama seakan-akan merupakan suatu gencatan yang membawa angin segar bagi sebagian kecil kalangan agama dan evolusionis. Sebagian kecil para teolog dan tokoh agama mengambil langkah damai dengan penganut teori evolusi. Contohnya adalah James Maurice Wilson, seorang kepala kantor dari Canon of Worcester. Pernyataannya dikutip oleh Bolton Davidheiser dalam bukunya berjudul “Evolution & Chistian Faith” pada halaman l7l yang mengatakan, “Dalam hidup saya evolusi merupakan fakta yang mengejutkan yang menggugurkan teologi lama. Dan sekarang ini saya menerima evolusi sebagai suatu kenyataan. ”
Pernyataan yang mirip juga dikeluarkan oleh James H. Jouncey dalam bukunya “Science Return to God” bahwa jika teori evolusi ternyata benar, peran Tuhan tidaklah penting. Itu semata-mata menunjukkan bahwa evolusi merupakan metode yang Tuhan gunakan. James juga mengatakan bahwa ada begitu banyak pakar biologi yang menganut teori evolusi tetap tidak mengenyampingkan kegiatan keagamaan mereka dan tidak menimbulkan masalah.
Penulis melihat, memang tidak akan menimbulkan masalah bagi para/teolog yang evolusionis, selagi para evolusionis dengan malu-malu mengakui adanya Tuhan yang adalah pengada dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Tetapi dengan berat hati evolusionis harus –menggugurkan sebagian dari keseluruhan teori evolusi yang dibangun oleh tokoh-tokoh evolusi yang ateis. Sebaliknya dari kalangan rohaniwan yang setuju rdengan teori evolusi akhirnya harus menyangkali penciptaan langsung oleh Allah (tanpa menggunakan metode evolusi). Mereka berdalih bahwa penafsiran kitab suci selama ini salah karena dianggap terlalu harfiah menafsirkan kitab Kejadian pasal Bertama. Beberapa rohaniwan dan evolusionis akhirnya sepakat membangun suatu teori yang menganggap bahwa Allah melibatkan diri-secara langsung dengan ciptaan-Nya. Allahlah yang pada mulanya memberikan hidup pada organisme yang pertama dan memberikan kemampuan pada organisme ini untuk berkembang mencapai sasaran yang Allah tentukan. Dalam peristiwa tertentu Allah juga bekerja secara adikodrati (langsung) untuk mengarahkan proses evolusi. Maka menurut pandangan ini, Allah juga secara langsung menciptakan manusia yang pertama namun memanfaatkan ciptaan lain yang telah ada sebelumnya. Allah yang menciptakan roh dan memasukannya ke dalam tubuh salah satu binatang tingkat tinggi (premata) yang sudah ada sebelumnya sehingga berubah menjadi manusia pertama.
Inilah pandangan teori evolusi teistik, yang sepertinya membawa angin segar bagi kalangan evolusionis dan creationisl. Padahal justru akan menghasilkan setumpuk masalah pada penafsiran keseluruhan kitab suci, terutama yang menyangkut doktrin-doktrin vital dalam kekristenan. Bukankah pada kitab Kejadian pasal 1ayat 2l-27 dicatat bahwa Allah menciptakan segala mahkluk hidup menurut jenisnya masing-masing. Bahkan pasal 2 ayat 20, manusia diberi mandat memberi nama pada semua binatang in’r. Ayat ini mempunyai arti teologis yang:begitu dalam, dikaitkan dengan diri manusia sebagai pemberi nama. Ini menujukkan betapa jauhnya perbedaan antara manusia dan binatang’ Lagi pula, seandainya manusia berasal dari salah satu jenis binatang yang sudah hidup seperti dikatakan oleh kaum evolusionis teistik, mengapa Tuhan harus menghembuskan napas hidup yang menjadikan manusia hidup seperti tercatat dalam Kejadian pasal 2 ayat 8?
Diciptakan Menurut Citra Allah
Dalam tulisannya di harian KOMPAS, Jumat, 26 November 1996 berjudul “Survival of the Fittest”, B.S.Mardiatmadja justru menarik konsep “menuju kepada kesempurnaan” yang oleh Darwin lebih cenderung diterapkan pada proses perkembangan biologi ke dalam penjelasan tentang proses perkembangan daya kreatif manusia untuk menjelaskan manusia sebagai citra-Nya.
Memang penjelasan B.S sempurna adalah benar, karena manusia memiliki daya cipta dan berpotensi untuk mengembangkan kreativitasnya melebihi binatang. Tetapi bukan berarti karena konsep ini kita dapat menerima secara langsung temuan-temuan Darwin dalam keyakinan Kristen. Konsep “menuju pada kesempurnaan” bagi Darwin hanya untuk menjelaskan perkembangan biologis suatu mahkluk yang terus berevolusi.
Dalam suatu seminarnya Stephen Tong mengatakan, ilmu pengetahuan yang sejati tidak akan mungkin bertentangan dengan iman Kristen yang sejati. Sebaliknya, iman yang sejati tidak akan mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang sejati. Lalu, apakah teori evolusi merupakan ilmu pengetahuan yang sejati? Keilmiahannya saja tidak terbukti, bagaimana dapat dikatakan sejati? Lebih fatal lagi kalau harus diteistikan. Bukankah ketika evolusi diteistikan terjadi kesalahan tafsir? Penulis menyimpulkan bahwa ketika suatu teori di bidang science bertentangan dengan kitab suci hanya akan terjadi dua kemungkinan; kesalahan pada teori itu atau kesalahan dalam menafsirkan kitab suci.
Dr. Einstein pernah berkata, “Perasaan keagamaan para ilmuwan merupakan perasaan kagum akan keselarasan hukum alam, karena kesadaran itu mengungkapkan intelegensia yang sedemikian tingginya hingga kalau diperbandingkan, maka semua pemikiran sistematika dan perbuatan manusia hanya merupakan suatu gambaran yang sama sekali tidak berarti.”
——Dituliskan oleh Rizal Calvary Marimbo, adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Reform Iniili Indonesia (STRII)